Jalan Baru Jahe Merah Baduy
Tengkulak kota, pedagang pasar yang hanya iming-iming pembayaran, bahkan pedagang ngemplang atau menipu adalah cerita lama. Jahe merah Baduy kini mendapatkan kepastian pasar yang menjanjikan pendapatan.
Empon-empon naik daun. Mungkin masih ingat kala pandemi Covid-19 merebak, istilah Jawa empon-empon menjadi begitu populer di Indonesia sebagai herbal tradisional untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Salah satu empon-empon itu adalah jahe merah.
Sebuah jalan baru jahe merah petani Baduy kini terbuka. Tengkulak kota, pedagang pasar yang hanya iming-iming pembayaran, bahkan pedagang ngemplang atau menipu adalah cerita lama. Lembaran pengalaman pahit itu seakan ingin ditutup rapat-rapat, ditinggalkan dengan sebuah kepastian.
Hampir satu tahun menyemai, tibalah masa panen. Dari luas hamparan 2,5 hektar yang tersebar di area perbukitan masyarakat Baduy Lalam dan Baduy Luar, minimal sebanyak 16 ton jahe merah diprediksi siap dipanen. Tak sekadar kepastian panen, petani kini juga menuju kepastian pasar industri pengolah empon-empon.
Peluh lelah Asrip mengangkut satu per satu karung jahe merah hasil pertaniannya terhapuskan senyum. Dia memprediksi, hasil panenannya bisa mencapai sekitar 2,5 ton dari luas lahan miliknya yang sekitar 4.000 meter persegi. Begitu pula wajah ceria Basri dan Artim yang memperkirakan hasil panenannya masing-masing bisa mencapai 1 ton dari setiap lahannya.
Asrip, petani Baduy Luar yang menjadi Ketua Tani di Desa Kenakes, Lebak, Banten, Jumat (22/10/2021), menceritakan, perjalanan pembinaan bertani jahe merah yang diselenggarakan berkat kerja sama antara Yayasan Dharma Bakti Astra dan PT Bintang Toedjoe.
Asrip mengaku, semua ilmu bertani jahe merah menjadi bekal yang berharga usaha pertaniannya. Terlebih, sebelumnya pola pertanian yang dijalani, termasuk jahe merah, hanyalah dilakukan secara turun temurun sesuai adat-istiadat nenek moyangnya.
Basri dan Artim adalah petani Baduy Luar. Mereka merupakan petani yang sama sekali belum punya pengalaman budidaya jahe merah. Bagi mereka, menanam jahe merah skala besar di lahannya benar-benar menjadi pengalaman baru, sekaligus menantang bagi keduanya. Mereka berharap budidaya ini bisa menjadikan mereka sebagai petani mandiri.
Lelah menanam, menunggu panen, tetapi begitu panen, harapan mendapatkan keuntungan tak selamanya bisa diraih sesuai harapan. Betapa tidak, ada saja alasan kualitas yang sering membuat harga dipermainkan pedagang. Belum lagi, pernah ada pedagang dari kota lain, niatnya mencari jahe merah dengan harga lebih murah, ternyata pembayarannya ditunda-tunda.
Dikumpulkan
Hampir 11 bulan proses bertani jahe, mulai dari semai bibit, tanam di lahan perbukitan dan merawat, kini tibalah masa panen. Tepat 20-26 Oktober lalu, jahe merah petani Baduy mulai dipanen. Dikumpulkan untuk dikirim ke pabrik PT Bintang Toedjoe di Jakarta.
Hujan yang kerap mengguyur daerah Lebak memang menjadi tantangan tersendiri bagi petani. Bagi petani Baduy, fenomena hujan yang begitu dominan terjadi pada tahun 2016. Jahe sangat sensitif terhadap air. Pembusukan menjadi kendala jahe merah. Fisiknya memang terlihat utuh, tetapi begitu dipegang, jahe agak lembek. Tantangan pembusukan itu selalu menghantui petani jahe.
Sejak Juli 2020, petani Baduy diajak meningkatkan produktivitas jahe merah. Dalam masyarakat Baduy, pola tanam mereka sangat kental dengan kegiatan adat-istiadat. Selain padi huma atau padi gunung, mereka hanya menanam jahe merah dan kencur.
Dani Kurnia, Koordinator Proyek YDBA Lebak Banten, di Desa Hariang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (27/10/2021), menegaskan, ”Panen saat ini boleh dibilang sebagai panen perdana, setelah program pola tanam sejak Juli 2020. Inilah jalan baru bagi mereka untuk memperoleh kepastian tanaman jahe merah bisa meningkatkan pendapatan keluarga. Lepas dari tengkulak dan pedagang nakal.”
Bulan Juli 2020, mereka tak sekadar diajarkan menanam, melainkan pengenalan mentalitas dasar. Kemudian, teknik baik pengetahuan tentang syarat tumbuh jahe merah, penyemaian dan proses panen. Sebagai lulusan Politeknik Pengembangan Pertanian Bogor (dulu Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian), Dani mengajarkan terlebih dahulu pembukuan sederhana bagi petani.
