Krisis Pekerja Global, Peluang Penempatan Pekerja Migran Baru Dijajaki
Krisis kelangkaan pekerja di negara-negara maju menjadi peluang untuk memperluas penempatan pekerja migran Indonesia ke negara-negara yang lebih ”ramah” dan konsekuen terhadap pemenuhan hak asasi manusia pekerja migran.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis kelangkaan pekerja yang sedang dialami sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris melebarkan peluang pasar kerja baru bagi pekerja migran. Pemerintah pun mulai menjajaki peluang penempatan pekerja migran di negara-negara itu. Kesepakatan terkait dengan hak dan standar ketenagakerjaan penting untuk dipertegas dari awal.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, krisis kelangkaan pekerja (labor shortage) sebagaimana terjadi di negara-negara maju itu dapat membawa peluang baru bagi angkatan kerja dalam negeri.
Saat ini Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Uni Eropa sedang mengalami krisis kelangkaan pekerja. Di tengah roda ekonomi yang membaik, pengusaha kembali meningkatkan produksi dan menambah lowongan pekerjaan, tetapi pekerja, baik kerah putih maupun kerah biru, enggan kembali ke pasar kerja karena dipengaruhi banyak faktor.
Akibat kekurangan pekerja, negara-negara itu mencari pekerja dari negara lain, termasuk Indonesia. ”Beberapa waktu lalu salah satu negara bagian di AS mengontak kita untuk menjajaki kemungkinan menerima PMI (pekerja migran Indonesia), terutama di sektor kesehatan, manufaktur, dan agrikultur,” kata Anwar saat dihubungi, Rabu (20/10/2021).
Ia mengatakan, permintaan terhadap pekerja migran Indonesia saat ini sangat besar, sekitar 30.000 orang untuk satu negara bagian. Pemerintah masih menjajaki peluang kerja sama itu. ”Perihal standar gaji masih negotiable dan itu yang menjadi bagian diskusi berikutnya. Ini akan serius digarap, potensinya sangat besar,” kata Anwar.
Peluang itu diharapkan dapat memperluas pasar kerja bagi angkatan kerja dalam negeri yang berjumlah sangat banyak. Sejauh ini kondisi pasar tenaga kerja di dalam negeri mulai kembali seimbang antara komposisi permintaan dan penawaran. Namun, meski pasar kerja mulai seimbang, sejumlah kelompok pekerja masih sulit mencari dan mendapatkan pekerjaan.
Data Pusat Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, terjadi kenaikan yang cukup signifikan terkait dengan sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar tenaga kerja. Per 17 Oktober 2021 tercatat ada 40.078 lowongan kerja, meningkat dalam dua bulan terakhir dibandingkan dengan kondisi per 1 Agustus 2021 sebanyak 28.197 lowongan kerja.
Perusahaan yang membuka lowongan kerja bertambah dari 8.663 perusahaan pada Agustus 2021 menjadi 11.698 perusahaan per 1 Oktober 2021.
Jumlah pencari kerja juga bertambah, mengimbangi penambahan lowongan kerja dalam dua bulan terakhir itu. Per 17 Oktober 2021 tercatat ada 777.347 orang yang mencari kerja, naik hampir 439.557 orang dibandingkan dengan kondisi pada Agustus 2021.
Perbandingan saat ini, satu lowongan kerja diperebutkan oleh 19 pencari kerja. Rasio ini mulai membaik dibandingkan dengan kondisi pada Agustus 2021 selama masa pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat, yaitu satu lowongan kerja diperebutkan 21 orang. Kondisi ini juga jauh membaik dibandingkan ketika masa awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020 ketika jumlah lowongan kerja anjlok drastis.
Peluang bertransisi
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai, pasar kerja baru di negara-negara maju yang sedang mengalami krisis pekerja ini menjadi peluang yang baik untuk bertransisi dari negara-negara penempatan utama yang selama ini problematik menuju negara-negara yang lebih ”ramah” dan konsekuen dari sisi penegakan hak asasi manusia.
Menurut dia, selama ini negara seperti AS dan Inggris dinilai sebagai negara penempatan pekerja migran yang lebih patuh pada aturan ketenagakerjaan. Inggris bahkan mempunyai Undang-Undang Anti Perbudakan Modern yang juga dijadikan standar untuk mempekerjakan pekerja migran.
Namun, selama ini pemerintah terlalu fokus menjajaki negara-negara penempatan utama yang kerap problematik dari sisi perlindungan ketenagakerjaan. ”Jadi, ini peluang yang baik untuk shifting ke negara-negara yang lebih ramah. Ibaratnya transisi dari pasar (kerja) yang becek ke pasar modern,” katanya.
Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tahun 2020, daftar 10 negara penempatan terbesar pekerja migran Indonesia ialah Hong Kong (53.206 orang), Taiwan (34.415 orang), Malaysia (14.630 orang), Singapura (4.474 orang), Arab Saudi (1.793 orang), Brunei Darussalam (1.202 orang), Polandia (798 orang), Jepang (749 orang), Korea Selatan (641 orang), dan Italia (411 orang).
Wahyu mengingatkan, kesepakatan terkait dengan hak dan standar ketenagakerjaan perlu dipertegas dari awal penjajakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti biaya penempatan yang selama pandemi ini membengkak dan justru dibebankan kepada calon pekerja migran.
Misalnya, biaya karantina yang bisa memakan Rp 15 juta-Rp 20 juta dan harus ditanggung calon pekerja itu sendiri. Selain itu, juga berkaitan dengan standar pengupahan yang layak di sektor-sektor yang dijajaki. ”Perlu ada kesepakatan (MOU) agar ada standar-standar penempatan yang sudah disepakati antarpemerintah dan harus dipatuhi,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan informasi kerja yang didapat valid, resmi, dan sesuai dengan alur rekrutmen menurut undang-undang. ”Jangan sampai ini membuka celah perekrutan dan penempatan gelap baru yang memperparah kasus perdagangan orang terhadap calon pekerja migran kita,” kata Wahyu.