PLTS Terapung Cirata, Masa Depan Energi Hijau di Indonesia
Usia Waduk Cirata di Jawa Barat sudah lebih dari 30 tahun. Namun, perannya memasok listrik Jawa-Bali masih vital. Cirata tengah merintis peran menjadi PLTS terapung terbesar se-Asia Tenggara.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Suasana senja di kawasan jalan akses di Waduk Cirata yang berada di wilayah Kabupaten Purwakarta, Kamis (23/9/2021). Selain berfungsi untuk pengendali banjir di aliran Sungai Citarum dan irigasi pertanian, waduk yang memiliki luas sekitar 62 kilometer persegi ini juga dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata. PLTA Cirata memiliki kapasitas terpasang 1.008 MW dan menjadi PLTA terbesar di Indonesia.
Pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS yang menggunakan teknologi photovoltaic (PV) ini ditargetkan beroperasi tahun 2022. Panel-panel surya ini bakal ”terapung” di bagian utara Waduk Cirata yang seluas 200 hektar. Lokasinya hanya berjarak sekitar 400 meter dari pintu pengambilan air (water intake) Pembangkit Listrik Tenaga Air Cirata.
Pembangunannya masih berlangsung hingga saat ini. Satu unit buoy (pelampung) diletakkan di bagian utara waduk menjadi penanda lokasi pemasangan panel surya. Alat berwarna kuning ini memiliki panel surya di empat sisinya. Jarak pelampung dari pelabuhan milik PT Pembangkitan Jawa Bali, anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), yang berada di sisi timur waduk mencapai 1,45 kilometer.
Dari pelabuhan tersebut, petugas butuh waktu hingga 20 menit untuk mencapai lokasi ini menggunakan perahu cepat. Pada Jumat (24/9/2021), riak air waduk akibat laju kapal hingga teriknya matahari tidak mengurangi konsentrasi sejumlah petugas yang memeriksa pelampung itu.
Di salah satu sisi perbukitan yang terdekat dari pelampung, sejumlah alat berat tampak meratakan sejumlah titik miring. Pemerataan lahan ini dilakukan untuk membangun infrastruktur penyokong PLTS, seperti Gardu Induk Tegangan Tinggi 150 kilovolt (kV) Cirata.
General Manager Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Unit Pembangkitan Cirata Ochairialdy memaparkan, setelah tuntas dibangun, PLTS ini diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 megawatt (MW). Saat ini, PLTS terbesar di Asia Tenggara dipegang Cadiz Solar Powerplant di Filipina dengan kapasitas 132,5 MW.
PLTS ini diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 megawatt (MW). Saat ini, PLTS terbesar di Asia Tenggara dipegang Cadiz Solar Powerplant di Filipina dengan kapasitas 132,5 MW.
Teknisi memantau suhu serapan di atas permukaan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata yang dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali di kawasan Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Kamis (23/9/2021). PLTS berkapasitas 1 MW ini menjadi proyek percontohan sekaligus sarana pembelajaran tentang PLTS. Menurut rencana, di dalam Waduk Cirata akan dibangun PLTS terapung dengan kapasitas terpasang 145 MW.
Ochairialdy optimistis, pembangunan PLTS terapung di Cirata ini sesuai target 23 persen penyediaan listrik di Indonesia berasal dari energi baru dan terbarukan pada tahun 2025. Apalagi, Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan PLTS terapung.
Berdasarkan paparan PJB, Indonesia memiliki lebih dari 192 bendungan dengan luas tangkapan 86.247 hektar. Sebagian besar berada di Jawa dengan total 82 bendungan dan waduk, lalu Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 90 bendungan dan waduk. Luasan lahan ini bisa dimanfaatkan untuk PLTS terapung hingga 4.300 megawatt peak (MWp) dengan catatan pemanfaatan 5 persen dari daerah tangkapan air.
”Potensi Cirata masih sangat besar. Sekarang baru digunakan 3 persen dari waduk. Jika ini berhasil, kami tinggal menambah solar panel PLTS terapung. Kebutuhan lahannya kira-kira 1 hektar untuk kapasitas 1 MW,” ujarnya.
Menurut Ochairialdy, PLTS terapung Cirata bakal menjadi alternatif sumber listrik yang didistribusikan ke sejumlah sektor, seperti industri. Karena belum menggunakan baterai, energi langsung disalurkan sesuai dengan kebutuhan. ”Nantinya, listrik akan dihubungkan ke sektor lain, sesuai permintaan PLN P2B (Pusat Pengatur Beban). Yang terpenting, kebutuhan tetap terpenuhi,” katanya.
PLTS terapung Cirata bakal menjadi alternatif sumber listrik yang didistribusikan ke sejumlah sektor, seperti industri.
