Ekonomi Pulih, Insentif Pajak Akan Dipangkas Bertahap
Insentif berupa keringanan pajak yang digelontorkan semasa pandemi Covid-19 berlangsung akan dikurangi secara bertahap seiring dengan proses pemulihan ekonomi nasional.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memiliki intensi untuk mengurangi pemberian insentif pajak secara bertahap seiring perkembangan pemulihan ekonomi yang berjalan positif. Insentif pajak untuk pemulihan ekonomi nantinya akan digantikan dengan insentif yang mendukung reformasi struktural.
Dalam webinar bertajuk ”Akselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional 2021/2022 Arah Strategi Kebijakan Investasi, Kepabeanan dan Perpajakan”, Kamis (11/11/2021), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menekankan insentif pajak yang sifatnya relaksasi ini sedikit demi sedikit akan diturunkan.
”Pengurangan insentif pajak tetap bergantung pada perkembangan situasi pandemi Covid-19 ke depan. Harapannya seiring ekonomi yang berangsur pulih, secara bertahap insentif pajak bisa diganti dengan insentif yang sifatnya lebih struktural,” ujarnya.
Harapannya seiring ekonomi yang berangsur pulih, secara bertahap insentif pajak bisa diganti dengan insentif yang sifatnya lebih struktural. (Suahasil Nazara)
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sejak awal Januari hingga pertengahan Oktober 2021, insentif pajak yang masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional telah dimanfaatkan sebesar Rp 60,57 triliun dari alokasi sekitar Rp 63 triliun.
Alokasi tersebut didominasi oleh insentif pajak untuk dunia usaha sebesar Rp 57,81 triliun. Adapun sisanya terbagi pada insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk properti Rp 640 miliar, insentif Pajak Pembelian atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor Rp 2,08 triliun, serta insentif PPN sewa outlet untuk ritel sebesar Rp 45,01 miliar.
Saat nanti dunia usaha dan konsumsi masyarakat sudah semakin pulih, lanjut Suahasil, insentif fiskal nantinya akan berorientasi untuk mendorong sektor-sektor yang berdampak langsung terhadap putaran roda ekonomi nasional.
Contoh dari insentif fiskal berorientasi struktural yang saat ini masih digelontorkan pemerintah adalah kebijakan pembebasan Pajak Penghasilan badan atau tax holiday.
Insentif tersebut bertujuan untuk menarik lebih banyak investasi di sektor riil berupa penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri. Sayangnya, menurut Suahasil, insentif tax holiday tidak berjalan optimal di sepanjang pandemi karena minat investasi tengah surut.
”Intinya kita akan mencari keseimbangan peran APBN terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika angka penularan Covid-19 terus rendah serta kegiatan ekonomi berkembang di dalam tatanan kerja yang baru, pemulihan ekonomi bisa cepat dicapai,” ujarnya.
Penerimaan pajak hingga akhir triwulan III-2021 mencapai Rp 850,06 triliun, tumbuh 13,25 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan pajak bisa mencapai Rp 1.176,3 triliun hingga akhir 2021, setara 95,7 persen dari pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun
Pendorong ekonomi
Senior Advisor Taxprime yang juga mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan, menjelaskan, skema pajak dibuat bukan hanya untuk mengumpulkan penerimaan bagi perekonomian, melainkan juga untuk menyalurkan insentif pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia mencontohkan, Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan kebijakan insentif pengurangan Pajak Penghasilan badan di atas 100 persen atau super tax deduction yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019.
Peraturan tersebut mengatur pemberian insentif berupa pengurangan pajak dari penghasilan bruto paling tinggi 200 persen bagi pelaku usaha dan pelaku industri yang melakukan kegiatan pengembangan vokasi. Selain itu, terdapat insentif berupa pengurangan pajak dari penghasilan bruto paling tinggi 100 persen bagi pelaku industri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan.
”Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing industri nasional, mendorong industri berbasis teknologi, serta mempercepat industri manufaktur nasional agar siap menuju revolusi industri 4.0,” papar Robert.
Insentif pengganti
Dalam kesempatan berbeda, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, konsensus minimum global akan memengaruhi insentif fiskal seperti tax holiday yang punya manfaat sebagai magnet penarik investor.
Konsensus yang dimaksud adalah konsensus perpajakan internasional dalam forum G-20 yang telah menyepakati pajak minimum global sebesar 15 persen yang akan diimplementasikan pada tahun 2023. Sebagai anggota G-20 dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Indonesia pun telah menyepakati ketentuan tersebut.
Adapun tax holiday memberikan pembebasan Pajak Penghasilan badan kepada industri pionir yang berinvestasi dengan nilai tertentu dengan jangka waktu investasi tertentu. Insentif pajak ini digelontorkan pemerintah kepada investor selama 5 tahun hingga 20 tahun.
Kementerian Keuangan masih melakukan pembahasan lebih lanjut untuk menentukan nasib insentif tax holiday terkait dengan ketetapan pajak minimum global. (Yon Arsal)
”Hingga saat ini Kementerian Keuangan masih melakukan pembahasan lebih lanjut bersama Kemenko Perekonomian serta Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk menentukan nasib insentif tax holiday terkait dengan ketetapan pajak minimum global,” ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, akan melihat ketentuan-ketentuan yang juga berlaku di negara lain. Meski akan ada perubahan dalam kebijakan nasional dan insentif fiskal, diharapkan tidak memengaruhi minat investor. ”Ini bukan hanya masalah kita sendiri. Ini masalah semua negara yang menggunakan tax holiday dan tax allowance untuk menarik investasi,” ujarnya.