Internet Tunjang Probabilitas UMKM Bertahan di Tengah Pandemi
Alih-alih merugi, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pengguna internet bisa mengambil peluang dan bertahan dari kesulitan-kesulitan yang menghadang selama pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 terbukti berdampak negatif terhadap kemungkinan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM bertahan di tengah tekanan ekonomi. Namun, pemanfaatan internet menunjang probabilitas UMKM untuk bertahan di tengah situasi tersebut.
Demikian salah satu poin yang mengemuka dari hasil survei lembaga penelitian The Smeru Research Institute yang dipaparkan dalam Forum Kajian Pembangunan 2021 bertajuk ”Membangkitkan Ekonomi: Dampak Pembatasan Aktivitas dan Geliat Digital UMKM” secara virtual di Jakarta, Selasa (26/10/2021.
”Hasil temuan kami, dampak pandemi Covid-19 terhadap probabilitas bertahan bagi UMKM terkesan signifikan negatif. Artinya, betul pandemi berpengaruh negatif (bagi UMKM) untuk bertahan. Namun, kabar baiknya adalah pemanfaatan internet menunjang probabilitas UMKM bertahan, yakni sebesar 10,5 persen,” kata peneliti Smeru Institute, Veto Tyas Indrio.
Smeru mengambil sampel studi di Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni di Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Data dikumpulkan dari responden yang sama pada tahun 2018 (sebelum pandemi) dan tahun 2021 (sesudah pandemi). Jumlah respondennya mencapai 576 UMKM tahun 2018 dan 519 UMKM tahun 2021.
”Hasil temuan kualitatif, UMKM terkena kerasnya dampak pandemi Covid-19 dan kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) oleh pemerintah, terutama Kota Yogyakarta, sebagai salah satu destinasi pariwisata,” ujar Veto.
Hasil temuan kualitatif menunjukkan, hanya UMKM penguna internet yang bisa mendapatkan dampak positif internet. Alih-alih mereka rugi, mereka tetap bisa mengambil peluang dari pandemi Covid-19. Pengguna internet pula yang bisa bertahan dari kesulitan-kesulitan yang menghadang selama pandemi Covid-19.
Akan tetapi, ada pula upaya cara bertahan UMKM menghadapi pandemi. Mereka antara lain mengurangi biaya operasional, inventory, merestrukturisasi pinjaman, dan mengurangi konsumsi rumah tangga. Sebagian dari mereka menggunakan tabungan pribadi hingga menjual aset.
Lalu, ada pula pelaku UMKM yang mengggunakan internet untuk menjual atau promosi produk. Ada pula UMKM yang mengganti produk, strategi pemasaran, bahkan mengganti pekerjaan. Mereka juga meminjam uang atau mencari dana bantuan pemerintah.
Baca juga : Semarak UMKM ”Go Digital”
Ada peningkatan pengguna internet di kalangan UMKM, yakni dari 43,13 persen tahun 2018 menjadi 59,64 persen tahun 2021.
Penelitian tersebut menemukan, ada peningkatan pengguna internet di kalangan UMKM, yakni dari 43,13 persen tahun 2018 menjadi 59,64 persen tahun 2021. Selain itu, penggunaan internet secara spesifik meningkat untuk kegiatan jual-beli atau pemasaran. Internet digunakan untuk komunikasi bisnis, penelusuran, jual-beli, pasang iklan, mobile banking, dan sebagainya.
Platform paling banyak digunakan adalah media sosial. Tahun 2018 tercatat sebesar 74,51 persen, sedangkan tahun 2021 mencapai 90,44 persen. Secara rinci, media sosial yang digunakan adalah Whatsapp yang pada 2018 mencapai 84,68 persen dan tahun 2021 mencapai 95,68 persen. Selebihnya menggunakan surel (e-mail), situs/blog, dan toko daring.
Peneliti Smeru, Hafiz Arfyanto, menjelaskan, guna melihat dampak perekonomian, penelitian ini menggunakan dasar pertumbuhan ekonomi. Sementara untuk ketenagakerjaan, Smeru mencermati berbagai perbedaan, antara lain perbedaan outcome sebelum dan sesudah tahun 2020 dan variasi pergerakan orang antardaerah.
Selain metode kuantitatif, Smeru menggunakan metode kualitatif dengan media pemantau (monitoring) dan wawancara mendalam. Lewat media monitoring, dinamika aktivitas masyarakat dan pembatasan pergerakan masyarakat ditangkap. Sementara wawancara mendalam dilakukan untuk menajamkan hasil penelusuran di media monitoring dan mencari mekanisme transmisi dampak pembatasan aktivitas.
