Dampak UU Cipta Kerja, Pemutihan Status Kerja Lebih Masif
Buruh umumnya menerima tawaran pemutihan kerja karena terdesak. Di tengah pandemi, kebutuhan mempertahankan pekerjaan dan sumber pemasukan lebih tinggi meski harus berganti status dari pekerja tetap menjadi kontrak.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mulai dirasakan kelompok buruh, seperti di sektor tekstil garmen alas kaki dan kulit atau TGSL. Satu tahun setelah UU disahkan, praktik pemutihan hubungan kerja di tengah pandemi Covid-19 lebih masif terjadi dengan pesangon yang kecil dan status kontrak kerja tak pasti.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi, Rabu (13/10/2021), memberi contoh, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Timur, pemutihan kontrak kerja mulai dilakukan sejak 3 bulan lalu. Praktik pemutihan memang bukan barang baru. Namun, pasca-UU Cipta Kerja dan akibat pandemi, menjadi lebih masif.
Pemutihan status kerja adalah praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja tetap untuk kemudian dipekerjakan kembali dengan status pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT).
Beberapa kasus pemutihan itu juga dilakukan karena perusahaan sedang gencar melakukan relokasi pabrik ke daerah lain, umumnya ke kawasan industri di Jawa Tengah. Menurut Dian, jumlah kasus pemutihan status kerja di tengah pandemi ini bertambah sekitar dua kali lipat sebelumnya.
”Gelombang PHK sudah dimulai 3 bulan lalu, ada sekitar 50 persen. Dilakukan menjelang hari raya Lebaran sehingga buruh tidak mendapat tunjangan hari raya (THR) dan supaya bisa dipekerjakan lagi sebagai buruh kontrak,” kata Dian saat dihubungi.
Dian menambahkan, selain jumlahnya yang lebih masif dibandingkan dulu, besar pesangon yang diterima buruh juga jauh lebih kecil dari sebelumnya. Sebelum UU Cipta Kerja, buruh yang terkena pemutihan setidaknya masih mendapat pesangon sebanyak 1 kali ketentuan di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, setelah UU Cipta Kerja, buruh yang mengalami pemutihan hanya mendapat pesangon 0,1 persen sampai 0,25 persen dari ketentuan. Besaran pesangon itu, ujarnya, juga lebih rendah dari yang diatur di UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.
PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK mengatur, pesangon paling rendah yang dapat diberi ke pekerja adalah 0,5 persen dari ketentuan. Itu diberikan untuk situasi tertentu, seperti ketika perusahaan mengalami kerugian, melakukan efisiensi, atau terpaksa tutup karena keadaan mendesak (force majeure).
Menurut Dian, rata-rata buruh menerima tawaran pemutihan karena sudah terdesak. Di tengah pandemi, kebutuhan mempertahankan pekerjaan dan sumber pemasukan lebih tinggi. Negosiasi pemutihan kerja juga tidak dilakukan melalui dialog sosial dengan serikat pekerja, tetapi langsung ke buruh bersangkutan.
”Selain karena memang butuh pekerjaan dan butuh uang, ada relasi kuasa yang timpang dalam negosiasi. Makanya, meski pesangonnya rendah sekali, teman-teman akhirnya mau,” ujarnya.
Kepastian kerja
Selain besaran pesangon yang kecil, buruh yang dipekerjakan kembali sebagai buruh kontrak/PKWT juga tidak mendapat kepastian kerja. Perusahaan sudah mengacu pada UU Cipta Kerja yang memperpanjang batasan waktu kontrak dari sebelumnya maksimal 2 tahun menjadi 5 tahun.
PKWT juga diterapkan untuk berbagai jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan inti (core business) perusahaan, yang seharusnya dipegang oleh pekerja tetap. ”Di sektor TGSL, pemutihan dan status kontrak diterapkan juga ke bagian sewing (menjahit) yang sebenarnya adalah inti produksi,” kata Dian.
