Menunggu Homologasi atau Pailit Garuda, Sekoci Disiapkan
Jalur pengadilan bakal ditempuh Garuda Indonesia untuk merestrukturisasi utangnya. Harapannya terjadi homologasi berkekuatan hukum tetap, sedangkan risikonya dipailitkan. Sekoci telah disiapkan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Penyelamatan maskapai nasional Garuda Indonesia memasuki jalan terjal dan berisiko. Jalur hukum atau jalur pengadilan untuk menunda kewajiban pembayaran utang juga bakal diambil. Harapannya bisa tercapai homologasi atau perdamaian secara hukum. Adapun risikonya, dipailitkan.
”Melalui jalur pengadilan, ada risiko yang harus kami ambil demi menyelamatkan Garuda Indonesia. Berhasil atau tidaknya akan dipengaruhi banyak faktor. Peluangnya sekitar 70:30,” kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam rapat kerja Komisi VI DPR dan Kementerian BUMN yang digelar secara hibrida di Jakarta, Selasa (9/11/2021).
Pekan ini, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mulai menggulirkan proposal restrukturisasi utang dan rencana bisnis ke depan pasca-restrukturisasi kepada para kreditor dan pemegang sukuk global sembari melanjutkan negosiasi dengan mereka. Dalam proposal itu, sejumlah tawaran restrukturisasi disajikan.
Tawaran itu mulai dari obligasi tanpa bunga hingga jatuh tempo (zero coupon bonds), obligasi baru berkupon rendah yang dikombinasi dengan konversi utang ke ekuitas, hingga pembayaran utang tanpa penghapusan atau pemotongan.
Khusus terkait para lessor (perusahaan sewa guna) pesawat, manajemen Garuda akan meminta mengurangi jumlah pesawat yang disewa dan menekan tarif sewa pesawat 40-50 persen dari tarif saat ini dengan mekanisme tarif sewa per jam.
Manajemen Garuda juga akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke pengadilan di dalam dan luar negeri untuk merestrukturisasi utang. Restrukturisasi utang dengan 32 lessor itu penting lantaran 65 persen atau sekitar 6,351 miliar dollar AS dari total utang Garuda yang sebesar 9,756 miliar dollar AS adalah piutang para lessor. Melalui restrukturisasi itu, utang Garuda ditargetkan bisa berkurang dari 9,756 miliar dollar AS menjadi 3,68 miliar dollar AS.
Melalui jalur pengadilan, ada risiko yang harus kami ambil demi menyelamatkan Garuda Indonesia. Berhasil atau tidaknya akan dipengaruhi banyak faktor. Peluangnya sekitar 70:30.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, proses restrukturisasi utang akan dilakukan, baik dengan negosiasi di luar pengadilan maupun melalui jalur pengadilan. Kementerian BUMN dan manajemen Garuda melihat, jalur pengadilan akan lebih memberikan jaminan bagi Garuda untuk segera menyelesaikan restrukturisasi utang.
Melalui PKPU, Garuda sebagai debitor akan duduk bersama dengan kreditor di hadapan hukum untuk berunding dan membahas rencana perdamaian terkait utang piutang tersebut dalam tempo 270 hari. Kalau hanya mengandalkan negosiasi di luar pengadilan, waktunya lebih lama dan beban Garuda bisa bertambah besar.
”Garuda merupakan perusahaan yang unik karena alat produksi atau pesawatnya menyewa. Kalau proses restrukturisasinya kelamaan, para lessor yang lelah bernegosiasi dan melihat peningkatan trafik penerbangan di luar negeri bisa memindahkan pesawatnya. Jika hal ini terjadi, Garuda bisa bubar,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Irfan, pilihan menyelesaikan restrukturisasi utang di dalam pengadilan itu yang terbaik. Sembari itu, manajemen Garuda tetap akan bernegosiasi di luar pengadilan dengan para lessor, menawarkan rencana bisnis baru, dan mentransformasi bisnis.
Kartika menuturkan, tantangan memilih opsi PKPU ini berat dan berisiko. Berat lantaran manajemen Garuda harus berhadapan dengan proses yurisdiksi hukum yang berbeda karena melibatkan kreditor dari luar negari.
