Defisit pekerja yang kini membuat dunia usaha ketar-ketir memang dapat mendisrupsi rantai pasok dunia. Namun, fenomena ini juga mungkin akan menjadi titik balik transformasi budaya kerja menjadi lebih humanis.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Kompas/AGUS SUSANTO
Penumpang komuter menunggu keberangkatan KRL di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Senin (8/6/2020). Mulai Senin (8/6/2021), perkantoran di luar 11 sektor strategis juga boleh beroperasi kembali dengan jumlah orang bekerja separuh dari total pekerja kantor tersebut. Karyawan yang masuk juga harus dibagi dalam dua hingga tiga kelompok agar jam masuk, istirahat, dan pulang kantor berbeda-beda.
Ke mana perginya para pekerja? Di tengah pandemi dan segala kepelikannya, fenomena defisit pekerja atau labor shortage yang sedang muncul di sejumlah negara menjadi anomali baru yang mendatangkan krisis, tetapi juga harapan akan perubahan budaya kerja yang lebih humanis.
Media massa menyebutnya dengan istilah The Great Resignation. Pengunduran diri besar-besaran. Laporan Biro Statistik Tenaga Kerja di Amerika Serikat menunjukkan, 4,3 juta orang atau 2,9 persen dari total angkatan kerja AS memilih berhenti bekerja pada Agustus 2021. Ini merupakan rekor tertinggi sejak tahun 2000.
Roda ekonomi mulai berputar, lowongan kerja kembali dibuka, bahkan bertambah, tetapi hanya sedikit yang mengisi. Kenyataan ini meruntuhkan asumsi awal bahwa jika ekonomi membaik dan lowongan kerja dibuka, orang akan otomatis berburu pekerjaan setelah sekian lama menganggur dan dirumahkan.
Mereka yang mengundurkan diri ini umumnya adalah pekerja garis depan di sektor jasa yang selama ini dibayar pas-pasan dengan upah minimum, seperti pekerja sektor akomodasi dan makan-minum, ritel, serta kesehatan.
Tak hanya pekerja kerah biru, fenomena ini juga ditemukan di pekerja kerah putih. Generasi X dan Baby Boomers memutuskan pensiun lebih cepat dan generasi milenial serta generasi Y memilih mengejar hobi mereka, membuka usaha sendiri, mencari pekerjaan paruh waktu, proyek lepas waktu, atau pekerjaan lain yang lebih fleksibel.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Ribuan pencari kerja memadati bursa kerja yang digelar PT Bank Central Asia Tbk di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu (13/11/2019). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dari 133,56 juta angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2019, sebanyak 7,05 juta orang di antaranya menganggur.
Ini tidak hanya terjadi di negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa. Di Vietnam, awal bulan ini, ribuan pekerja pabrik tekstil, alas kaki, dan elektronik berhenti bekerja dan memilih pulang ke kampung halaman untuk bertani dan beternak karena lelah bekerja dan takut terpapar Covid-19. Hal serupa ditemukan di Malaysia dan Thailand.
Fenomena ini menambah deretan panjang krisis lainnya yang telah lebih dulu mendisrupsi rantai pasok global. Kurangnya pekerja di berbagai sektor menghambat output produksi dan layanan jasa bagi konsumen. Ekonomi pun disebut-sebut tidak akan melambung lagi sampai para pekerja yang âhilangâ kembali.
Tak ada yang tahu pasti apa yang mendorong fenomena ini. Ada banyak teori yang berkembang. Mulai dari bantuan sosial dan tunjangan pengangguran dari pemerintah yang dinilai terlalu dermawan, tuntutan untuk menaikkan gaji, sampai faktor lain yang bernuansa psikologis dan eksistensial. Pandemi ini menyadarkan orang untuk hidup lebih rileks, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang lebih bermakna, atau mengejar impian yang selama ini terlupakan.
Apa pun alasannya, fenomena ini dapat dilihat sebagai kritik atau kejenuhan terhadap budaya kerja yang selama ini kerap menormalisasi eksploitasi pekerja dengan jam kerja panjang, upah pas-pasan, minim perlindungan dan jaminan sosial, serta tidak fleksibel.
