Kesenjangan dalam Pembangunan Industri Negara Maju dan Berkembang Perlu Diatasi
Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi teknologi dan penerapan revolusi industri 4.0. Namun, perubahan itu membawa dualisme yang dapat memperdalam kesenjangan antara negara maju dan berkembang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja menyortir ikan di Pasar Ikan Muara Baru, Jakarta, Rabu (14/11/2018). Modernisasi industri perikanan dan sumber daya manusia perlu dipersiapkan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas sektor perikanan menghadapi revolusi industri 4.0
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan industri 4.0 berpotensi memperdalam kesenjangan pembangunan industri antara negara maju dan berkembang. Perlu strategi nasional dan kebijakan afirmatif yang berpihak pada industri kecil-menengah agar mampu bersaing dengan perkembangan zaman.
Tantangan dan dilema dalam penerapan revolusi industri 4.0 itu akan menjadi topik yang diangkat dalam Konferensi Regional Pembangunan Industri Ke-2 (RCID) pada 10-11 November 2021 di Jakarta dengan tema ”Akselerasi Industri 4.0 untuk Industrialisasi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
Acara yang diadakan bersama Organisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO) itu merupakan bagian dari persiapan menuju Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali, tahun depan. Rekomendasi dari RCID akan menjadi isu yang diangkat pada pertemuan kelompok kerja Trade Industry and Investment Working Group (TIIWG) pada forum G-20.
Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, pandemi Covid-19 menunjukkan pembangunan industri yang tidak seimbang antara negara maju dan berkembang. Mulai dari krisis rantai pasok dan kelangkaan bahan baku, seperti semikonduktor, sampai kesenjangan kapasitas industri kesehatan dan farmasi dalam penanganan pandemi.
Kesenjangan itu berpotensi semakin menjadi-jadi dengan tuntutan mempercepat adopsi teknologi digital di sektor industri. ”Pembangunan industri antarnegara seharusnya ada di pijakan yang adil, semua negara punya kesempatan yang sama,” katanya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (8/11/2021).
Pandemi Covid-19 menunjukkan pembangunan industri yang tidak seimbang antara negara maju dan berkembang.
Konferensi RCID akan merumuskan tantangan, kendala, dan peluang di negara-negara berkembang dalam memasuki era industri 4.0. Secara umum, ada empat tema yang akan diangkat, yaitu peningkatan partisipasi industri kecil-menengah (IKM) dalam rantai pasok global, penguatan sumber daya manusia industri, strategi transisi menuju industri hijau, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
”Forum ini akan fokus pada bagaimana menghadapi tantangan dan mengoptimalkan peluang revolusi industri di tengah masa pandemi yang penuh ketidakpastian, khususnya untuk negara-negara berkembang yang tergabung dalam RCID,” ujarnya.
Perwakilan UNIDO untuk Indonesia dan Timor Leste Esam Al Qararah mengatakan, dalam kesempatan itu, UNIDO akan menandatangani program kerja sama dengan pemerintah senilai 22 juta dollar AS atau Rp 314,6 miliar yang akan dilangsungkan pada 2021-2025 dengan total 16 proyek.
Empat program utama yang diusung adalah penguatan daya saing industri dan akses pasar, pembangunan industri berkelanjutan yang bertumpu pada penggunaan energi bersih, pengembangan industrialisasi yang ramah lingkungan, serta penguatan kerja sama pada aspek inovasi, digitalisasi, dan industri 4.0.
”Nilainya memang kecil untuk negara yang besar seperti Indonesia, tetapi dampaknya diharapkan bisa membawa nilai lebih besar bagi arah industrialisasi di negara ini,” ucap Esam.
Empat program utama yang diusung adalah penguatan daya saing industri dan akses pasar, pembangunan industri berkelanjutan yang bertumpu pada penggunaan energi bersih, pengembangan industrialisasi yang ramah lingkungan, serta penguatan kerja sama pada aspek inovasi, digitalisasi, dan industri 4.0.
Menurut Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani, perkembangan teknologi yang pesat akan membawa dualisme yang mendorong daya saing industri dalam negeri, tetapi juga memunculkan disrupsi yang memperparah kesenjangan antarsektor, terutama bagi IKM yang mendominasi struktur industri nasional.
”Akan ada sektor yang bisa beradaptasi dengan cepat dan produktivitasnya akan tinggi dengan tenaga kerja yang berketerampilan tinggi dan pemasukan tinggi pula. Di sisi lain, ada sektor yang akan kesulitan, baik dari segi penguasaan teknologi, kemampuan modal, maupun kapasitas sumber daya manusianya,” kata Dendi.
Kemenperin mencatat, per 2020, dari total 4.410.557 unit usaha industri, 99,77 persen atau 4.400.374 unit usaha di antaranya merupakan IKM. Hanya 0,23 persen atau 10.183 unit usaha yang termasuk dalam industri besar. IKM umumnya masih bertumpu pada industri dengan teknologi skala 1.0 atau 2.0.
IKM juga menyerap lebih banyak tenaga kerja di sektor industri. Dari total 15.637.929 pekerja yang diserap di sektor industri, 66,25 persen diserap sektor IKM, sementara industri besar hanya menyerap 33,75 persen pekerja.
Menurut Dendi, untuk mengurangi kesenjangan tersebut, perlu ada kebijakan afirmatif yang berpihak kepada IKM. Sejauh ini sudah ada beberapa program untuk meningkatkan kapasitas manajemen IKM dan sumber daya manusia, tetapi belum cukup intensif. ”Masih business as usual,” ujarnya.
Dendi menambahkan, strategi mendorong industri 4.0 di tengah pandemi perlu dilakukan secara berhati-hati dan tak bisa diburu-buru. Itu karena digitalisasi industri dapat berdampak pada berkurangnya beberapa jenis pekerjaan tertentu, sementara saat ini penciptaan lapangan kerja dibutuhkan untuk mengatasi pengangguran akibat pandemi.
Perkembangan teknologi yang pesat akan membawa dualisme yang mendorong daya saing industri dalam negeri, tetapi juga memunculkan disrupsi yang memperparah kesenjangan antar sektor.
”Jadi, ini memang proses panjang untuk Indonesia dan negara berkembang lain. Harus berproses secara alami dan selaras dengan upaya menyiapkan sumber daya manusia. Sejumlah sektor usaha saat ini sudah mulai mengarah ke sana, tetapi beberapa mungkin butuh waktu lebih lama dan perlu dukungan khusus,” kata Dendi.
Sebelumnya, pemerintah memprioritaskan tujuh sektor industri dalam program Making Indonesia 4.0. Tujuh sektor tersebut adalah makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, serta alat kesehatan. Kontribusi tujuh sektor itu sekitar 70 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) manufaktur, 65 persen ekspor manufaktur, dan 60 persen pekerja industri.
Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman menyampaikan, Indonesia memerlukan industri pengolahan yang bernilai tambah dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
”Langkah ini turut berdampak pada daya saing (perekonomian nasional). Indonesia bisa semakin bersaing di tingkat global,” katanya (Kompas, 6/4/2021).
Penelitian dan pengembangan juga memegang peran kunci dalam revolusi industri 4.0 agar dapat tetap bersaing dan dapat menghadapi disrupsi teknologi. Penelitian dan pengembangan menyangkut proses dan produk industri.