Transportasi Perkotaan Tidak Sekadar Bergantung Teknologi
Transportasi perkotaan yang berkelanjutan tak hanya terletak pada kecanggihan teknologi. Sumber daya manusia dan kultur masyarakat ikut mengambil peranan penting.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak orang memandang transportasi perkotaan yang berkelanjutan hanya terletak pada kecanggihan teknologi. Padahal, teknologi sehebat apa pun harus dikembalikan pada kemampuan sumber daya manusia dalam beradaptasi. Jika masyarakat tidak memahami atau kultur manusia tidak mampu mengikuti teknologi tersebut, semua akan sia-sia.
Ketua Program Pascasarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo dalam kuliah umum bertajuk ”Karakteristik Moda dan Isu-isu Keberlanjutan dalam Transportasi Perkotaan” yang diselenggarakan secara virtual di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (19/10/2021), mengatakan, transportasi kerap didefinisikan sebagai upaya memindahkan orang dan barang.
Sony menjelaskan, secara ringkas, transportasi adalah sistem sarana dan prasarana untuk memindahkan orang dan barang dari asal ke tujuan dengan selamat, cepat, terjangkau, aman, nyaman, higienis, dan keberlanjutan untuk memenuhi kebutuhan. Disebut ”asal dan tujuan” karena jangan sampai setengah-setengah dalam membangun sistem transportasi.
Dia mencontohkan tol laut. Sarana transportasi tol laut yang dibangun itu lebih pada pelabuhan ke pelabuhan. Sesungguhnya, barang yang diangkut itu berasal dari sektor pertanian ke gudang. Sementara dari gudang ke pelabuhan tidak memadai sehingga fungsi tol laut menjadi tidak maksimal.
Bicara angkutan umum, tetap saja asal dan tujuannya bersifat dari pintu ke pintu (door to door). Ada yang mengatakan, angkutan umum berbeda dengan mobil pribadi yang bisa didesain dari rumah ke rumah. Padahal, angkutan umum juga bisa didesain dari rumah ke rumah.
”Persyaratan angkutan umum yang sekarang ditambahkan higienis sudah mulai diterapkan dalam terminologi pelayanan transportasi akibat pandemi Covid-19. Jangan sampai angkutan umum menjadi pusat penyebaran virus Covid-19,” ujar Sony.
Begitu bicara sistem sarana dan prasarana, seluruhnya harus terintegrasi. Untuk itu, jangan sampai penyediaan bus umum, seperti bus rapid transit yang kini sedang dilakukan pemerintah, tak dibarengi perawatan halte bus dengan baik. Bahkan, jangan sampai halte sulit diakses calon penumpang.
Sony mengingatkan, pembangunan pelabuhan harus dibarengi dengan pembangunan akses menuju pelabuhan dengan baik. Jika tidak, pelabuhan tidak akan laku. Misalnya saja di Jawa Barat, Bandara Kertajati. Akses jalan menuju bandara yang belum selesai hanya akan membuat bandara itu tidak berfungsi optimal.
”Alhamdulillah, akhir tahun ini jalan tol menuju bandara ini akan tersambung. Karena itu, jika melihat transportasi, kita mesti melihat pula sarana dan transportasi sebagai satu-kesatuan,” kata Sony.
Isu memindahkan orang dalam transportasi, Sony menekankan bahwa subyek yang dipindahkan adalah orang, bukan mobil atau sepeda motor. Sebab, kalau yang diprioritaskan adalah memindahkan kendaraan, isunya selalu bergelut pada kemacetan dan kesediaan lahan parkir.
”Pola pikir yang perlu dikedepankan adalah upaya-upaya memindahkan orang dari satu titik ke titik lain di perkotaan,” kata Sony.
Selain itu, pemenuhan kebutuhan dimasukkan sebagai isu-isu transportasi terkini karena transportasi mengandung permintaan masyarakat. Sekarang ini, tantangannya adalah bagaimana kebutuhan bisa terpenuhi tanpa harus melakukan transportasi. Ternyata, hal itu bisa dilakukan.
