Untuk menghadapi dinamika ketidakpastian suplai-permintaan energi, pemerintah diharapkan punya manajemen risiko untuk keberlanjutan energi di dalam negeri.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks ketahanan energi Indonesia saat ini berkisar 6,57 atau masuk kategori tahan. Meski demikian, sejumlah akademisi dan praktisi energi berharap pemerintah memiliki strategi manajemen risiko untuk menghadapi ketidakpastian pasokan-permintaan yang diperkirakan berlangsung hingga jangka menengah-panjang.
Dalam webinar ”Ahli Bicara: Krisis Energi Mulai Melanda Dunia, Bagaimana Strategi RI?” yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Minggu (10/10/2021), di Jakarta, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menyebut indeks ketahanan energi Indonesia berkisar 6,57 atau masuk kategori tahan. Indeks ketahanan energi diukur dari aspek keterjangkauan harga, ketersediaan energi, kemampuan akses, dan ramah lingkungan.
”Dari sisi harga, pemerintah sudah menetapkan, antara lain, harga batubara 70 dollar AS per ton dan gas 6 dollar AS per MMBTU. Dari sisi ketersediaan, Indonesia masih mengekspor gas dan batubara. Dari sisi energi terbarukan, Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik telah memutuskan 51,6 persen ke energi terbarukan, pemerintah dorong pembangunan pabrik baterai, pemanfaatan bioavtur, dan berbagai cara akselerasi sudah dirumuskan,” tuturnya.
Sementara dari sisi infrastruktur energi, Djoko menyebut pemerintah juga mendorong pembangunan infrastruktur, seperti pipa gas yang menyambung Sumatera-Jawa dengan nilai proyek Rp 1 triliun pada tahun 2022. Memasuki musim hujan, lanjut dia, pemakaian pembangkit listrik tenaga air juga akan berperan optimal.
Gubernur Indonesia untuk Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) periode 2015 - 2016 Widhyawan Prawira Atmadja mengatakan, fenomena krisis energi yang sekarang terjadi di sejumlah negara, terutama disebabkan oleh dinamika suplai-permintaan. Akan tetapi, pada kondisi saat ini terdapat sejumlah faktor yang membuat dinamika itu semakin kompleks sehingga meningkatkan ketidakpastian.
Faktor pertama adalah kondisi ekonomi semua negara yang masih dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. Kedua, kondisi perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Faktor ketiga adalah upaya dekarbonisasi untuk mengatasi/mengurangi dampak perubahan iklim yang mendorong kebijakan transisi energi. Upaya ini tidak mudah karena membutuhkan biaya, akselerasi teknologi, dan perubahan perilaku konsumen.
Faktor keempat adalah perubahan pola investasi sebagai dampak langsung transisi energi, baik untuk energi primer maupun infrastruktur energi.
Kelima, lanjut Widhyawan, ekonomi karbon yang penerapannya belum merata di semua negara.
Faktor terakhir yang tidak kalah menambah kompleksitas adalah kondisi geopolitik yang saat ini dipicu oleh persaingan ekonomi, seperti Amerika Serikat versus China dan China versus Australia.
”Semua ketidakpastian tersebut menyiratkan pesan agar semua pemangku kepentingan di industri energi, baik BUMN, swasta, maupun pemerintah, segera menjalankan manajemen risiko. Intinya, Indonesia bisa menyeimbangkan dampak jangka pendek dan strategi ketahanan energi yang berkelanjutan,” ujarnya.
Anggota Bimasena Energy Team sekaligus Direktur Utama Pertamina periode 2006 -2009, Ari Soemarno, menyampaikan, krisis energi yang terjadi di sejumlah negara saat ini dia perkirakan akan mulai ada stabil dua-tiga bulan mendatang. Pasalnya, OPEC+ sudah sepakat menambah produksi minyak per hari 400.000 barel per hari pada November 2021. Mereka juga memperkirakan akan ada kelebihan pasokan pada 2022. China juga telah memerintahkan meningkatkan produksi batubara sampai 100 juta ton.
Dalam jangka pendek, krisis energi yang terjadi sekarang tidak terlalu bermasalah bagi Indonesia. Akan tetapi, pada jangka menengah dan panjang, dia menilai berbagai kebijakan pemerintah Indonesia belum menekankan keberlanjutan dan terkesan belum memiliki solusi.
”Penetapan harga gas bumi oleh pemerintah itu bisa berpotensi menimbulkan divestasi karena sumber-sumber gas baru butuh investasi yang mahal. Lalu, meskipun kebijakan pemerintah menginginkan infrastruktur migas ditambah, seperti membangun kilang baru, akan percuma apabila produksi turun di bawah target. Apalagi Indonesia tidak ada upaya aktif menaikkan produksi,” kata Ari.
Dia juga menilai, fenomena krisis energi di sejumlah negara sekarang mengakselerasi pemakaian energi terbarukan secara global, termasuk Indonesia. Persoalannya, Indonesia tidak memiliki strategi untuk mencapai pemakaian energi terbarukan secara optimal.
Harga keekonomian energi terbarukan untuk pembangkit listrik yang saat ini jadi permasalahan, kata Ari, belum ada titik terang dari pemerintah. Sementara pada saat bersamaan, Ari menyebut PT PLN (Persero) memiliki liabilitas yang banyak.
”Kami tidak melihat ada evaluasi implementasi atas perencanaan pemakaian energi terbarukan yang sudah berjalan. Kami malah mengamati pemerintah membuat rencana baru, seperti Grand Strategi Energi Nasional. Evaluasi atas pelaksanaan Rencana Umum Energi Nasional yang ditetapkan melalui peraturan presiden tahun 2017 tidak disampaikan,” imbuh Ari.
Dari sisi cadangan penyangga energi, Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Ahmad Redi menilai hal itu juga masih belum jelas. Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Ketahanan Energi Nasional telah mengamanatkannya.
Cadangan penyangga energi sesuai PP No 79/2014 merupakan cadangan di luar cadangan operasional yang disediakan oleh badan usaha dan industri. Cadangan penyangga energi dipergunakan untuk mengatasi kondisi kritis dan darurat energi. Cadangan penyangga energi disediakan secara bertahap sesuai kondisi keekonomian dan kemampuan keuangan negara.
”Cadangan yang ada sekarang masih berupa cadangan operasional 21 hari dari Pertamina. Kami mendorong pemerintah segera menyusun cadangan penyangga energi berdasarkan tempat, lokasi, dan waktu,” kata Ahmad.