Benahi Industri Perunggasan secara Menyeluruh
Unjuk rasa peternak asal Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur kemarin menunjukkan kekusutan industri perunggasan nasional. Mereka meminta pemerintah membenahi industri yang menghidupi jutaan peternak itu.
JAKARTA, KOMPAS — Unjuk rasa peternak ayam pedaging dan ayam petelur di sejumlah lokasi di Jakarta, Senin (11/10/2021), dinilai menunjukkan kekusutan industri perunggasan nasional. Problem yang mengimpit para peternak unggas rakyat membutuhkan solusi yang menyeluruh agar industri yang menjadi sumber penghidupan jutaan keluarga ini tumbuh sehat.
Para peternak yang berunjuk rasa berasal dari Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka tergabung dalam Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) dan Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN).
Bersama mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Padjadjaran, mereka berunjuk rasa di tujuh lokasi berbeda, yakni Istana Negara, Gedung DPR/MPR, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial, kantor manajamen PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, dan kantor manajemen PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk.
Para peternak antara lain meminta pemerintah menaikkan harga jual ayam hidup dan telur di atas harga pokok produksi, yakni Rp 20.000 per kilogram (kg). Mereka juga meminta jaminan harga jual ayam hidup dan telur ayam di atas Rp 20.000 per kg sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Selain itu, peternak meminta pemerintah menerbitkan peraturan presiden yang melindungi peternak rakyat mandiri sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, menjamin suplai bibit ayam sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 Tahun 2017, serta menjamin harga bibit dan pakan ayam sesuai dengan Permendag No 7/2020.
Baca juga: Lima Tahun Belenggu Jagung
Guna memastikan persaingan usaha yang sehat, para peternak rakyat juga meminta pemerintah melarang perusahaan yang memiliki calon indukan (GPS/PS) serta memproduksi pakan dan sarana produksi untuk tidak membudidayakan ayam serta menjual ayam/telur di pasar tradisional. Sebab, cara itu menekan harga di tingkat peternak berskala kecil.
Sekretaris Jenderal PPUN Kadma Wijaya menjelaskan, saat ini peternak ayam pedaging dan petelur sangat tertekan karena dua hal. Pertama, ada lonjakan harga bahan baku pakan ternak, terutama jagung dengan kadar air di atas 15 persen. Saat ini harga jual jagung dengan kadar air di atas 15 persen berada pada kisaran Rp 5.800-Rp 6.000 per kg, jauh di atas acuan yang ditetapkan Rp 3.150 per kg di tingkat petani, bahkan acuan di tingkat konsumen yang Rp 4.500 per kg.
Di sisi lain, harga jual ayam hidup kini di kisaran Rp 18.000-Rp 19.000 per kg. Angka itu masih di bawah harga acuan ayam hidup yang ditetapkan Rp 19.000-Rp 21.000 per kg di tingkat peternak.
Hal serupa juga terjadi pada harga jual telur, yakni di kisaran Rp 18.000-Rp 19.000 per kg, di bawah harga acuan ayam hidup (livebird) di tingkat petani, yakni Rp 19.000-Rp 21.000 per kg. ”Kenaikkan biaya pakan ternak ini memberatkan sekali. Di sisi lain, harga jual ayam hidup dan telur juga rendah sehingga kami merugi,” ujar Kadma.
Baca juga: Harga Jagung Melambung karena Defisit Neraca
Ia mengungkapkan, di berbagai tempat, banyak peternak yang menjual ayam yang sudah berusia tua dan produktivitas rendah, semata agar punya modal untuk membeli pakan buat ayam yang lebih muda dan punya produktivitas lebih tinggi. ”Kami sudah merugi bertahun-bertahun karena kondisi seperti ini,” ujar Kadma.
Kelebihan produksi
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman berpendapat, masalah klasik kelebihan produksi masih terjadi meski pemerintah berulang mengendalikan melalui pemotongan produksi di hulu. Faktanya, harga jual ayam hidup anjlok di kisaran Rp 16.000-Rp 17.000 per kg dan harga telur ayam Rp 14.000-Rp 17.000 per kg di tingkat peternak pada September 2021. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan harga acuan Permendag No 7/2020 yang ditetapkan Rp 19.000-Rp 21.000 per kg.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 06066/PK.230/F/1021, pada Oktober 2021 produksi DOC final stock (FS) mencapai 300.253.946 ekor. Padahal, kebutuhannya 212.669.913 ekor. Artinya, ada potensi surplus 87.584.033 ekor. ”Peternak menuntut SE itu dicabut karena berdampak pada kenaikan harga DOC FS, tetapi harga jual ayam cenderung rendah,” ujarnya.
Menurut Ali, kelebihan suplai produksi pada tahun 2021 tidak lepas dari alokasi kuota impor GPS (grand parent stock) tahun 2020 yang mencapai 675.999 ekor serta penurunan konsumsi ayam di tengah pandemi Covid-19. ”Realisasi impor GPS tahun 2020 memang 31.001 ekor lebih rendah dibandingkan dengan impor tahun 2019 yang 707.000 ekor. Namun, pada tahun 2019 ada kelebihan GPS 53.229 ekor,” ujarnya.
Selain itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kata Ali, ada penurunan angka konsumsi ayam. Sebelum pandemi, konsumsi masyarakat mencapai 12,79 kg per kapita per tahun. Namun, angkanya turun jadi 9,08 kg per kapita per tahun saat pandemi terjadi. Data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kebutuhan karkas ayam mencapai 3,129 jua ton tahun 2021, sementara produksi diperkirakan 3,5 juta ton. Artinya, ada surplus 377.000 ton atau 12,46 persen meski pemerintah telah berupaya mengurangi produksi di hulu.
Aspirasi peternak
Ketua PPRN Alvino Antonio menambahkan, para peternak mendesak pemerintah untuk mengubah tata niaga unggas dan membenahi industri perunggasan nasional. Para peternak antara lain meminta pemerintah menaikkan harga jual ayam hidup dan telur di atas harga pokok produksi, yakni Rp 20.000 per kg.
Dalam aksinya, peternak meminta pemerintah tegas melarang perusahaan yang memiliki calon indukan (GPS/PS) serta memproduksi pakan dan sarana produksi untuk tidak membudidayakan ayam serta menjual ayam/telur di pasar tradisional. Sebab, hal itu akan mematikan pasar peternak unggas skala kecil yang memiliki segenap keterbatasan.
Menurut Ali Usman, pemerintah perlu memperketat impor calon indukan dan produksi bibit di hulu. Dengan demikian, produksi ayam hidup ataupun telur ayam lebih terkendali dan harga lebih stabil. Pengendalian produksi melalui afkir dini dan pemusnahan telur tertunas selama ini belum mampu mengatasi masalah. Terbukti dari problem harga yang terus berulang.
Selain itu, kelebihan produksi perlu diatasi dengan menggenjot konsumsi di tingkat konsumen serta mendorong industri pengolahan. Kelebihan produksi telur ayam, misalnya, akan teratasi jika industri yang memproduksi tepung telur terbangun. Dengan demikian, ada nilai tambah produk dan lapangan kerja baru.
General Manager Marketing PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPI) Agoes Haryoko menyampaikan beberapa solusi yang telah dilakukan dan akan dilakukan guna membantu para peternak. Salah satunya dengan membeli telur langsung dari peternak di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan harga Rp 2.000 per kg di atas harga pasar di kandang peternak.
Selain itu, pihaknya akan melanjutkan pemberian subsidi pakan Rp 100 per kg seperti yang sudah dilakukan sebelumnya. CPI berharap solusi yang diberikan dapat memberikan dampak langsung yang bisa dirasakan peternak.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan, salah satu penyebab masih rendahnya harga jual telur dan ayam hidup itu dipicu karena selama sekitar 4 bulan terakhir hotel, restoran, dan kafe yang menjadi penyerap terbesar komoditas itu tutup karena pembatasan kegiatan sosial yang dipicu lonjakan kasus Covid-19.
Hal ini menyebabkan kelebihan pasokan ayam hidup dan telur yang di sisi lain permintaan menurun. Maka, harga jualnya pun menurun. Saat ini, seiring dengan pelonggaran pembatasan sosial, hotel, restoran, dan kafe mulai buka kembali. Pasokan ayam hidup dan telur bisa kembali terserap karena permintaan ikut meningkat.
Pada akhirnya, situasi itu diharapkan bisa meningkatkan harga jual ayam hidup dan telur di tingkat peternak. ”Ketika pasar kembali dibuka, ini diharapkan bisa kembali memperbaiki harga ke level wajar,” ujar Oke.
Meski demikian, Oke mengatakan, akan butuh waktu agar harga itu bisa kembali ke posisi acuan seperti yang ditetapkan dalam Permendag No 7/2020.
Sementara itu, mengenai harga jagung, harganya saat ini memang sedang naik karena dipicu kenaikan harga komoditas jagung dunia. Merespons hal itu, pemerintah telah memerintahkan Perum Bulog menggelontorkan 30.000 ton jagung kepada peternak dengan harga jual Rp 4.500.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah mengatakan, urusan kenaikan harga bukan berada pada kewenangannya, melainkan di Kementerian Perdagangan.
Baca juga :