Sementara itu, pengajar pada Teknik Sipil Universitas Semarang, Mudjiastuti Handajani, menuturkan, kota yang cerdas juga perlu didukung dengan transportasi cerdas. Smart transportation merupakan sistem transportasi dengan pergerakan sesedikit mungkin (less mobility), hambatan serendah mungkin (move freely), dan waktu tempuh yang singkat (less travel time).
Melalui transportasi cerdas, pemborosan energi dapat terhindarkan. Sebab, bahan bakar minyak yang terbuat dari fosil suatu saat akan habis. Penghematan perlu dilakukan sejak dini untuk generasi jangka panjang.
Menurut Mudjiastuti, konsep transportasi masa depan perlu terus mengedepankan integrasi multimoda yang aman dan nyaman dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Selain itu, transportasi cerdas juga didukung dengan digital experience, seperti sistem tiket, informasi rute, pemetaan, akses informasi yang tepat dari waktu ke waktu (real time), dan relevan.
Sistem transportasi cerdas diperlukan untuk mencapai ramah lingkungan, aman, nyaman, murah, dan teratur. Semua dapat terjadwal dengan manajemen yang modern. Tentunya, secara tidak langsung, sistem ini menggunakan rendah energi dan polusi.
Mudjiastuti menambahkan, transportasi cerdas perlu menggunakan sistem inteligen transportasi. Misalnya, menggunakan area traffic control system (ATCS) dan sistem tiket terintegrasi. Selain itu, Indonesia juga diharapkan sama dengan negara maju dalam menggunakan sistem inteligen transportasi sehingga waktu perjalanan menjadi lebih efisien.
Moda transportasi
Sony mengakui, moda transportasi begitu banyak dikembangkan saat ini. Namun, transportasi yang paling cocok di Indonesia tidak akan ada yang bisa diterapkan ke semua kota. Karakteristik kota perlu diperhatikan.
”Jakarta sukses dengan busway, tidak bisa diterapkan begitu saja ke Kota Semarang ataupun Bandung. Belum tentu (sukses),” ujar Sony.
Konsep transportasi perkotaan yang paling ditekankan, antara lain, cara memindahkan orang, bukan kendaraan, sehingga integrasi sistem transportasi menjadi hal yang paling penting. Salah satunya adalah sistem inteligen transportasi.
Banyak pemerintah daerah gagal memahami transportasi perkotaan. Yang dibutuhkan dalam transportasi perkotaan adalah kepastian waktu, bukan waktu tempuh dibandingkan transportasi pribadi. Tidak mungkin membuat waktu tempuh angkutan umum dengan mobil atau sepeda motor.
Kepastian waktu itu akan menyingkapkan mulai dari kedatangan angkutan umum hingga tiba di lokasinya. Kepastian itu membuat masyarakat merasa nyaman dalam mengatur waktu keperluan pribadi.
”Kesulitan orang untuk naik angkutan umum secara rinci terdiri dari kemauan berjalan kaki, menunggu, dan siap memiliki toleransi lebih. Selama tiga hal ini tidak ada, angkutan umum tidak akan pernah berhasil di Indonesia,” ujar Sony.
Karena itu, angkutan umum tidak hanya berhenti pada teknologi, melainkan mempertimbangkan juga perilaku. Selama orang tidak mau berjalan, menunggu, dan bertoleransi, angkutan umum tidak akan berhasil. Sekali lagi, kata Sony, kepastian waktu adalah hal penting dalam membangun transportasi perkotaan.
”Sistem inteligen transportasi merupakan komponen penting untuk memberi jaminan kepastian waktu sehingga para pengguna angkutan umum menjadi nyaman. Banyak pemerintah daerah beranggapan, untuk meningkatkan orang menggunakan angkutan umum, angkutan kotanya dilengkapi AC, buku atau Wi-Fi. Itu sebenarnya tidak menarik. Inilah yang sering kali menjadi misleading terkait kebijakan-kebijakan angkutan perkotaan,” kata Sony.