Pencapaian target bauran energi baru dan terbarukan, bagian dari program transisi energi, harus terus didorong. Insentif fiskal bisa menjadi solusi.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha untuk menambah kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan dalam rangka transisi energi dari fosil ke energi bersih menghadapi sejumlah tantangan. Potensi sumber energi terbarukan yang lebih dari 400.000 megawatt pemanfaatannya masih kurang dari 11.000 megawatt. Pemberian insentif, baik fiskal maupun nonfiskal, bisa menjadi solusi untuk percepatan.
Peneliti pada The Purnomo Yusgiantoro Center, Evita Legowo, mengatakan, beberapa jenis sumber energi terbarukan memiliki sifat intermiten (tidak stabil). Dengan demikian, pasokan dari sumber energi fosil yang dilengkapi dengan teknologi bersih masih diperlukan, termasuk teknologi penyimpanan energi. Pengembangan sumber energi terbarukan juga memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal dan nonfiskal.
”Insentif fiskal bisa berbentuk tax holiday atau pemberian insentif pajak bagi investasi baru serta pembebasan bea masuk untuk impor komponen teknologi tinggi. Insentif tersebut bisa disesuaikan dengan keseluruhan teknologi yang dipakai, lokasi, dan skala proyek pembangkit listrik energi terbarukan,” ujar Evita dalam webinar bertajuk ”Menuju COP26 Glasgow: Transisi Energi, Financing, dan Kesiapan Industri”, Jumat (29/10/2021).
Adapun untuk insentif nonfiskal, kata Evita, bisa berupa pengembangan industri manufaktur nasional yang mendukung teknologi di bidang energi terbarukan untuk pembangkit listrik, penurunan tingkat risiko proyek pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, serta pembangunan infrastruktur pendukung berupa jalan atau pelabuhan.
Pengembangan sumber energi terbarukan juga memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal dan nonfiskal.
”Kami juga merekomendasikan agar pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengembangan teknologi energi terbarukan. Kami juga berharap pemerintah segera menyelesaikan rancangan undang-undang ataupun rancangan peraturan presiden tentang energi baru dan terbarukan,” ucap Evita.
Founder dan Chairman Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia Eddie Widodo menambahkan, untuk mengatasi ketertinggalan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berskala besar bisa menjadi solusi. Ia menyebutkan kapasitas PLTS yang perlu dibangun sedikitnya sebesar 20.000 megawatt (MW). Namun, dengan kapasitas sebesar itu, masih ada persoalan ketersediaan lahan dan jaringan transmisi.
”Pemanfaatan energi terbarukan masih diarahkan untuk pemenuhan akses listrik di Indonesia bagian timur (yang pasokannya belum optimal), belum diarahkan untuk kepentingan industri nasional,” kata Eddie.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sampai Agustus 2021, dari kapasitas terpasang listrik nasional sebesar 73.600 MW, peran energi fosil masih amat dominan. Batubara berperan 65,59 persen, bahan bakar minyak 3,75 persen, dan gas bumi 17,89 persen. Dengan demikian, sisanya disumbang sumber energi terbarukan sebesar 12,77 persen.
Untuk mengatasi ketertinggalan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berskala besar bisa menjadi solusi.
Dalam acara yang sama, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan pada Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya menjelaskan, pemerintah sedang mematangkan rancangan peraturan presiden (perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik dari energi terbarukan. Ia optimistis apabila perpres itu terbit bakal berdampak signifikan terhadap penambahan kapasitas terpasang listrik energi terbarukan.
”Dalam peraturan itu diatur pemberian insentif fiskal ataupun nonfiskal untuk semua ragam pembangkit listrik energi terbarukan, termasuk kewajiban PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan,” kata Chrisnawan.
Selain itu, ucap Chrisnawan, pemerintah juga bakal mengatur pemberian kompensasi bagi PLN apabila pembelian tenaga listrik dari energi terbarukan menyebabkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN membengkak.
Mengenai pembiayaan pada proyek energi terbarukan, menurut Head of Innovative Financing Lab pada UNDP Indonesia M Didi Hardiana, sudah tersedia beragam skema pembiayaan, seperti blended financing hingga sukuk hijau.