Jika stabilitas finansial bisa terus dipertahankan, niscaya Indonesia bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap ”hot money”.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Krisis dan gejolak pasar finansial global akibat pandemi Covid-19 telah membuat porsi kepemilikan asing pada surat utang negara (surat berharga negara/SBN) terus menyusut dari 39 persen pada akhir Januari 2020 menjadi 21,5 persen pada akhir September 2021.
Hal yang sama juga terjadi pada kepemilikan saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Sebelum pandemi, porsi kepemilikan asing rata-rata 37 persen, lalu turun hingga menjadi 24 persen per September 2021.
Saat wabah Covid-19 mulai menjalar ke Indonesia pada Maret 2020, investor asing ramai-ramai melepas aset-aset domestik seperti SBN dan saham. Hal itu terjadi karena berdasarkan konsensus investor global, risiko investasi di negara-negara berkembang akan meningkat saat krisis melanda sehingga tak sebanding lagi dengan imbal hasil yang diperoleh.
Investor asing kemudian mengalihkan dananya ke aset-aset safe-haven, seperti treasury bonds atau treasury bills yang diterbitkan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada Maret 2020, SBN yang dilepas investor asing sebesar Rp 112,74 triliun.
Satu setengah tahun berlalu, sebagian besar dana asing yang lari tersebut belum kembali ke Tanah Air. Pandemi juga membuat nilai kepemilikan asing pada SBN berfluktuasi bergantung pada penanganan Covid-19. Sempat naik mencapai Rp 985 triliun pada Januari 2021, tetapi turun lagi menjadi Rp 952 triliun pada Maret 2021 dan perlahan naik kembali menjadi Rp 962 triliun pada akhir September 2021. Meski demikian, nilai ini masih jauh di bawah nilai kepemilikan sebelum pandemi yang sebesar Rp 1.077 triliun pada Januari 2020.
Pertanyaannya, perlukah dana-dana asing yang lari itu kembali lagi ke Indonesia atau sebenarnya tidak perlu mengingat sejauh ini stabilitas pasar finansial Indonesia tetap terjaga tanpa adanya dana-dana tersebut.
Kurs rupiah yang terpelanting ke posisi Rp 16.741 per dollar AS saat dana asing kabur telah kembali stabil pada level keseimbangannya yang baru di kisaran Rp 14.200-Rp 14.300 per dollar AS.
Begitu pula imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang melonjak ke level 8,22 persen pada Maret 2020 telah kembali turun dan relatif stabil pada kisaran 6,4 persen saat ini.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, investasi asing dalam bentuk portofolio atau biasa juga disebut hot money—karena sifatnya yang mudah lari—memang masih diperlukan.
Maklum, kapasitas pasar keuangan domestik masih terbatas sehingga tidak bisa menyerap seluruh SBN yang diterbitkan pemerintah. Apalagi, nilai SBN yang diterbitkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pasar modal juga masih membutuhkan dana asing guna menggairahkan transaksi saham mengingat jumlah investor domestik tak cukup banyak.
Perlukah dana-dana asing yang lari itu kembali lagi ke Indonesia atau sebenarnya tidak perlu, mengingat sejauh ini stabilitas pasar finansial Indonesia tetap terjaga tanpa adanya dana-dana tersebut.
Namun, saat pandemi datang kemudian terbit kebijakan super berupa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, peran asing di pasar keuangan dan pasar modal sebenarnya tak signifikan lagi. Berpijak pada UU tersebut, Bank Indonesia (BI) bisa membeli SBN di pasar perdana atau primer dari sebelumnya hanya bisa membeli SBN di pasar sekunder.
Jadi, jika dalam satu lelang pasar domestik tak mampu menyerap seluruh SBN yang diterbitkan, BI akan menyerap sisanya. Sebagai bank sentral yang bisa menciptakan uang dan melakukan ekspansi moneter, tentu saja BI memiliki kemampuan untuk menyerap berapa pun SBN yang diterbitkan pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, jelas Indonesia tak butuh-butuh amat hot money
dari asing.
Bahkan, sebenarnya, berkurangnya dana asing justru menguntungkan perekonomian Indonesia. Sebab, kebutuhan valuta asing (valas) untuk membayar bunga SBN dan dividen kepada investor asing di luar negeri juga berkurang. Dampaknya, Indonesia bisa menghemat devisa dan memperkecil defisit transaksi berjalan.
Data BI menunjukkan, selama semester I-2021, total pembayaran bunga SBN dan obligasi swasta ke luar negeri dalam bentuk valas 4,56 miliar dollar AS atau setara Rp 6,52 triliun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan semester I-2019 saat belum terjadi pandemi yang sebesar 4,95 miliar dollar AS atau Rp 7,1 triliun. Ujungnya, defisit transaksi berjalan juga mengecil menjadi 3,29 miliar dollar AS selama semester I-2021.
Melihat fakta ini, masih perlukah kita menggelar karpet merah agar investor asing mau membeli SBN dan saham di bursa domestik? Jika stabilitas finansial bisa terus dipertahankan, niscaya Indonesia bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap hot money.