Pertambangan Rakyat Minahasa Utara Pakai Asam Amino untuk Ekstraksi Emas
Pertambangan emas rakyat di Desa Tatelu, Minahasa Utara, didorong untuk terus mengurangi penggunaan bahan berbahaya dan beracun dalam proses ekstraksi emas. Zat alternatif yang digunakan adalah asam amino.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
AIRMADIDI, KOMPAS — Pertambangan emas rakyat di Desa Tatelu, Minahasa Utara, didorong untuk terus mengurangi penggunaan bahan berbahaya dan beracun dalam proses ekstraksi emas. Alternatif yang ditawarkan adalah beberapa jenis asam amino yang dapat menaikkan tingkat ekstraksi emas hingga 80 persen.
Penggunaan zat asam amino di pertambang emas rakyat mulai diperkenalkan oleh Yayasan Emas Artisanal Indonesia (YEAI) ketika menyerahkan bantuan fasilitas pengolahan emas, Sabtu (6/11/2021), di Desa Tatelu, Kecamatan Dimembe, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sianida dalam komposisi reagen ekstraksi emas dapat ditekan hingga 70 persen, digantikan asam amino.
Manajer Proyek YEAI, Agni Kristia Pratama, mengatakan hal ini adalah langkah lanjutan dari upaya untuk menghapuskan penggunaan merkuri dari pertambangan emas rakyat. Ia menyebut kan, sejak 2011 sekitar 90 persen dari 2.000-an petambang rakyat di Tatelu telah meninggalkan merkuri dan beralih ke sianida.
Tingkat kemampuan ekstraksi emas (recovery rate) dari 1 ton batuan bisa mencapai 60 persen, lebih tinggi daripada merkuri yang hanya mencapai 40 persen. ”Kalau menggunakan campuran asam amino seperti glisin dan sianida, hasil laboratorium membuktikan recovery rate bisa mencapai 81-83 persen,” katanya.
Glisin adalah sejenis asam amino yang aman dikonsumsi manusia, salah satunya sebagai asupan tambahan penguat otot dan tulang. ”Jadi, dia ramah lingkungan. Berapa pun yang digunakan, tidak akan berdampak buruk bagi lingkungan kita,” tambah Agni.
Kalau menggunakan campuran asam amino seperti glisin dan sianida, hasil laboratorium membuktikan recovery rate bisa mencapai 81-83 persen. (Agni Kristia Pratama)
Ia mengakui, merkuri lebih efektif karena ekstraksi hanya berlangsung sekitar 24 jam, jauh lebih cepat ketimbang campuran asam amino dan sianida yang membutuhkan waktu 36 jam. Namun, dalam jangka panjang masyarakat akan diuntungkan oleh hasil yang lebih banyak sehingga pendapatan juga bertambah.
Untuk mengontrol pencemaran lingkungan akibat limbah, terutama di air sungai, YEAI telah memberikan pelatihan metode titrasi kepada para petambang di Desa Tatelu yang tergabung dalam dua koperasi, yaitu Koperasi Batu Emas dan Batu Api. Kandungan sianida di sungai sekitar tambang emas berizin itu saat ini diklaim masih di bawah baku mutu, yaitu 0,05 miligram per liter.
Dihibahkan
Hal serupa juga terpantau di kolam limbah fasilitas pengolahan emas buatan YEAI yang telah dihibahkan kepada Koperasi Batu Emas untuk dikelola. Agni mengatakan, semua petambang rakyat di Tatelu nantinya dapat mengolah batuan dari lubang masing-masing di fasilitas senilai Rp 3 miliar itu.
Dikatakan, Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri memandatkan merkuri tidak lagi digunakan di pertambangan rakyat pada 2025. ”Ini adalah turunan dari Konvensi Minamata yang ditandatangani 128 negara. Harapannya, 2025 nanti, Indonesia bisa 100 persen bebas merkuri,” kata Agni.
Saat ini, YEAI membina lima koperasi tambang emas di Minahasa Utara, Bolaang Mongondow Timur, dan Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Namun, di seluruh Indonesia, ada 1,3 juta petambang rakyat yang kemungkinan besar masih menggunakan merkuri. ”Sistem ini bisa direplikasi di daerah-daerah lain,” ujarnya.
Ketua Koperasi Batu Emas Henry Walukow, mengatakan koperasinya beranggotakan 211 pemilik lahan, lubang, dan pemodal tambang. Para pekerja didatangkan dari berbagai daerah untuk menggarap sekitar 200 lubang yang masih produktif wilayah pertambangan rakyat (WPR) seluas 25 hektar.
Dalam sebulan, kira-kira koperasi bisa menghasilkan 14 kilogram emas. Emas itu dijual kepada berbagai pihak, termasuk PT Antam Resourcindo yang rutin membeli setidaknya 5 kilogram emas dari koperasi itu setiap bulan sejak 2020.
Pengenalan asam amino dan pemberian fasilitas pengolahan emas kepada Koperasi Batu Emas Henry dapat meningkatkan penyerapan ke perusahaan-perusahaan besar. Sebab, emas yang dihasilkan dengan cara ramah lingkungan semakin diminati.
”Kami sedang dalam masa transisi untuk mengurangi sianida. Jadi tetap membutuhkan pendampingan dari YEAI dalam menciptakan sistem pengolahan yang lebih ramah lingkungan. Harapannya, produksi kami bisa meningkat,” kata Henry, menggarisbawahi masa pendampingan YEAI yang akan berakhir di pengujung 2021.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut Marly Gumalag mengatakan, emas dari Tatelu dan Tobongon, Bolaang Mongondow Timur, bisa didorong menjadi emas dengan label ramah lingkungan (ecolabel) berkat pemanfaatan asam amino. ”Ecolabel ini bisa didapatkan dari praktik pertambangan yang baik,” katanya.