Adapun daerah yang menjadi lingkup penelitian adalah Provinsi DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, Smeru terlebih dulu melihat gambaran pembatasan aktivitas di Indonesia. ”Kalau melihat mobilitas Google, kelihatan kita semua semacam kaget dengan adanya pandemi Covid-19. Ini ditunjukkan dengan mobilitas yang tajam pada bulan Maret-Mei 2020,” kata Hafiz.
Baca juga : Digitalisasi UMKM Tingkatkan Dampak Positif ke Masyarakat Sekitar
Setelah Mei 2020, khususnya pasca-Idul Fitri, ada situasi normal barudan akhirnya masyarakat memulai aktivitas di luar rumah. Sekitar September 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat melakukan ”rem darurat” di wilayah Jakarta. Lalu, ada pula suasana pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
Momentum Idul Fitri, Idul Adha dan, pengesahan UU Cipta Kerja paling banyak disorot oleh media. Intinya, ada peningkatan mobilitas masyarakat. Kemudian, pembatasan aktivitas menuntut sebagian dari masyarakat bekerja dari rumah (WFH).
Secara umum, semua sektor bisa bekerja dari rumah. Namun, proporsinya berbeda-beda. Misalkan, sektor pendidikan bisa mencapai 58 persen. Artinya, satu dari dua orang yang bekerja di sektor pendidikan bisa bekerja dari rumah. Sektor informasi dan komunikasi (29 persen), administrasi publik (27,2 persen), keuangan (25,8 persen), jasa perusahaan (17,9 persen), real estat (16,7 persen), listrik dan gas (15,8 persen), jasa kesehatan (10,2 persen), industri pengolahan (6,3 persen), dan perdagangan (5,9 persen).
Akan tetapi, tidak semua sektor bisa bekerja dari rumah, misalnya sektor transportasi (4,5 persen, penyedia air (3,9 persen), akomodasi dan restoran (3,9 persen), konstruksi (3 persen), dan pertanian (0,5 persen).
Pembatasan aktivitas menyebabkan dampak langsung yang dirasakan hampir semua provinsi di Indonesia pada triwulan I-2020. Besarannya, antara minus 1,6 dan minus 11,3 persen. Misalnya, Bali, daerah pariwisata, mencapai minus 11,3 persen. Artinya, apabila tidak ada pembatasan aktivitas, Bali seharusnya bisa mencapai 11,3 persen lebih tinggi dari pertumbuhan aktual. Selain Bali, Yogyakarta pun mengalami dampak paling parah.
Dampak sektoral
Soal dampak jangka panjang, Hafiz menunjukkan kondisi dampaknya lebih pada sektoral. Besarannya antara minus 19,2 persen dan minus 3,3 persen. Sektor-sektor penopang perekonomian Indonesia, seperti pertanian dan industri pengolahan, terdampak langsung. Namun, sektor terparah dirasakan sektor transportasi, akomodasi dan restoran, serta jasa perusahaan. Hingga triwulan I-2021, sektor-sektor tersebut masih tertekan, tetapi dampaknya tidak terus terbawa karena masing-masing menunjukkan pemulihan.
Menurut Hafiz, semua sektor itu berdampak serius pada sektor ketenagakerjaan, mulai dari jam kerja hingga upah bulanan. Akarnya adalah penurunan mobilitas yang berimplikasi pada ketenagakerjaan. Penurunan jam kerja terjadi terutama pada sektor jasa perusahaan, akomodasi dan restoran, serta transportasi.
Penurunan jam kerja berdampak pula pada penurunan upah pekerja. Hal ini terjadi terutama pada sektor transportasi serta sektor akomodasi dan restoran. Buruh dan pekerja bebas pun ikut mengalami penurunan upah.
Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Sektoral Kementerian Keuangan Titik Anas mengakui, pandemi Covid-19 memang berdampak negatif bagi perekonomian, termasuk pada tenaga kerja. Di sini APBN mengambil peran untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan. ”Tapi, pertolongan itu sifatnya temporer,” ujarnya.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Eddy Satriya mengatakan, meski sudah membaik, dampak pandemi Covid-19 masih dirasakan oleh sebagian masyarakat. Upaya pemulihan ekonomi dan kesehatan perlu melibatkan semua elemen masyarakat.
Baca juga : Implementasi Satu Data Nasional Terkait UMKM Masih Penuh Tantangan