Aktivitas digital warga tidak lepas dari isu polusi CO2. Fasilitas pusat data yang menjadi nadi internet bisa berjalan adalah salah satu konsumen terbesar daya listrik yang dipasok dari energi fosil.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Hasil studi Energy Study Institute National University of Singapore menunjukkan, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan pertumbuhan pembangunan fasilitas pusat data bersama (co-location data center) tercepat dalam lima tahun terakhir. Ini dipengaruhi digitalisasi layanan cepat dan permintaan untuk layanan berbasis komputasi awan, 5G, kecerdasan buatan, dan benda terhubung internet terus melonjak.
Selama ini, Singapura menjadi hub utama Asia Pasifik untuk kabel telekomunikasi bawah laut dan kabel serat optik telekomunikasi. Indeks Lokasi Pusat Data Arcadis menilai, Singapura sebagai kota kedua dari 50 kota di dunia yang paling menarik untuk pembangunan pusat data di dunia.
Sekitar 60 fasilitas pusat data di negara itu menyumbang 7 persen terhadap konsumsi listrik domestik pada 2020. Sekitar 96 persen energi yang dipasok di Singapura berbasis bahan bakar fosil. Pemerintah Singapura telah memberlakukan moratorium fasilitas pusat data baru sejak 2019 guna menekan emisi karbon.
Menurut International Energy Agency, fasilitas pusat data menyumbang 200 terawatt jam (TWh) per tahun dalam konsumsi energi atau 1-1,5 persen dari total permintaan listrik di seluruh dunia. Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (Maskeei) pernah menyebutkan, apabila digabung dengan pemakaian perangkat teknologi informasi komunikasi lainnya, konsumsi listriknya mencapai 10 persen dari total permintaan energi listrik di dunia.
Mengenai emisi karbon, Maskeei pernah menghitung fasilitas pusat data berkapasitas 1,2 megawatt (MW) berpotensi menghasilkan 13.000 ton CO2 per tahun. Potensi ini berangkat dari asumsi jika fasilitas pusat data bersangkutan menggunakan sumber listrik energi fosil.
Sekitar 96 persen energi yang dipasok di Singapura berbasis bahan bakar fosil. Pemerintah Singapura telah memberlakukan moratorium fasilitas pusat data baru sejak 2019 guna menekan emisi karbon.
Seruan fasilitas pusat data yang menjadi nadi aktivitas digital agar ramah lingkungan bukan hal baru. Tahun 2012, The New York Times pernah menurunkan tulisan ”Power, Pollution, and the Internet”. Tulisan ini hasil liputan mendalam yang berusaha mengungkap polusi yang dihasilkan oleh fasilitas pusat data di Amerika Serikat. Dua tahun sesudahnya, harian yang sama melalui artikel ”Your Data is Dirty: The Carbon Price of Cloud Computing” mengkritik komputasi awan yang memiliki kehadiran fisik berupa server menghasilkan jejak karbon sangat kotor.
Organisasi lingkungan, seperti Greenpeace, pun ikut mengecam perusahaan raksasa teknologi. Protes organisasi lingkungan mendorong mereka benar-benar serius mengubah sikap. Beberapa di antaranya berbicara kepada publik hingga terang-terangan memakai energi terbarukan untuk kebutuhan listrik fasilitas pusat data mereka. Misalnya, Facebook Inc dengan fasilitas pusat datanya di Iowa yang memakai pembangkit listrik tenaga angin. Amazon Web Services (AWS) dengan fasilitas pusat datanya di Irlandia memakai campuran energi fosil dan energi terbarukan.
Dengan masih berlakunya moratorium fasilitas pusat data baru di Singapura, banyak pihak memperkirakan Indonesia akan mendapat limpahan. Asosiasi Data Center Indonesia menyebut kapasitas fasilitas pusat data yang saat ini sudah ada di Indonesia dan mencapai sekitar 72 MW. Hingga akhir 2021, kapasitas diperkirakan bertambah menjadi 120 MW. Penambahan kapasitas per tahun diprediksi bisa di atas 30 persen.
Tanpa moratorium fasilitas pusat data baru di Singapura, Indonesia tetaplah menjadi negara sasaran investasi pusat data yang menarik perusahaan teknologi kelas dunia. Indonesia memiliki lebih dari 275 juta penduduk dan 70 persen di antaranya penduduk berusia di bawah 40 tahun. Adopsi teknologi sangat cepat. Ini mungkin menjadi alasan mengapa ada begitu banyak perusahaan rintisan bidang teknologi (start up) tumbuh pesat.
Tanpa moratorium fasilitas pusat data baru di Singapura, Indonesia tetaplah menjadi negara sasaran investasi pusat data yang menarik perusahaan teknologi kelas dunia.
Jika pusat data hijau dianggap sebagai solusi untuk menekan emisi karbon, tantangannya di Indonesia masih kompleks. Ini mulai dari distribusi pasokan listrik berbasis energi terbarukan hingga perhitungan efisiensi biaya. Opsi yang tersedia saat ini adalah menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap gedung pusat data, tetapi jumlah listrik yang bisa dipasok oleh PLTS atap terbatas.
Oleh karena itu, fasilitas pusat data memerlukan akses kepada pembangkit energi terbarukan. Regulasi yang bisa mendukung, kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, adalah power wheeling atau pemanfaatan jaringan listrik bersama dan kontrak jual beli listrik langsung dengan pengembang energi terbarukan.
Jangan sampai internet yang telah jadi bagian aktivitas digital utama malah menyebabkan polusi karena fasilitas pusat data yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia perlu meregulasi investasi fasilitas pusat data hingga ambil bagian aktif dalam rantai pasok sumber energi listrik yang bisa menekan emisi karbon.