Situasi harga sejumlah komoditas di dalam negeri berkebalikan dengan dinamika harga pangan global. Pemerintah mengemban tugas ganda, yakni mengerem harga di tingkat konsumen sekaligus memastikan insentif bagi usaha tani.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Ketika indeks harga pangan dunia pada September 2021 mencapai puncak tertinggi dalam 10 tahun terakhir, produsen sejumlah komoditas pangan di Tanah Air justru sedang merana karena harga hasil jerih payahnya hancur. Unjuk rasa peternak ayam dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Lampung di sejumlah lokasi di Jakarta, Senin (11/10/2021), menjadi salah satu penanda.
Berombongan dengan menggunakan bus, para peternak ”menggeruduk” Kementerian Pertanian, Gedung DPR, dan Istana Merdeka untuk menyampaikan aspirasi. Mereka protes karena harga jual ayam hidup dan telur ayam anjlok, sementara ongkos produksi cenderung naik. Problem serupa telah berulang sejak beberapa tahun lalu, tetapi belum ada solusi manjur untuk mengatasinya hingga saat ini.
Sepanjang September 2021, harga jual ayam hidup (live bird) di tingkat peternak dilaporkan hanya berkisar Rp 16.000 per kilogram (kg) hingga Rp 17.000 per kg. Padahal, ongkos produksi mencapai Rp 20.000 per kg, sementara harga acuannya menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 ditetapkan Rp 19.000 per kg untuk batas bawah dan Rp 21.000 per kg untuk batas atas.
Harga jual telur tak kalah merana. Di tingkat peternak, harganya hanya berkisar Rp 14.000-Rp 17.000 per kg meski pemerintah menetapkan harga acuannya Rp 19.000-Rp 21.000 per kg. Sayangnya, ketika harga jual lebih rendah dibandingkan dengan harga acuan, harga komponen produksi justru sebaliknya. Harga jagung berkadar air 15 persen, misalnya, acuannya Rp 3.150 per kg di tingkat produsen dan Rp 4.500 per kg di konsumen. Namun, para peternak unggas terpaksa membelinya dengan harga lebih dari Rp 5.000 per kg.
Tak hanya peternak ayam, petani cabai juga menghadapi tekanan pada September 2021. Harga jual cabai anjlok sampai Rp 3.000 per kg sehingga mendorong sejumlah pemerintah daerah, seperti Brebes dan Karanganyar, Jawa Tengah, meluncurkan gerakan ”ASN Beli Cabai” guna mendongkrak harga di tingkat petani. Di Brebes, aparatur sipil negara (ASN) diminta membeli cabai petani dengan harga Rp 8.000 per kg.
Harga gabah yang diterima petani padi juga tidak optimal setahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) terjadi sepanjang 18 bulan tanpa putus sejak April 2020 hingga September 2021. Pada Juli 2021, kasus harga gabah di bawah HPP bahkan mencapai 46,66 persen dari 1.166 titik observasi di tingkat petani dan 44.68 persen kasus di tingkat penggilingan.
Atasi imbas
Situasi harga sejumlah komoditas produksi petani itu berkebalikan dengan dinamika harga pangan global. Organisasi Pertanian dan Pangan (FAO) mencatat, indeks harga pangan global mencapai 130 poin pada September 2021, tertinggi sejak September 2011. Secara tahunan, indeks harga pangan global bulan lalu meningkat 32,8 persen, terutama didorong oleh permintaan yang naik dan proyeksi kemunduran panen.
Situasi harga sejumlah komoditas produksi petani itu berkebalikan dengan dinamika harga pangan global.
Kenaikan indeks disumbang oleh kenaikan harga serealia, terutama gandum, beras, dan jagung, serta minyak nabati, khususnya minyak kelapa sawit mentah (CPO). Sebagai produsen CPO, Indonesia diuntungkan oleh kenaikan sekitar 60 persen harga minyak nabati secara tahunan, tecermin dari ekspor CPO yang melonjak baik secara volume maupun nilainya.
Akan tetapi, lonjakan harga pangan dunia sekaligus perlu diwaspadai karena Indonesia masih mengimpornya, seperti gandum, gula, jagung, dan kedelai. Kenaikan beberapa komoditas itu akan berdampak ke penggunanya secara khusus, seperti industri pakan ternak, peternak unggas, dan produsen tahu tempe, sekaligus masyarakat lain secara luas.
Situasi itu akan menjadi tekanan ganda bagi keluarga petani yang tidak mendapatkan insentif usaha yang maksimal akibat tekanan harga musim ini. Sebab, ketika harga jual hasil usahanya anjlok, mereka harus menanggung harga sebagian barang kebutuhan yang naik seiring dengan kenaikan harganya di tingkat global.
Situasi itu akan menjadi tekanan ganda bagi keluarga petani yang tidak mendapatkan insentif usaha yang maksimal akibat tekanan harga musim ini
Dampak situasi harga pangan global amat terasa oleh peternak ayam. Kenaikan harga jagung dan beberapa komponen pakan impor secara otomatis mendongkrak ongkos produksi. Pada saat yang sama, harga jual ayam dan telur ayam tertekan karena suplainya berlebih di pasaran.
Kini, pemerintah mesti mengemban tugas ganda. Selain mengerem harga pangan agar tetap terjangkau masyarakat, tugas lain yang tak kalah penting adalah memastikan produsen pangan di dalam negeri mendapatkan insentif atas hasil jerih payahnya. Membiarkan mereka terus merugi sama saja mengabaikan masa depan pangan dan kemandirian kita sebagai sebuah bangsa.