Ekspor Perlu Hilirisasi Industri dan Terintegrasi dalam Rantai Pasok
Perdagangan RI akan diintegrasikan dengan ekonomi global. Namun, tidak cukup hanya memfasilitasi tarif murah. RI perlu juga mencipta produk bernilai tambah serta masuk dalam rantai pasok regional dan global.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor perdagangan, khususnya ekspor, masih akan menjadi penopang pemulihan ekonomi Indonesia ke depan. Agar kontribusinya semakin besar, sektor ini perlu ditopang investasi yang mengarah pada hilirisasi, pengembangan kawasan industri, serta terintegrasi dalam rantai pasok regional dan global.
Hal itu mengemuka dalam Forum Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi (TTI) yang merupakan bagian dari rangkaian acara Trade Expo Indonesia Digital Edition (TEI DE) 2021 yang digelar secara hibrida di Jakarta, Kamis (21/10/2021) sore. Pameran perdagangan tingkat internasional yang mengusung tema ”Reviving Global Trade” itu akan berlangsung pada 21 Oktober-20 Desember 2021.
Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengatakan, enam bulan terakhir perdagangan global mulai menggeliat kembali. Pertumbuhannya diperkirakan 9,2 persen pada 2021 dan akan sedikit turun pada 2022 menjadi 6,7 persen.
Namun, pemulihan perdagangan global masih penuh ketidakpastian. Berbagai tantangan perdagangan masih muncul, seperti terhambatnya rantai pasok global, kelangkaan kontainer, dan tingginya biaya perdagangan dari sisi pengenaan bea masuk.
”Pemulihan yang cepat dari imbas pandemi Covid-19 itu juga bergantung pada masing-masing negara, yaitu apakah negara tersebut menjadi bagian dari rantai pasok global maupun regional atau tidak,” ujarnya.
Pemulihan yang cepat dari imbas pandemi Covid-19 itu juga bergantung pada masing-masing negara, yaitu apakah negara tersebut menjadi bagian dari rantai pasok global maupun regional atau tidak.
Menurut Mari, setiap negara perlu memiliki pasar yang terintegrasi, menjaga pasar tetap terbuka, mendiversifikasi pasar, serta menjadi mitra negara lain dan berbagai perusahaan. Adapun untuk jangka panjang, setiap negara perlu mendiversifikasi produk dan sumber-sumber bahan bakunya.
Indonesia dan perusahaan-perusahaan nasional memiliki peluang untuk menjadi bagian dari strategi diversifikasi ini. Peluang itu berasal dari berbagai perjanjian perdagangan bebas dan kemitraan ekonomi komprehensif yang telah dibuat bersama negara lain, seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
Namun, lanjut Mari, hal itu bergantung dari cara mengelola perdagangan, mendatangkan investasi, serta meningkatkan fasilitasi perdagangan dan investasi tersebut. Integrasi ekonomi regional itu juga perlu diperkuat dan mengarah pada integrasi yang mendalam.
”Tidak cukup hanya memfasilitasi tarif perdagangan yang murah, tetapi juga perlu memampukan Indonesia masuk dalam rantai pasok regional dan global, menciptakan nilai tambah produk, mendulang investasi, serta menyerap tenaga kerja,” katanya.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengemukakan, di tengah pandemi Covid-19, neraca perdagangan Indonesia selama 17 bulan berturut-turut surplus. Namun, Indonesia tetap mewaspadai berbagai tantangan, seperti pandemi Covid-19 yang masih belum selesai, krisis energi, kenaikan harga pangan, persaingan era digital, perubahan rantai pasok global, serta isu lingkungan dan perubahan iklim.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan berupaya meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia melalui diversifikasi pasar dan produk serta masuk ke dalam rantai pasok regional dan global. Untuk merealisasikannya, kebijakan yang selaras antara perdagangan, investasi, dan industri sangat diperlukan.
”Investasi akan menopang hilirisasi industri dan mendorong perubahan struktur ekspor Indonesia yang didominasi barang mentah menjadi produk bernilai tambah,” katanya.
Dari sisi perdagangan, lanjut Lutfi, Kemendag terus berupaya menjalin kemitraan, baik secara bilateral, multilateral, maupun regional, dengan negara-negara lain. Pada 1 November 2021, Indonesia bersama Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein akan mengimplementasikan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (IE CEPA).
Indonesia juga akan mengimplementasikan RCEP pada awal 2022. Selain itu, Indonesia sedang dalam proses merundingkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (IUAE CEPA) yang ditargetkan selesai kurang dari satu tahun.
”Intinya, kami berkomitmen untuk melanjutkan reformasi perdagangan agar sektor tersebut lebih terintegrasi dengan ekonomi global. Indonesia ingin mewujudkan perdagangan yang adil sekaligus mampu mendatangkan investasi,” kata Lutfi.
Kami berkomitmen melanjutkan reformasi perdagangan agar sektor tersebut lebih terintegrasi dengan ekonomi global.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, arah investasi Indonesia saat ini adalah hiliriasi industri dan kawasan ekonomi khusus. Salah satu tujuannya menopang ekspor Indonesia yang selama ini didominasi bahan mentah menjadi produk bernilai tambah dan mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup.
Pemerintah juga telah menyiapkan kawasan industri dan ekonomi khusus bagi para investor. Bahlil menjamin harga tanah di kawasan itu murah dan perizinannya akan diurus pemerintah. Pemerintah juga akan memberikan insentif bagi investor yang tertarik menanamkan modal di luar Jawa serta mendorong subtitusi impor dan nilai tambah produk.
Insentif itu, antara lain, berupa tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan padan dalam periode tertentu, tax allowance atau pengurangan pajak berdasarkan jumlah investasi yang ditanamankan, dan pembebasan pajak impor.