Narasi ekonomi memiliki pengaruh pada perilaku ekonomi masyarakat. Kebanyakan masyarakat tertarik membeli bitcoin karena didorong tekanan psikologi di era digital, yakni takut ketinggalan tren.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Di awal medio 1600-an, masyarakat Belanda tengah menikmati periode kekayaan dan kemakmuran setelah merdeka dari Spanyol. Pedagang kaya-raya bermunculan seiring berkembangnya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).
Dengan uang yang melimpah, para saudagar mulai mengoleksi bunga tulip sebagai pelampiasan hobi. Bunga tulip pun harganya semakin tinggi seiring dengan tingginya permintaan. Kondisi ini lantas mengundang masyarakat umum lainnya untuk ikut berjual beli bunga tulip.
Di tengah masyarakat kala itu muncul sebuah narasi tentang kemunculan orang-orang yang kaya mendadak karena bunga tulip. Akhirnya, hampir semua orang di Belanda mulai mengandalkan bunga tulip bak instrumen investasi. Permintaan yang semakin tinggi pun semakin membuat harga bunga tulip semakin menggila.
Berdasarkan catatan sejarawan Belanda Anne Goldgar dalam buku Tulipmania: Money, Honor and Knowledge in the Dutch Golden Age (2007), pada 1637, narasi soal bunga tulip berubah. Orang-orang mulai kehilangan kepercayaan terhadap masa depan nilai investasi bunga tulip. Di saat masyarakat berhenti membeli tulip, produksi tulip terus berjalan sehingga harga komoditas ini pun terjun bebas.
Kisah di atas merupakan contoh konkret dari teori ekonomi naratif. Melalui buku Narrative Economics (2019), Robert J Shiller, seorang peraih Nobel Ekonomi 2013, berpendapat bahwa narasi perlu dimasukkan dalam teori ekonomi sebagai penggerak perubahan ekonomi.
Narasi ekonomi mendorong perubahan perilaku ekonomi oleh individu. Kehadiran narasi mengarahkan keputusan individu dan kolektif, seperti bagaimana dan di mana harus berinvestasi atau berapa banyak dana yang dibelanjakan dan ditabung.
Inti dari teori ini adalah cerita yang disebarkan melalui mulut ke mulut, media massa, ataupun media sosial dapat menggerakkan pasar. Narasi ekonomi mendorong perubahan perilaku ekonomi oleh individu. Kehadiran narasi mengarahkan keputusan individu dan kolektif, seperti bagaimana dan di mana harus berinvestasi atau berapa banyak dana yang dibelanjakan dan ditabung.
Pada era ini, berbagai komoditas dan aset juga booming berkat narasi ekonomi. Salah satu yang fenomenal adalah aset kripto. Belakangan, narasi soal aset kripto menjadi sangat intens di masyarakat, terutama di kalangan anak muda.
Narasi menjadi salah satu faktor penentu dan fundamen pembentuk nilai harga dari aset kripto. Harga mata uang kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar, bitcoin, faktanya bergerak bak roller coaster, tergantung narasi yang berkembang.
Melihat rekam jejak bitcoin berdasarkan data Coindesk, harga bitcoin naik hampir 10 kali lipat dalam kurun setahun, dari sekitar 6.000-8.000 dollar AS pada akhir April 2020 menjadi 63.503 dollar AS pada 13 April 2021. Saat CEO Tesla Motor Elon Musk mengganti bio pada akun Twitter-nya menjadi #bitcoin pada 29 Januari 2021, harga bitcoin melesat 6,13 persen.
Namun, dua bulan berselang, yakni pada 22 Juni 2021, harga bitcoin menyentuh level terendah sejak awal 2021, yakni 28.814 dollar AS. Kala itu, faktor paling kuat yang menurunkan harga bitcoin adalah kebijakan Pemerintah China melarang ”penambangan” bitcoin.
Shaen Corbet, Brian Lucey, dan Larisa Yarovaya dalam tulisannya ”Datestamping the Bitcoin and Ethereum Bubbles” yang terbit di Finance Research Letters (2018) mengatakan, potensi kejatuhan harga bitcoin selalu terbuka karena kenaikan harga bitcoin hanya disebabkan oleh gelembung permintaan yang dapat pecah sewaktu-waktu.
Di sisi lain, uang kripto tidak kunjung mendapatkan tempat untuk menjalankan fungsinya secara masif sesuai dengan tujuan awal kehadiran mereka, yakni sebagai alat tukar alternatif di luar arus utama sistem keuangan dunia.
Apalagi, semakin banyak negara di dunia yang melarang adanya transaksi menggunakan uang kripto. Bank Indonesia juga telah menegaskan tidak memperbolehkan mata uang kripto menjadi alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Dari sini terlihat, narasi ekonomi memiliki pengaruh pada perilaku ekonomi masyarakat. Kebanyakan masyarakat tertarik membeli bitcoin karena didorong tekanan psikologi di era digital, yakni takut ketinggalan tren yang sedang berjalan atau yang sering dikenal dengan akronim FOMO (fear of missing out).
Memang, selain narasi, terdapat fundamen lain yang turut membentuk harga dari aset kripto, salah satunya adalah biaya modal untuk ”menambang” aset kripto.
Sayangnya, harus diakui, berapa pun harga perangkat lunak multialgoritma yang digunakan untuk ”menambang”, harga aset kripto tetap akan anjlok jika muncul narasi dari narator berpengaruh yang memicu sebuah keputusan kolektif untuk menahan permintaan terhadap aset kripto tersebut.
Bisa jadi selama uang kripto tidak kunjung mendapatkan tempat dalam sistem keuangan dunia, gelembung kenaikan harga pada aset kripto tidak ada bedanya dengan gelembung kenaikan harga pada komoditas bunga tulip di Belanda pada tahun 1.600-an.
Otoritas Jasa Keuangan pun memperingatkan, sebelum memutuskan untuk berinvestasi pada aset kripto, masyarakat harus pahami risikonya karena aset ini merupakan komoditas yang memiliki risiko tinggi dengan landasan ekonomi (underlying) yang belum jelas.