Ochairialdy menyebutkan, PLTS Cirata tidak akan mengubah peran PLTA Cirata yang dibangun sejak 1982 dan beroperasi pada 1988. PLTA ini berfungsi sebagai penyangga beban puncak (peak load) untuk sistem koneksi listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali).
PLTA Cirata terdiri atas delapan unit pembangkit berkapasitas 128 MW sehingga kapasitas total dari pembangkit ini mencapai 1.008 MW dan menjadi yang terbesar di Indonesia. Energi yang dibangkitkan mencapai 1.428 gigawatt jam (GWh) per tahun atau setara 428.000 ton minyak.
Ochairialdy menambahkan, selain sebagai penyangga beban puncak, PLTA Cirata memiliki fasilitas black start dan line charging. Teknologi ini bisa memulihkan daya tanpa harus menggunakan sumber dari luar.
Kelebihan PLTA Cirata lainnya adalah bisa beroperasi dalam waktu singkat. Generator beroperasi dan bisa disalurkan ke jaringan dalam waktu 6 menit. Kecepatan ini berguna untuk memastikan suplai listrik untuk jaringan 500 kV sistem Jamali jika terjadi gangguan frekuensi atau masalah lainnya, seperti blackout di sebagian wilayah Jawa tahun 2019.
”Di saat transmisi sudah tidak ada masalah, kami diharapkan bisa masuk beroperasi dulu karena unit lain, seperti pembangkit batubara, butuh waktu lebih lama untuk memulai operasi,” ujarnya.
Kelebihan PLTA Cirata lainnya adalah bisa beroperasi dalam waktu singkat. Generator beroperasi dan bisa disalurkan ke jaringan dalam waktu 6 menit.
Operator memantau kinerja pembangkit di ruang kontrol Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (23/9/2021). PLTA Cirata yang berada di bawah pengelolaan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) ini merupakan pembangkit penyangga beban puncak untuk sistem kelistrikan Jawa Bali Madura. Mempunyai 8 unit turbin pembangkit dengan kapasitas total terpasang 1.008 MW.
Semakin hijau
Ochairialdy menuturkan, nantinya PLTS terapung Cirata bisa membantu PLTA menunaikan tugas memanfaatkan energi hijau. ”Semakin banyak sumber energi terbarukan yang tersedia, semakin sedikit energi fosil yang digunakan. Ini adalah transisi ke energi yang lebih bersih,” ujarnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan persiapan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi panel surya. Di Cirata, lanjut Ochairialdy, persiapan ini telah dilakukan sejak 2015 saat PLTS 1 MW di kompleks PLTA Cirata beroperasi.
Pembangkit yang berjarak sekitar 550 meter dari gardu induk Cirata ini menggunakan sekitar 1 hektar lahan. Fasilitas tersebut dinamakan C-Gen Park (Cirata Green Energy) dan beroperasi sejak 2015. Beberapa fasilitas yang erat dengan energi hijau di dalamnya adalah pelacak sumbu ganda, stasiun pengisian daya dari energi surya, dan kampus energi terbarukan untuk edukasi energi hijau.
”Untuk 1 hektar PLTS, hanya dibutuhkan dua petugas. Jadi, tenaga kerja yang dibutuhkan praktis tidak terlalu banyak. Pembersihan unit hanya dilakukan berkala dan melibatkan petugas lain. Namun, untuk PLTS terapung nantinya, bisa saja ada bagian khususnya,” ujar Ochairialdy.
Dengan segala dinamikanya, Ochairialdy optimistis, PLTS terapung tidak hanya menghasilkan listrik baru, tetapi juga berkontribusi pada dunia lebih baik. Sedikit banyak, keberadaannya bisa ikut andil menghadapi tantangan perubahan iklim dewasa ini.
Dia mengatakan, tutupan panel surya mampu mengurangi penguapan air dan meningkatkan hasil energi hingga 10 persen karena suhu lingkungan lebih rendah. PLTS yang menutupi permukaan waduk juga menghindari penggunaan lahan baru.
Sekretaris Daerah Jabar Setiawan Wangsaatmaja meyakinkan, PLTS terapung ini ramah lingkungan. Menurut dia, PLTS terapung merujuk Perjanjian Paris 2015, yakni sebuah persetujuan dalam kerangka Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) mengawal reduksi emisi karbon dioksida efektif yang mulai berlaku 2020.
”Persetujuan dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 di Paris, Perancis,” ucap mantan Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jabar ini.
Menurut Setiawan, dengan Perjanjian Paris, Pemerintah Provinsi Jabar berkomitmen melaksanakan Green Productivity. Tujuannya, mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan menuju pertumbuhan yang ramah lingkungan.
Maju dan mundurnya PLTS terapung Cirata akan menjadi contoh ke depan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Harapan itu mesti terwujud untuk dunia yang tengah membutuhkan kontribusi ”energi hijau” lebih banyak.