Layanan Digital di Bidang Keuangan Menjadi Keharusan
Layanan digital di bidang keuangan dan perbankan semakin menjadi kebutuhan utama. Berbagai macam faktor memengaruhi industri layanan itu, seperti gaya hidup digital, tren aplikasi super, dan personalisasi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Menteri BUMN Erick Thohir (kiri) dan Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengamati aplikasi Financial Super App Livin' by Mandiri dan Wholesale Digital Super Platform Kopra by Mandiri dalam rangka menyambut HUT Ke-23 Bank Mandiri di Plaza Mandiri, Jakarta, Sabtu (2/10/2021). Memasuki usia yang ke-23, Bank Mandiri melakukan lompatan untuk menyediakan solusi perbankan digital yang andal kepada nasabah dan menghadirkan pengalaman pelanggan selayaknya layanan cabang dalam genggaman.
JAKARTA, KOMPAS — Layanan digital di bidang keuangan semakin menjadi kebutuhan utama. Pelaku industri teknologi informasi ataupun industri finansial dan perbankan berlomba-lomba menawarkan layanan tersebut, baik dengan mengembangkan sendiri maupun saling bekerja sama.
PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) mengumumkan integrasi produk agregator layanan mobile banking miliknya, yaitu Redi, ke sistem Blu, bank digital milik PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Direktur Perencanaan dan Transformasi Telkomsel Wong Soon Nam, Kamis (28/10/2021), di Jakarta, mengatakan, kerja sama itu memungkinkan pengguna Telkomsel ataupun Blu bisa mengakses aneka layanan perbankan Blu lewat aplikasi Telkomsel Redi. Misalnya, pembukaan dan pengelolaan rekening Blu atau bertransaksi secara aman berkat integrasi nomor ponsel.
Direktur Utama BCA Digital Lanny Budiati menjelaskan, Blu hadir memberikan konsumen kesempatan untuk memegang kontrol terhadap layanan finansial dan perbankan yang dibutuhkan. Semangat ini senada dengan Telkomsel Redi yang telah menjadi agregator bagi layanan mobile banking lebih dari 20 institusi perbankan.
Pekan lalu, penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, Modalku, juga mulai mengimplementasikan fasilitas bayar kemudian (pay later). Fasilitas ini berupa layanan pinjaman yang diberikan berbentuk limit kredit dan bisa dipakai saat bertransaksi di toko luring dan daring. Pelaku usaha individual bisa mendapatkan limit kredit maksimal Rp 100 juta, sedangkan badan usaha akan memperoleh hingga Rp 500 juta.
Co-Founder dan Chief Operation Officer Modalku Iwan Kurniawan mengatakan, fasilitas tersebut bebas agunan. Proses persetujuan berlangsung cepat sehingga dapat menjadi solusi ketika pelaku usaha, khususnya kecil dan menengah, punya kebutuhan mendesak.
Sementara itu, sejalan dengan gerakan pembangunan berkelanjutan, penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, Investree, mengumumkan telah menerima dana segar 10 juta dollar AS atau sekitar Rp 141 miliar. Dana ini berasal dari ResponsAbility Investment, manajer aset asal Swiss, yang biasa terlibat dalam investasi berkelanjutan. Co-Founder dan CEO Investree Adrian Gunadi menyebut, dana itu akan dipakai memberikan pinjaman kepada pelaku usaha kecil dan menengah yang punya dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Adapun penyedia platform teknologi asuransi (insurance technology) PasarPolis menyatakan bahwa saat ini telah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan teknologi untuk memberikan penawaran asuransi yang terintegrasi dengan produk perusahaan bersangkutan, misalnya Gojek, Shopee, Bukalapak, dan Xiaomi. Total produk asuransi yang dimiliki PasarPolis mencapai lebih dari 170.
Pendiri dan CEO PasarPolis Cleosent Randing mengatakan, pihaknya telah berekspansi ke Vietnam dan Thailand. Di dua negara itu, PasarPolis mengembangkan produk asuransi sesuai permintaan konsumen platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang.
”Selama lima tahun terakhir, gaya hidup konsumen semakin mengarah ke digital. Produk asuransi mesti mengikuti perilaku itu. Cara kami adalah mengembangkan produk asuransi yang melekat dengan barang/jasa yang dibeli konsumen secara daring, seperti beli ponsel pintar langsung ada penawaran asuransi,” kata Cleosent saat wawancara terbatas dengan sejumlah media nasional, Kamis pagi.
Head of Department of Economics Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, Minggu (31/10/2021), memandang, di tingkat global, fenomena seperti itu telah berkembang sejak kurun 2006-2007. Di Afrika, misalnya, perusahaan telekomunikasi seluler mengembangkan layanan finansial untuk menjangkau konsumen yang kesulitan akses ke perbankan.
Sementara pada periode yang sama di Indonesia, sekitar 50 persen lebih warga terhubung ke layanan finansial, khususnya bank. Kemunculan layanan digital di bidang keuangan dan perbankan akhir-akhir ini adalah sebagai ajang untuk memenuhi tuntutan konsumen yang menginginkan layanan serba cepat, efisien, terjangkau, dan punya nilai tambah. Tuntutan tersebut sukar dipenuhi jika hanya mengandalkan fasilitas luring dengan cara kerja tradisional.
”Pada masa depan, layanan digital di bidang keuangan dan perbankan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak atau dihindari,” ujarnya.
Yose menambahkan, institusi perbankan harus masuk ke inovasi ini, baik melalui pengembangan internal maupun kerja sama dengan perusahaan teknologi. Sementara bagi perusahaan teknologi informasi yang terjun ke layanan itu akan tetap membutuhkan institusi finansial dan perbankan.
McKinsey dalam laporan ”Future of Asia: The Future of Financial Services” (Oktober 2021) menyampaikan beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan layanan digital bidang keuangan dan perbankan di Asia. Pertama, semakin banyak konsumen di Asia yang pendapatannya meningkat. Ini mendorong kebutuhan finansial mereka naik dan menjadi lebih canggih.
Kedua, kebanyakan konsumen internet di Asia merupakan mobile first atau pertama kali mengakses internet dari ponsel pintar mereka. Hal ini mendorong kebangkitan ekosistem digital, termasuk semakin maraknya aplikasi super terintegrasi yang menawarkan one-stop-shop untuk berbagai layanan yang membutuhkan jasa finansial dan perbankan.
McKinsey juga menyampaikan, penduduk asli digital—orang yang lahir antara 1980 dan 2012—akan mencapai 40-50 persen dari total penduduk Asia pada tahun 2030. Kelompok ini aktif memakai media sosial, aplikasi pesan singkat, aplikasi yang digunakan para pemengaruh, hingga aplikasi e-dagang lokal. Situasi ini juga memengaruhi pembentukan kembali industri keuangan dan perbankan.
”Tren personalisasi pun ikut memengaruhi. Konsumen semakin menginginkan produk keuangan yang sesuai karakter personal mereka. Ini hanya bisa dicapai melalui teknologi digital,” tulis McKinsey.