Petani mendapatkan pendampingan dari tenaga ahli PT Bintang Toedjoe, YDBA, Polbangtan Bogor dan CV Mitra Kompos Lebak. Sebetulnya, petani sudah berkecimpung di dunia tanaman jahe merah cukup lama. Namun, tingkat produktivitasnya rendah. Dengan berbagai pelatihan teknis dan manajemen, standar Bintang Toedjoe memperkirakan jumlah panen jahe merah di Pulau Jawa sebanyak 12 ton per hektar, tergantung iklim dan tanah, termasuk bibitnya.
”Kebetulan, kita memperjuangkan pengembangan bibit jahe merah lokal Baduy. Boleh dibilang, program ini merupakan uji coba, apakah masih bisa ditingkatkan produktivitasnya atau tidak? Upaya ini didukung dengan pelatihan dan pendampingan secara intens. Tercatat ada sembilan pelatihan dan tiga pendampingan dengan prioritas peningkatan produksi,” ujar Dani.
Saat pelatihan, pembukuan sederhana menjadi salah satu pelatihan yang berkesan. Selama ini, mereka sulit menentukan modal usaha tanaman jahe merah. Mereka tidak pernah tahu, bahkan tidak pernah pula menghitung.
Teknik pembukuan cukup sederhana, antara lain, menggunakan kalender tanam. Semua harus direncanakan sejak awal.
”Enggak bisa berpegang pada ’gimana nanti, gimana nanti’, tetapi harus ’nanti gimana?’,” kata Dani.
Karena itu, lanjut Dani, dari kalender tanam, turunannya berupa pencatatan harian. Kalender tanam dimulai dengan rencana pembelian bibit, dilanjutkan semai, dan tanam hingga panen. Sementara catatan harian terdiri dari pengeluaran dan pemasukan. Seluruhnya dicatat agar saat panen, mereka bisa mengetahui modal usaha, omzet dan profitnya. Kemudian, mereka pun dikenalkan dengan analisis usaha sehingga diketahui modal usaha atau harga pokok produksi.
Selama ini, petani Baduy tidak pernah melakukan pemupukan dan pengendalian hama. Akibatnya, produksinya tidak pernah meningkat. Pembiaran terhadap serangan hama kerap terjadi.
Karena itu, pelatihan teknis juga berupa pembuatan pupuk kompos dan organik cair. Kotoran ternak yang dahulu dibuang-buang, sekarang dipakai sebagai kompos.
Terhadap penyakit atau hama tanaman, petani diberikan pelatihan produksi agensi hayati dan pestisida nabati. Semua diperoleh dari alam untuk dikembalikan ke alam.
”Agensi hayati ibarat virus dilawan dengan virus. Mirip trikoderma, bakteri dilawan dengan bakteri. Itu semua diambil dari alam sekitarnya, misalnya diambil dari akar bambu yang begitu berlimpah di daerah ini. Sementara, bahan pestisida nabati diambil dari buah-buahan,” ujar Dani.
Pendampingan ini diikuti oleh 30 petani lama (15 Baduy dan 15 non-Baduy) dan 6 petani baru. Untuk petani lama, penanaman sudah dilakukan pada Oktober 2020. Bagi petani Baduy, prosesnya langsung tanam di lahannya. Sementara non-Baduy memulainya dengan proses semai. Transfer teknologi penanaman tentu membutuhkan waktu.
Penyemaian akan membuat daya tumbuh lebih tinggi daripada langsung penanaman di tanah. Produktivitas dengan cara penyemaian akan memiliki daya tahan sehingga hasilnya berkualitas sama. Penyemaian membutuhkan tudung, seperti merawat bayi, sampai berusia satu bulan. Tumbuh 5-6 daun, bibit siap ditanam di lahan terbuka.
Sebaliknya, jahe yang ditanam langsung tentu terkena hujan dan panas. Untuk jahe muda, hal ini akan menyebabkan pembusukan.
Hingga kini, dari 36 petani, potensi lahan yang dapat digarap mencapai 85 hektar. Namun, penggarapan 2,5 hektar akan dijadikan fokus utama saat ini. Apalagi, lahannya tidak berupa satu hamparan yang mudah dikontrol, melainkan tersebar di perbukitan. Ditambah lagi, komunikasi antar-petani terkendala sinyal telepon sehingga menggelar pelatihan haruslah dengan cara mendatangi satu per satu petaninya.
Masa panen ditentukan dari hasil standar gingerol. Jika dipanen terlalu muda, kandungan 6-Gingerol menjadi rendah. Batas minimum enam 6-Gingerol mencapai 0,5 persen. Dari hasil uji laboratorium, jahe merah Baduy saat ini mencapai 0,7 persen atau di atas standar.
Harga di tingkat petani, berdasarkan kontrak dengan pabrikan, disepakati harga fleet Rp 15.000 per kilogram. Untuk pembayaran pun transparan, sebesar 20 persen dibayar terlebih dahulu. Begitu barang diterima di pabrik dan ditimbang kembali, sisa pembayaran langsung diselesaikan dalam 2-3 hari.