Pandemi mengubah persepsi dan ekspektasi terkait pekerjaan. Tuntutan atas pekerjaan yang lebih humanis dan fleksibel semakin menguat dan itu tidak hanya ditunjukkan melalui aksi unjuk rasa buruh yang terencana, tetapi juga lewat gerakan organik yang tidak diagendakan, seperti fenomena The Great Resignation ini.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pencari kerja menyiapkan berkas-berkas di lokasi Job Market Fair dan Pameran Kewirausahaan di JX International, Surabaya, Rabu (11/9/2019). Job Market Fair ini adalah salah satu program Disnakertrans Jatim dalam upaya membuka kesempatan kerja sekaligus menurunkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jawa Timur yang pada Februari 2019 mencapai 3,83 persen. Dari 110 perusahaan yang berpartisipasi menyediakan 5.903 lowongan pekerjaan.
Kemewahan
Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan data Pusat Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, dalam dua bulan terakhir, terjadi kenaikan cukup signifikan pada sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar tenaga kerja dalam negeri.
Per 17 Oktober 2021, tercatat ada 40.078 lowongan kerja. Jumlah itu meningkat dalam dua bulan terakhir dibandingkan dengan kondisi per 1 Agustus 2021 sebanyak 28.197 lowongan kerja. Jumlah perusahaan yang membuka lowongan kerja pun bertambah 3.035 dalam dua bulan terakhir.
Seiring dengan penambahan lowongan kerja itu, jumlah pencari kerja juga bertambah. Per 17 Oktober 2021, tercatat ada 777.347 orang yang mencari kerja, naik 439.557 orang dibandingkan dengan kondisi pada Agustus 2021. Setiap satu lowongan pekerjaan diperebutkan oleh 19 pencari kerja.
Dengan kata lain, komposisi lowongan kerja dan pencari kerja masih imbang. Pekerja Indonesia tidak punya âkemewahanâ untuk menarik diri dari pasar kerja karena berbagai faktor. Pertama, minimnya bantuan sosial dan belum adanya program tunjangan pengangguran yang disediakan pemerintah sebagai bantalan jika berhenti bekerja.
Kedua, jumlah angkatan kerja yang besar tidak sebanding dengan keterbatasan lapangan kerja formal. Tingkat partisipasi angkatan kerja per Februari 2021 naik menjadi 68,08 persen dari sebelumnya 67,7 persen pada Agustus 2020 meski turun dibandingkan dengan kondisi praprandemi pada Februari 2020, yakni 69,21 persen. Kesempatan kerja yang sempit membuat pekerja berhati-hati sebelum memutuskan berhenti.
Sebagian pekerja bahkan mati-matian mempertahankan pekerjaannya selama pandemi meski upahnya dipotong atau meski harus mengubah statusnya dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak yang minim perlindungan dan kepastian kerja.
Laporan Bank Dunia âProspek Ekonomi Indonesia: Mempercepat Pemulihanâ pada Juni 2021 mencatat, 45,8 persen dari lapangan kerja yang tercipta di Indonesia pada 2008-2018 adalah pekerjaan berupah rendah yang minim perlindungan dan jaminan sosial. Pada 2018, dari 85 juta pekerja bergaji tetap, hanya 13 juta orang yang upahnya sesuai dengan standar taraf hidup keluarga kelas menengah.
Hal itu juga dapat dilihat dari tingginya pengangguran di kelompok angkatan kerja berpendidikan tinggi. Tingkat pengangguran terbuka pada lulusan universitas termasuk yang tertinggi, yakni 6,97 persen. Sementara tingkat pengangguran di kelompok lulusan SD hanya 3,13 persen dan lulusan SMP hanya 5,87 persen.
Data itu menunjukkan masih terbatasnya lapangan kerja formal yang layak dan berkualitas, baik untuk menyerap angkatan kerja kelas menengah berpendidikan tinggi maupun untuk mendorong terciptanya kelas menengah baru. Jika ini dibiarkan, Indonesia akan terus terjebak sebagai negara berpendapatan rendah.
Kesadaran baru
Menyusul fenomena The Great Resignation, beberapa perusahaan mulai melakukan introspeksi dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pekerja. Ada yang menaikkan tawaran gaji, ada yang mengubah kerja lebih fleksibelâseperti tidak memaksa pekerja untuk hadir secara fisik di kantor. Di beberapa negara, fenomena ini juga diprediksi bisa mengakhiri perdebatan sengit tentang perlu tidaknya menaikkan besaran upah minimum tahun depan.
Defisit pekerja yang kini membuat dunia usaha ketar-ketir memang membawa krisis baru yang dapat semakin mendisrupsi rantai pasok global. Namun, fenomena ini juga mungkin akan menjadi titik balik yang mentransformasi budaya kerja menjadi lebih layak dan humanis.
Semoga kesadaran baru itu bisa menyebar sampai ke Indonesia.