Tekan Kesenjangan, Revolusi Industri 4.0 Perlu Berdayakan Kelompok Rentan
Pandemi memaksa negara-negara untuk meninjau ulang kebijakan ekonomi. Salah satunya, mencari strategi implementasi revolusi industri 4.0 yang inklusif dan berkelanjutan agar tidak memperparah kesenjangan sosial-ekonomi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pengunjung menyaksikan teknologi robot penyaji kopi yang ditampilkan peserta pameran Indonesia Industrial Summit 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang, Banten. Foto diambil pada 15 April 2019. Pameran itu diadakan dalam rangka mendorong akselerasi implementasi ”Making Indonesia 4.0” pada sektor industri dan manufaktur.
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi digital yang datang lebih cepat akibat pandemi Covid-19 jangan sampai memperburuk kesenjangan sosial-ekonomi yang saat ini sudah melebar. Strategi pembangunan industri 4.0 harus berpihak pada kelompok rentan, seperti pelaku industri kecil-menengah, pekerja berkeahlian rendah, perempuan, dan anak muda.
Demikian benang merah hari pertama Konferensi Regional Pembangunan Industri atau RCID Ke-2 yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian dan Organisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO) di Jakarta, Rabu (10/11/2021). Ajang itu merupakan bagian dari persiapan menuju Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali tahun depan.
Kepala Perwakilan PBB di Indonesia Valerie Julliand mengatakan, pandemi Covid-19 telah memperparah ketimpangan sosial-ekonomi, mendorong jutaan orang ke jurang kemiskinan. Pembangunan industri 4.0 dapat menggerakkan kembali roda ekonomi dan mendorong pemulihan ekonomi, tetapi perlu diantisipasi agar tidak memperburuk kesenjangan.
”Kalau kita konsisten dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan, kita harus memastikan transformasi digital bisa diakses semua orang, jangan sampai ada yang tertinggal. Revolusi industri 4.0 tidak boleh memperdalam kesenjangan sosial, tetapi justru harus dijadikan alat untuk mempersempit itu,” kata Valerie di acara pembukaan RCID Ke-2.
Menurut dia, diskursus revolusi industri 4.0 selama ini kerap berkutat pada perusahaan multinasional atau industri manufaktur berteknologi canggih. Sementara kenyataannya, lebih dari 90 persen pekerja Indonesia bekerja di usaha serta industri mikro, kecil, dan menengah, yang mendominasi angkatan kerja dan pelaku ekonomi dalam negeri.
”Mayoritas pelaku industri kecil dan menengah itu masih sulit mendapat akses untuk pembiayaan modal serta perangkat dan infrastruktur digital. Lebih dari separuh dari mereka adalah perempuan, yang memainkan peranan penting dalam menggerakkan ekonomi,” ucapnya.
Revolusi industri 4.0 juga bisa mendisrupsi pasar tenaga kerja, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia yang masih didominasi angkatan kerja berkeahlian rendah (low-skilled) dan angkatan kerja muda berpendidikan rendah.
”Revolusi industri 4.0 bahkan tidak hanya mendisrupsi angkatan kerja kerah biru, tetapi juga pekerja kerah putih di seluruh dunia. Sektor ketenagakerjaan yang sudah terdisrupsi pandemi mendapat tantangan ganda juga dari akselerasi transformasi digital,” tutur Valerie.
Konferensi RCID yang diadakan selama dua hari, 10-11 November 2021, ini bertujuan menjawab tantangan-tantangan itu. Acara tersebut dibuka oleh Presiden Joko Widodo serta dihadiri menteri perindustrian dan duta besar dari negara-negara kawasan Asia-Pasifik.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, forum RCID menjadi pertemuan pendahuluan untuk membahas dan mendapatkan masukan dari negara-negara kawasan yang tidak tergabung dalam forum G-20.
Perhelatan itu akan menghasilkan sejumlah rekomendasi dan program kolaborasi untuk mendorong pembangunan industri 4.0 yang lebih inklusif dan berkelanjutan. ”Forum ini akan menjadi tonggak penting menuju persiapan pertemuan KTT G-20 tahun depan,” ujarnya.
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memberi kata sambutan di Konferensi Regional Pembangunan Industri (RCID) Ke-2 di Jakarta, Rabu (10/11/2021). Ajang tersebut mengambil tema ”Akselerasi Industri 4.0 untuk Industrialisasi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pandemi telah memaksa negara-negara untuk meninjau ulang kebijakan ekonominya. Salah satunya, mencari strategi penerapan revolusi industri 4.0 yang lebih inklusif dan berkelanjutan tanpa memperparah kesenjangan sosial-ekonomi dan dampak ekologi yang kian memburuk akibat pandemi.
Ada tiga hal yang akan diprioritaskan untuk menopang pemulihan ekonomi pascapandemi, yakni penguatan sektor kesehatan, transformasi digital yang inklusif, serta transisi energi menuju industri hijau. ”Segala perencanaan yang dulu sudah pernah disusun harus diubah dan dievaluasi lagi,” ujarnya.
Pemetaan dan pendampingan
Indonesia sudah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0 sejak 2018 yang fokus pada tujuh sektor, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, dan industri alat kesehatan. Ketujuh sektor ini diharapkan bisa mendorong kontribusi manufaktur pada PDB, meningkatkan ekspor dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru.
Hasil kajian Kementerian Keuangan dan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2020 menunjukkan, pemanfaatan teknologi dan inovasi berpotensi meningkatkan 0,55 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun sampai dua dekade ke depan, hingga mencapai 2,8 triliun dollar AS pada 2040.
”Revolusi industri 4.0 diyakini akan menjadi game changer bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berdampak langsung pada kebangkitan produksi,” kata Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi.
Pemerintah telah memetakan Indeks Kesiapan Industri 4.0 (INDI 4.0) untuk menilai kesiapan berbagai sektor manufaktur dalam menerapkan transformasi digital. Hasil pengukuran indeks itu digunakan sebagai acuan dalam mengidentifikasi tantangan, peluang, dan menentukan strategi kebijakan untuk mendukung sektor yang masih bergumul.
Ada lima pilar yang diukur dalam indeks tersebut, yaitu manajemen dan organisasi, sumber daya manusia dan kultur usaha, produk dan jasa, teknologi, serta operasionalisasi pabrik. Mengacu pada pemetaan INDI 4.0 itu, sebanyak 13.184 pelaku IKM sudah terkoneksi dalam ekosistem digital melalui program e-smart IKM.
Program itu berupa pelatihan, pendampingan, serta perluasan akses pasar dan pendanaan bagi IKM. ”Sampai sekarang kami masih terus memantau dan mendampingi pelaku industri sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka masing-masing dalam menerapkan teknologi 4.0,” ujar Doddy.