Kebiasaan konsumen makan di tempat tidak akan benar-benar tergantikan meski kini marak berkembang layanan daring pesan-antar makanan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebiasaan konsumen makan di tempat tidak akan benar-benar tergantikan meski kini marak berkembang layanan daring pesan-antar makanan. Meski demikian, pebisnis tetap harus jeli memperhatikan perilaku konsumen sehingga mampu meraup keuntungan optimal.
Dalam laporan riset Indonesia F&B Market Research 2021 yang dirilis oleh konsultan pemasaran Deka Insights dan perusahaan teknologi edukasi bisnis kuliner Foodizz, Senin (11/10/2021), selama pandemi Covid-19, lebih dari setengah responden yang disurvei mengaku masih suka makan di tempat (dine in). Jumlah responden yang disurvei mencapai 1.000 orang dan tersebar di Jakarta, Bandung, Medan, Makassar, dan Surabaya. Survei berlangsung secara daring dan wawancara selama Juli-Agustus 2021.
Responden berusia 18 sampai lebih dari 65 tahun, dengan berbagai latar belakang ekonomi. Mereka mengakses Facebook, Youtube, Instagram, Tiktok, dan Twitter.
Responden yang mengaku masih suka makan di tempat makan biasanya melakukan kebiasaan itu dua-tiga kali dalam sebulan (35 persen), sekali sebulan (35 persen), seminggu sekali (13 persen), dua-tiga kali dalam seminggu (7 persen), empat-enam kali dalam seminggu (2 persen), setiap hari (1 persen), kurang dari sekali dalam sebulan (4 persen), dan tak menentu (4 persen). Associate Research Director Deka Insights Sri Mulyono menjelaskan, kebanyakan konsumen yang makan di tempat membayar normal atau datang bukan karena ada promo.
”Bagi responden yang sering makan di tempat, rata-rata anggaran pengeluaran mereka sebesar Rp 213.500. Sebanyak 65 persen responden yang makan di tempat menyukai makanan nusantara, 25 persen suka makanan cepat saji, dan 7 persen makanan Barat, Jepang, dan China,” ujar Sri.
Menurut dia, dari 1.000 responden yang disurvei, 50 persen di antaranya mengaku suka pesan makanan melalui aplikasi GoFood, GrabFood, dan ShopeeFood. Ada juga 45 persen responden menjawab suka pesan dan bawa pulang makanan dari restoran, 7 persen menyebut pernah pakai jasa pesan antar dari aplikasi restoran/kafe, dan 4 persen mengaku pernah pesan antar dengan cara bercakap di Whatsapp.
Sri menyampaikan, kebanyakan responden memanfaatkan apapun jenis layanan pesan antar makanan sebanyak dua-tiga kali dalam sebulan selama pandemi Covid-19. Mereka melakukannya untuk keluarga.
”Rata-rata pengeluaran untuk pesan-antar makanan berkisar Rp 154.000. Sebagian besar responden suka menggunakan layanan ini karena ada promo paket menu, diskon menu, diskon/promo dari penyedia jasa pembayaran, dan promo dari media sosial/aplikasi,” katanya.
Mengenai jenis menu, Sri mengatakan tidak ada perbedaan signifikan menu yang dipesan saat makan di tempat dan pesan-antar. Makanan Nusantara paling banyak dipilih responden saat pesan-antar, baru diikuti menu makanan cepat saji, dan menu makanan Barat, Jepang, dan China.
Tidak ada perbedaan signifikan menu yang dipesan saat makan di tempat dan pesan-antar. Makanan Nusantara paling banyak dipilih responden saat pesan-antar, baru diikuti menu makanan cepat saji, dan menu makanan Barat, Jepang, dan China.
Co-Founder dan CEO Hangry Abraham Victor saat menghadiri Tech in Asia Conference 2021, Rabu (13/10/2021), di Jakarta, menyebut pertumbuhan bisnis pesan antar makanan di Indonesia mencapai 50 persen, sedangkan restoran tradisional hanya 7 persen. Sampai lima tahun mendatang atau pascapandemi Covid-19, pasar bisnis pesan-antar makanan diperkirakan masih bisa tumbuh 20-35 persen, sedangkan restoran tradisional hanya akan tumbuh sekitar 7 persen per tahun.
Hangry merupakan perusahaan rintisan di bidang kuliner yang membawahi aneka jenama produk makanan. Perusahaan ini beroperasi sejak November 2019 dan kini memiliki 49 gerai di Jabodetabek dan Bandung. Hangry dominan melayani pesan antar makanan.
”Kami juga memiliki dapur kolektif atau cloud kitchen, tetapi peruntukan untuk jenama-jenama produk makanan di bawah Hangry. Kami harap cara ini membuat Hangry bisa fokus. Kami, kan, harus memikirkan strategi promo dan diskon agar konsumen puas,” tuturnya.
Abraham berpendapat, pandemi Covid-19 mendorong konsumen untuk mengutamakan penyajian makanan yang bersih, aman, dan sehat. Ini berlaku baik saat mereka makan di tempat maupun memakai jasa pesan-antar makanan.
Rebel Foods, perusahaan rintisan bidang teknologi asal India yang bergerak sebagai operator dapur kolektif, telah berekspansi ke Indonesia. Perusahaan ini bekerja sama dengan Gojek. Co-Founder Rebel Foods Ankush Grover optimistis keberadaan dapur kolektif akan terus mengakselerasi bisnis makanan di Indonesia. Keberadaannya mempermudah dan memperpendek jarak pengantaran makanan ke konsumen sehingga bisa menekan ongkos kirim.
”Bisnis makanan di Indonesia sangat besar. Ada merek restoran lokal bisa punya puluhan-ratusan cabang. Saat bersamaan, kemunculan internet mendorong konsumen mau mengeksplorasi menu lokal baru dan pemilik usaha makanan terjun ke pesan-antar secara daring agar mengakselerasi bisnis mereka,” kata Ankush.
Ankush menambahkan, untuk memenangkan persaingan antarsesama operator dapur kolektif, mereka mesti bisa merangkul pebisnis makanan yang paham selera lokal masyarakat. Sebab, bagaimanapun konsumen tetap cenderung suka menu lokal.
Praktisi bidang periklanan yang kini juga menggeluti bidang desain interior dan kuliner, Luthfi Hasan, menceritakan, selama pandemi Covid-19, bisnis makanan termasuk sektor yang tidak terlalu terdampak pembatasan sosial. Usaha makanan rumahan malah menjamur. Dirinya bahkan ikut mengembangkan bisnis tempat makan bernama Warung Radius 3 Kilo di Tangerang Selatan. Sejumlah produk atau material bahan baku makanannya berasal dari warga sekitar dan tetangga di kompleks tempat tinggal Luthfi yang menjalankan usaha makanan skala rumahan.
Dia menceritakan pula bahwa Warung Radius 3 Kilo melayani paket menu, selain makan di tempat. Menu makanan tersebut bisa dipesan melalui aplikasi ride hailing.
”Bisnis makanan hari ini harus terjun ke pesan-antar daring (online delivery). Selain masih pembatasan sosial, kami juga mengamati bahwa internet jadi sumber informasi bagi sebagian besar konsumen,” tuturnya.