Riset ”Mitigasi Dampak Penerapan UU Cipta Kerja dan Peraturan Turunannya” oleh Trade Union Rights Centre (TURC) dan sejumlah serikat buruh juga menggarisbawahi fenomena ini. Hasil riset itu sempat dipaparkan ke Kementerian Ketenagakerjaan dalam audiensi, pekan lalu.
Peneliti TURC Rizki Amalia Fathikhah, Selasa (12/10), mengatakan, ketentuan perubahan batas waktu PKWT di UU Cipta Kerja memperkecil kesempatan pekerja kontrak untuk menjadi pekerja tetap. Ada juga kekhawatiran bahwa pekerja tetap yang mengalami PHK dapat digantikan oleh pekerja alihdaya (outsource), karena UU Cipta Kerja tidak mengatur dengan tegas batasan kategori jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan.
Direktur Eksekutif TURC Andriko Otang menambahkan, di tengah pandemi, mulai ditemukan pula sistem pengupahan berdasarkan satuan waktu atau dibayar per jam atau per hari untuk pekerja PKWT. Dampaknya, pekerja yang sakit selama pandemi tetap memaksakan diri untuk bekerja agar upahnya tidak tergerus oleh izin sakit.
”Banyak pekerja yang sudah mulai diupah dengan satuan waktu. Karena sistem no work no pay ini, pekerja yang sakit juga tidak mau lapor karena takut tidak diupah sehingga sempat muncul kluster penularan Covid-19 di kawasan kantor dan pabrik,” kata Andriko.
Pemerintah pun diharapkan dapat merevisi PP turunan UU Cipta Kerja dan mengatur lebih rinci beberapa aspek. Misalnya, ketentuan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan dan dikontrakkan, serta mengakomodir hak-hak pekerja lainnya yang berpotensi tergerus akibat pengaturan yang kurang detail dan berpihak pada buruh di peraturan turunan.
Sementara itu, pemerintah terus melakukan dialog dan evaluasi terkait dengan implementasi UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya dalam peraturan perusahaan (PP) dan perjanjian kerja bersama (PKB).
Dalam dialog audiensi dengan perwakilan serikat buruh, manajemen perusahaan, dan mediator hubungan industrial, Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, kehadiran UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya bukan untuk mendegradasi kualitas PP dan PKB. Perubahan peraturan perundang-undangan tidak serta-merta mengubah ketentuan peraturan internal perusahaan yang berlaku.
”Kecuali dilakukan perubahan atas dasar kesepakatan pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha. Hakikatnya harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak,” ujarnya.
Tidak ada batasan terkait penerapan PKWT dan pekerja alihdaya di perusahaan. Aturan yang ada lebih fleksibel dan bisa lebih kondusif bagi dunia usaha saat ini.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz mengatakan, praktik pemutihan kerja bisa saja dilakukan di tengah pandemi ini. Terutama, pasca-UU Cipta Kerja, tidak ada batasan terkait penerapan PKWT dan pekerja alihdaya di perusahaan. Aturan yang ada lebih fleksibel dan bisa lebih kondusif bagi dunia usaha saat ini.
Namun, ia mengingatkan, perusahaan tidak boleh mengesampingkan hak karyawan. ”Boleh-boleh saja di-switch ke kontrak, sekarang memang tidak dibatasi di dunia PKWT dan alihdaya. Namun, hak karyawan harus dikedepankan terlebih dahulu. Makanya, dialog sosial dan hubungan bipartit harus dikedepankan sebelum itu diterapkan,” katanya.
Lebih lanjut, belum semua perusahaan sudah menerapkan UU Cipta Kerja dalam peraturan internal perusahaan dan hubungan industrial sehari-hari. Ada pengusaha yang belum memahami UU Cipta Kerja, ada pula yang belum berhasil menempuh jalan tengah dengan serikat pekerja dalam dialog bipartit. ”Jadi, belum semua comply memang, tetapi otomatis itu lambat laun akan dilakukan. Perlu sosialisasi yang lebih berkesinambungan lagi,” katanya.