Selain harus menghadapi PKPU di pengadilan negeri, persoalan ini juga berpotensi dibawa ke arbitrase internasional di Inggris. Meskipun di dalam negeri sudah terjadi homologasi secara hukum, Garuda tetap bisa digugat di arbitrase internasional.
”Proses hukum ini juga berisiko karena bisa jadi hasilnya justru Garuda yang dipailitkan. Namun, risiko ini tetap harus diambil karena sudah tidak ada waktu lagi untuk menyelamatkan Garuda. Kalau hanya mengandalkan negosiasi untuk mencapai mufakat dengan para lessor di luar pengadilan setidaknya butuh waktu dua tahun,” ujarnya.
Risiko ini tetap harus diambil karena sudah tidak ada waktu lagi untuk menyelamatkan Garuda. Kalau hanya mengandalkan negosiasi untuk mencapai mufakat dengan para lessor di luar pengadilan setidaknya butuh waktu dua tahun.
Restrukturisasi utang Garuda ini, lanjut Kartika, berbeda dengan restrukturisasi utang PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara (Persero), PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Perusahaan-perusahaan itu mayoritas kreditornya berasal dari dalam negeri dan sekitar 90 persen sudah dikenal sehingga proses negosiasinya relatif lebih mudah.
”Sementara Garuda, sekitar 75 persen kreditornya tidak kami kenal dan dari luar negeri sehingga dinamika negosiasinya berbeda sama sekali. Porsi kreditor di dalam negeri, seperti bank-bank dan sejumlah perusahaan milik negara, hanya sekitar 25 persen,” katanya.
Menurut Kartika, persoalan finansial tidak hanya dialami Garuda, tetapi juga maskapai-maskapai di dunia. Maskapai-maskapai tersebut juga mengatasi masalah likuiditas dan operasional serta berupaya merampungkan masalah utangnya melalui jalur hukum.
Philipine Airline, misalnya, berupaya mengurangi utangnya sekitar 2 miliar dollar AS. Maskapai Filipina itu membutuhkan pendanaan 738 juta dollar AS dan tengah menjalani proses gugatan hukum di Amerika Serikat berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat Bab 11.
Thai Airways juga menempuh jalur PKPU. Bentuk restrukturisasi utang maskapai Thailand ini juga sama dengan Garuda, yaitu dengan menawarkan utang baru dengan bunga rendah yang dikombinasikan dengan ekutias.
”Adapun Singapura Airlines diberikan dana bailout oleh Pemerintah Singapura sebesar 16 miliar dollar AS. Hal ini mengingat maskapai tersebut memiliki peran kuat sebagai katalis perekonomian Singapura,” ujar Kartika.
Dalam kesempatan itu, Kartika menegaskan, jalur hukum yang ditempuh Garuda ini bukan dalam rangka memailitkan Garuda dan menggantinya dengan maskapai PT Pelita Air Service. Opsi PKPU itu diambil untuk menyelamatkan Garuda dengan harapan terjadi homologasi.
Kami harus menyiapkan sekoci untuk mengisi kekosongan ini. Sekoci tersebut bisa digunakan jika proses hukum tidak sesuai harapan.
Pelita Air disiapkan sebagai maskapai yang melayani penerbangan penumpang umum untuk mengantisipasi berkurangnya jumlah pesawat Garuda pasca-restrukturisasi selesai. Dalam rencana transformasi bisnis garuda, jumlah pesawat Garuda dan Citilink ditargetkan berkurang dari 202 pesawat pada 2021 menjadi 134 pesawat pada 2022.
Pelita Air juga disiapkan untuk menjadi sekoci Garuda jika hasil proses hukumnya dinyatakan pailit. Jika Garuda dipailitkan, Indonesia akan kekurangan pesawat. Saat ini, ada 350-450 pesawat yang beroperasi di Indonesia. Jika kehilangan sekitar 150 pesawat yang dioperasikan Garuda, tahun depan akan terjadi kelangkaan pesawat.
”Kami harus menyiapkan sekoci untuk mengisi kekosongan ini. Sekoci tersebut bisa digunakan jika proses hukum tidak sesuai harapan,” pungkas Kartika.