Pelanggaran upah minimum terus menjadi masalah klasik tanpa solusi nyata. Perubahan sistem pengupahan tanpa penguatan pengawasan dan penegakan sanksi membuat fungsi upah minimum sebagai jaring pengaman semakin rapuh.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Kekhawatiran buruh tentang kembalinya rezim upah murah pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja mulai terlihat. Rumusan baru yang untuk pertama kalinya akan dipakai pada penetapan upah minimum 2022 ini meredam besaran kenaikan menjadi lebih kecil daripada sebelumnya.
Persentase kenaikan upah minimum yang pasti belum keluar karena data-data indikator makro ekonomi dari Badan Pusat Statistik (BPS) baru dirilis, Jumat (5/11/2021) kemarin. Namun, Dewan Pengupahan Nasional memperkirakan, kenaikan upah minimum tidak akan setinggi sebelumnya, yakni di kisaran 2-3 persen dari standar yang saat ini berlaku (Kompas, 26/10/2021).
Sebagai perbandingan, kenaikan upah minimum dalam lima tahun terakhir selalu ada di atas 8 persen. Kenaikan tertinggi tercatat pada 2014 hingga 22,2 persen. Saat itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan survei komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Pasca-UU Cipta Kerja, upah ditetapkan sesuai rumus baru yang bertumpu pada indikator makro ekonomi yang dirilis BPS. Survei KHL tidak lagi dijadikan acuan, ruang negosiasi juga ditiadakan.
Idealnya, hakikat upah minimum memang sebagai instrumen jaring pengaman (safety net) agar pekerja tidak dibayar semena-mena. Upah minimum pun seharusnya hanya berlaku untuk pekerja lajang yang baru masuk dunia kerja dan bekerja di bawah satu tahun.
Hal ini pula yang selalu menjadi argumentasi kelompok pengusaha. Di mata pengusaha, upah minimum seharusnya tidak usah ditetapkan terlalu tinggi karena fungsinya hanya sebagai jaring pengaman dan tidak bisa dijadikan patokan untuk upah layak.
Namun, upah minimum sebagai jaring pengaman paling rendah baru akan efektif jika pada praktiknya diikuti. Kenyataannya, tingkat kepatuhan (compliance) pengusaha selama ini terhitung rendah. Bahkan, masih banyak pekerja yang dibayar di bawah standar minimum yang berlaku.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja atau hampir separuh dari total pekerja di Indonesia masih digaji di bawah upah minimum. Dalam empat tahun terakhir, kepatuhan pengusaha menggaji buruh sesuai standar minimum selalu berkisar 49-57 persen.
Dengan membandingkan data rata-rata upah riil bersih dengan besaran upah minimum yang berlaku di tiap provinsi per Februari 2021, terlihat bahwa dari total 34 provinsi, masih ada 11 provinsi yang rata-rata upah riil bersihnya ada di bawah standar minimum yang berlaku.
Memang, upah minimum idealnya hanya sebagai jaring pengaman. Tetapi, ketika tidak dipatuhi, jaring pengaman itu menjadi rapuh. Apalagi, tidak ada tanda-tanda penguatan sistem pengawasan dan penegakan terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum itu.
Pengawasan
UU Cipta Kerja masih menempatkan pekerja sebagai beban biaya produksi yang memberatkan pengusaha, alih-alih sebagai manusia yang perlu disejahterakan. UU mengatur tentang bagaimana meredam kenaikan upah minimum melalui rumus-rumus penghitungan upah yang baru, tetapi tidak mengatur tentang pengawasan dan penegakan hukum untuk implementasinya.
Memang, ada aturan bahwa pengusaha yang menggaji di bawah upah minimum akan dikenai sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan/atau denda Rp 100 juta-Rp 400 juta. Namun, aturan ini hanya garang di atas kertas. Faktanya, pengusaha kerap tidak dijatuhi sanksi karena terkendala jumlah pengawas yang terlalu sedikit, serta kualitas pengawas yang tidak memadai. Sampai saat ini, belum tampak ada upaya untuk menguatkan upaya pengawasan itu.
Perwakilan unsur serikat buruh dan asosiasi pengusaha di Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) sempat mengusulkan perlunya sistem pengawasan yang lebih kuat dengan melibatkan Depenas dalam bentuk evaluasi rutin untuk mengecek implementasi upah minimum. Namun, belum ada tanda-tanda usulan itu akan dibakukan dan diterapkan tahun depan.
Di masa pandemi, jaminan upah bagi pekerja semakin terancam dengan keluarnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19 serta Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Covid-19.
Kedua peraturan itu pada prinsipnya mengizinkan pengusaha/pemberi kerja yang terdampak pandemi untuk menyesuaikan atau memotong upah pekerjanya. Syaratnya, penyesuaian upah itu harus didasarkan pada kesepakatan bipartit antara pengusaha dan pekerja.
Namun, lagi-lagi, karena pengawasan yang longgar, banyak kasus pelanggaran yang tidak ditindak. Di sektor tekstil, garmen, sepatu dan kulit (TGSL), sejumlah perusahaan mengurangi upah pekerjanya tanpa melakukan perundingan bipartit dengan serikat pekerja. Buruh dipanggil secara individual dan diminta menyetujui pemotongan upah tanpa didampingi serikat pekerja, yang membuat posisi tawarnya semakin lemah di hadapan manajemen perusahaan.
Selama bertahun-tahun, pelanggaran upah minimum terus menjadi masalah klasik tanpa solusi nyata. Dengan sistem pengupahan yang akan berubah mulai tahun depan, serta tidak adanya tanda-tanda penguatan pengawasan dan penegakan sanksi, kehadiran upah minimum sebagai jaring pengaman untuk menjamin hidup layak bagi pekerja menjadi semakin rapuh.