Pelaku Bisnis Bicara Inovasi untuk Keluar dari Tekanan Pandemi
Pandemi Covid-19 memacu pelaku usaha untuk beradaptasi dan mempercepat inovasi agar bisa bertahan dan melanjutkan bisnisnya.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran pandemi Covid-19 yang tak terduga memacu pelaku usaha, termasuk UMKM, segera beradaptasi dan menyusun strategi baru agar bisa bertahan di tengah ketidakpastian. Untuk jangka panjang, mereka juga semakin sadar pentingnya menciptakan bisnis yang berkelanjutan dan berdampak positif pada masyarakat.
Adaptasi dan inovasi bisnis yang berkelanjutan dibahas dalam CEO On Stage yang diselenggarakan harian Kompas secara virtual, Jumat (12/11/2021). Acara ini merupakan salah satu rangkaian dari Kompas100 CEO Forum ke-12 yang bertajuk ”Ekonomi Sehat 2022” pada 18 November 2021.
Pendiri dan CEO Sirclo, Brian Marshal, mengatakan, Sirclo merupakan perusahaan teknologi yang membantu pengembangan branding dan bisnis wirausaha yang ingin terjun ke semua kanal dunia maya. Selama pandemi hampir dua tahun ini, Sirclo bisa bertumbuh cepat karena bisnis korporasi cukup bertahan.
Sebaliknya, pandemi berdampak negatif terhadap segmen UMKM dengan modal terbatas. Usaha yang bergerak di bidang kreatif, misalnya, tidak berkembang karena bukan menjadi kebutuhan primer konsumen selama pandemi. Padahal, UMKM sebenarnya merupakan salah satu penopang ekonomi bangsa selama krisis terjadi, seperti saat krisis moneter 1998.
Brian melanjutkan, UMKM memerlukan pendampingan karena banyak UMKM masih gamang dengan produk sendiri lantaran kurang persiapan dan nilai tambah. ”Kami sebagai e-commerce enabler melihat korporasi bertahan dan UMKM berjuang jadi kami ada gerakan merdeka jualan online. Biaya bulanan kami buat nol rupiah dulu,” kata Brian.
Supaya tetap relevan, menurut Brian, identitas perusahaan sebaiknya tak terpaku pada produk, tetapi pada nilai yang ingin dihadirkan ke masyarakat. UMKM yang bisa bertahan telah menerapkan strategi ini saat pandemi. Sejumlah UMKM di bidang mode, umpamanya, beralih membuat masker atau pakaian rumah setelah sebelumnya memproduksi pakaian pesta.
Adaptasi serupa dilakukan perusahaan Ikat Indonesia, perusahaan mode yang mengembangkan wastra Nusantara berupa tenun ikat. Pendiri Ikat Indonesia, Didiet Maulana, mengatakan, target penjualan pakaian Ikat Indonesia terdampak pada awal pandemi.
Ia akhirnya beride untuk membuat pouch tenun ikat berisi kit esensial, antara lain masker, cairan sanitasi tangan, dan sabun. Langkah ini diambil setelah melihat apa yang sedang pasar cari.
”Tanpa disangka produk ini terjual lebih dari 18.000 unit dalam waktu enam bulan berjualan. Perajin kami bisa tetap berkarya, bahkan dengan kapasitas produksi yang lebih tinggi dari sebelum pandemi,” tutur Didiet.
Didiet menambahkan, pandemi juga mendorong dia untuk berekspansi ke bidang lain. Ia banyak membagikan strategi bisnis untuk bertahan di media sosial dan membuka kelas tentang membangun jenama dari pengalaman sendiri dengan tajuk #JGBB (Jadi Gini Belajar Bersama), tahun lalu. Kelasnya telah diikuti oleh 12.000 peserta di dalam dan luar negeri.
Bisnis berkelanjutan
Sejumlah perusahaan terus mengampanyekan konsep bisnis yang berkelanjutan. Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menjelaskan, sesuai bunyi misi Grab For Good, Grab berusaha memberikan dampak positif terhadap konsumen, mitra, pemerintah, dan lingkungan.
Grab telah meluncurkan inisiatif mengurangi kontribusi karbon dan limbah ke planet. Sebagai contoh, aplikasi menyediakan pelanggan opsi Carbon Neutral Fund untuk menanam pohon saat berkendara, opsi tidak menggunakan alat makan sekali pakai saat memesan makanan, dan opsi pengantaran botol plastik ke bank sampah.
Grab juga melakukan investasi untuk pengadaan kendaraan listrik dan hibrida di Indonesia. Perusahaan asal Singapura ini memesan total 6.000 kendaraan motor listrik buatan Indonesia dan yang beroperasi di jalan sudah 2.500 unit. Adapun mobil listrik masih berupa proyek percontohan.
”Dalam menyebarkan semangat sustainability ini, kita mulai dari kampanye media sosial dan konvensional, tapi yang penting semua edukasi dan kampanye ada dalam aplikasi kami. Kami ingin memastikan kebiasaan sadar lingkungan dibangun,” ujar Neneng.
Managing Director Xurya Daya Indonesia, Eka Himawan, menambahkan, kampanye energi terbarukan masih perlu didorong mengingat 80 persen sektor energi Indonesia bertumpu pada energi fosil. Sayang, pengembangan industri energi terbarukan, khususnya teknologi energi surya, belum menjadi fokus. Persepsi negatif bahwa energi terbarukan itu mahal alhasil belum hilang.
Untuk mengisi kekosongan tersebut, Xurya menawarkan Xurya Lease di mana klien di bidang industri bisa memasang solar panel tanpa harus melakukan investasi awal. Biaya sewa listrik bisa dibayar dengan harga lebih murah setiap bulan.
”Di luar negeri, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea, solar lease ini tidak keluar biaya investasi sama sekali dan bayar listrik bisa lebih murah. Ini model yang kami coba terapkan di Indonesia,” tutur Eka. (LSA)