Kembalinya penduduk usia produktif ke desa memberi peluang tersedianya sumber daya manusia potensial. Kombinasi lahan produktif, dukungan dana desa, dan SDM yang mumpuni akan berpeluang membawa kesejahteraan di desa.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
Berkunjung ke desa di Pulau Jawa pada 1980-1990-an memberikan gambaran kepada saya tentang dominasi penduduk usia tidak produktif. Sebagian besar penduduk laki-laki dan perempuan usia produktif merantau ke kota, yang tinggal di desa adalah anak-anak yang dititipkan kepada kakek-nenek mereka.
Urbanisasi adalah satu kata kunci pada waktu itu. Kalaupun ada penduduk desa berusia produktif, jumlah mereka tidak banyak. Sawah dan ladang diolah sekadarnya karena keterbatasan sumber daya manusia (dan modal). Kehidupan mereka banyak bergantung pada kiriman uang dari anggota keluarga yang merantau.
Beberapa perantau mungkin akhirnya pulang kampung for good, tetapi itu dilakukan di usia tua mereka. Menikmati masa pensiun adalah tujuan para eks perantau setelah mereka kembali ke desa.
Orang-orang ini meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya, pindah, dan melanjutkan hidupnya di desa. Mereka ini saya sebut sebagai ’warga baru desa’ karena karakteristik yang berbeda.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, saya mengamati situasi yang berbeda. Saya menemukan orang-orang bermukim dan berkarya di desa dalam usia produktif mereka. Orang-orang ini meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya, pindah, dan melanjutkan hidupnya di desa. Mereka ini saya sebut sebagai ”warga baru desa” karena karakteristik yang berbeda dengan gambaran penduduk desa yang saya jumpai sebelumnya.
Tidak hanya kelompok setengah baya, mereka yang baru lulus kuliah pun tidak sedikit yang memutuskan untuk hidup di desa. Silakan googling dengan kata kunci ”petani muda”. Anda akan menemukan berbagai cerita tentang anak-anak muda yang dengan kesadaran penuh ingin berkarya di desa.
Petani-petani muda ini biasanya juga tidak pelit membagikan pengalaman lewat media sosial sehingga kita bisa melihat kegiatan mereka sehari-hari. Penghidupan ”warga baru desa” dan anak-anak muda yang tinggal di desa ini sebagian besar, meskipun tidak terbatas, dari sektor pertanian.
Jika biasanya para petani mewarisi teknik bertani dari generasi sebelumnya secara turun-temurun, ”warga baru desa” dan petani muda lebih terbuka terhadap perubahan. Dengan bantuan internet, akses terhadap informasi dan pengetahuan menjadi lebih mudah.
Peluang kolaborasi
Berbagai peluang kolaborasi juga terbuka. Kita semakin terbiasa menemukan sayur dan buah dijual lewat internet. Beberapa komoditas, seperti gula aren semut, madu, dan kopi dalam kemasan cantik, siap konsumsi dikirim langsung dari desa. Hal ini tentu juga memastikan lebih banyak nilai tambah terkunci di desa.
Kolaborasi antara sumber daya manusia dan teknologi juga memungkinkan penduduk desa mengakses pekerjaan di luar wilayah mereka dengan tetap tinggal di desa. Cerita Desa Kaliabu di Magelang yang beberapa warganya memenangi lomba pembuatan logo adalah salah satu contohnya.
Para pemuda yang biasanya berkutat di bidang pertanian terbukti mampu menguasai software komputer dalam bidang desain. Kemudian, mereka memanfaatkan google translate untuk berkomunikasi dengan pemberi pekerjaan di luar negeri.
Geliat desa juga terjadi di sektor kreatif lain. Banyak desa menjadi destinasi wisata. Kesuksesan desa-desa wisata, seperti Desa Sedari (Karawang), Desa Pujon Kidul (Malang), dan Desa Ponggok (Klaten), tidak terlepas dari peran kreatif penduduk usia muda.
Produk kreatif dari desa? Banyak. Gitar kayu dari Ngadirejo (Sukoharjo), jam tangan kayu dari Paseban (Klaten), dan radio kayu dari Kandangan (Temanggung) sekadar menyebut contohnya. Produk mereka tidak sebatas diminati oleh konsumen dalam negeri, tetapi juga sudah merambah pasar internasional.
Apa pun kegiatan mereka, kehadiran ”warga baru desa” dan para pemuda ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk di desanya. Peningkatan kesejahteraan diukur dari kenaikan pendapatan, yang kemudian diterjemahkan sebagai pertambahan nilai barang dan jasa yang dihasilkan. Produksi barang dan jasa tersebut ditentukan oleh faktor produksi yang tersedia, yang secara umum terbagi tiga: sumber daya alam (termasuk lahan), tenaga kerja (sumber daya manusia), dan modal.
Fenomena kembalinya penduduk usia produktif memberikan peluang tersedianya sumber daya manusia yang potensial. Kombinasi lahan yang produktif, dukungan dana desa yang konsisten, serta sumber daya manusia yang mumpuni akan berpeluang membawa kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Keunggulan wilayah perdesaan dibandingkan dengan perkotaan adalah ketersediaan lahan. Produksi barang yang memerlukan lahan secara intensif mau tidak mau harus berada di desa. Modal atau kapital dulu dianggap sebagai kendala oleh masyarakat perdesaan. Sejak 2015, dana desa menjadi salah satu sumber kapital.
Dalam hal tenaga kerja, fenomena kembalinya penduduk usia produktif memberikan peluang tersedianya sumber daya manusia yang potensial. Kombinasi lahan yang produktif, dukungan dana desa yang konsisten, dan sumber daya manusia yang mumpuni akan berpeluang membawa kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Geliat desa ini telah menggaungkan optimisme. Tinggal memastikan dua hal. Pertama, hasil pengelolaan sumber-sumber daya di desa-desa juga dinikmati oleh seluruh penduduknya, tanpa kecuali. Kedua, pertumbuhan ekonomi di perdesaan tidak boleh mengorbankan alam lingkungan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya.
SIWI NUGRAHENI, Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan