Para peternak serta mahasiswa dari sejumlah kampus di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berunjuk rasa di Jakarta, Senin (11/10/2021). Mereka meminta pemerintah mengatasi kesulitan yang dihadapi peternak rakyat.
Oleh
Mukhamad Kurniawan / Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Para peternak unggas yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara bersama mahasiswa dari sejumlah kampus di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, berunjuk rasa di Jakarta, Senin (11/10/2021). Mereka menuntut pemerintah memperbaiki tata niaga daging dan telur ayam ras.
Rendahnya harga jual daging dan telur ayam di tengah tingginya harga sarana produksi membuat peternak rugi. Unjuk rasa menjadi pilihan terakhir bagi peternak untuk menyuarakan aspirasi. Kali ini aksi direncanakan digelar di depan Gedung DPR RI, Istana Merdeka, dan Kementerian Pertanian di Jakarta.
Para peternak antara lain meminta pemerintah menaikkan harga jual ayam hidup dan telur minimal sesuai harga pokok produksi, yakni Rp 20.000 per kilogram (kg). Mereka meminta jaminan harga jual ayam hidup dan telur ayam di atas Rp 20.000 per kg sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Pada unjuk rasa kali ini, peternak juga memita pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden yang melindungi peternak rakyat mandiri sesuai amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, menjamin suplai bibit ayam sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 Tahun 2017, serta menjamin harga bibit dan pakan ayam sesuai Permendag 7/2020.
Guna memastikan persaingan usaha yang sehat, para peternak rakyat juga meminta pemerintah melarang perusahaan yang memiliki calon indukan (GPS/PS) serta memproduksi pakan dan sarana produksi untuk tidak membudidaya ayam serta menjual ayam/telur di pasar tradisional. Sebab, cara itu menekan harga di tingkat peternak berskala kecil.
Menurut Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Ali Usman, masalah klasik kelebihan produksi masih terjadi meski pemerintah berulang mengendalikan melalui pemotongan produksi di hulu. Faktanya, harga jual ayam hidup anjlok di kisaran Rp 16.000-17.000 per kg dan harga telur ayam Rp 14.000-17.000 per kg di tingkat peternak pada September 2021. Angka itu lebih rendah dibandingkan harga acuan Permendag 7/2020 yang ditetapkan Rp 19.000-21.000 per kg.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 06066/PK.230/F/1021, pada Oktober 2021 produksi DOC final stock (FS) mencapai 300.253.946 ekor. Padahal, kebutuhannya 212.669.913 ekor. Artinya, ada potensi surplus 87.584.033 ekor. “Peternak menuntut SE itu dicabut karena berdampak pada kenaikan harga DOC FS, tetapi harga jual ayam cenderung rendah,” ujarnya.
Menurut Ali, kelebihan suplai produksi pada tahun 2021 tidak lepas dari alokasi kuota impor GPS (grand parent stock) tahun 2020 yang mencapai 675.999 ekor serta penurunan konsumsi ayam di tengah pandemi Covid-19. “Realisasi impor GPS tahun 2020 memang 31.001 ekor lebih rendah dibandingkan impor tahun 2019 yang 707.000 ekor. Namun, pada tahun 2019 ada kelebihan GPS 53.229 ekor,” ujarnya.
Selain itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kata Ali, ada penurunan angka konsumsi ayam. Sebelum pandemi, konsumsi masyarakat mencapai 12,79 kg per kapita per tahun. Namun, angkanya turun jadi 9,08 kg per kapita per tahun saat pandemi terjadi. Data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kebutuhan karkas ayam mencapai 3,129 jua ton tahun 2021, sementara produksinya diperkirakan 3,5 juta ton. Artinya, ada surplus 377.000 ton atau 12,46 persen meski pemerintah telah berupaya mengurangi produksi di hulu.