Bisnis sewa perkantoran kini menuju keseimbangan baru. Penyesuaian terus dilakukan untuk mengisi kekosongan ruang.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suplai ruang kantor yang berlebih kini mulai menuju keseimbangan baru. Pada triwulan III (Juli-September) 2021 tidak ada penambahan pasokan baru gedung perkantoran di Jakarta. Tahun 2022, sebagian pasokan baru perkantoran diproyeksikan berasal dari penyelesaian konstruksi gedung yang tertunda, tahun ini.
Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto mengemukakan, sejak pandemi Covid-19 tahun 2020, pengembang memperhitungkan pembangunan perkantoran lebih matang. Penambahan ruang perkantoran yang tertahan dilandasi kesadaran pengembang bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk membangun gedung perkantoran. Beberapa gedung perkantoran juga mengalami pemunduran penyelesaian konstruksi dan baru akan selesai pada tahun 2022.
Hingga triwulan III-2021, pasokan kumulatif perkantoran di Jakarta tetap berada di kisaran 6,96 juta meter persegi pada kawasan pusat bisnis (CBD) Jakarta, serta 3,63 juta meter persegi untuk luar CBD Jakarta. Tahun 2022, jumlah pasokan baru perkantoran akan cukup besar, yakni seluas 435.000 meter persegi, akibat banyak penyelesaian konstruksi gedung yang tertunda di tahun ini. Sebanyak 78 persen pasokan baru itu berada di CBD.
”Suplai kantor tidak lagi jorjoran, dan hanya melanjutkan yang sedang dibangun. Sejak awal 2020, pengembang sudah menyadari bahwa ini bukan waktu yang tepat membangun gedung. Pertumbuhan pasokan baru perkantoran akan cenderung terbatas pada tahun 2023-2025,” kata Ferry saat dihubungi, Kamis (7/10/2021).
Sementara itu, beberapa pengembang gedung perkantoran yang telah memiliki rencana pembangunan gedung baru cenderung masih akan menunggu dan melihat performa perkantoran hingga tahun 2022. Apabila kinerja pasar sewa perkantoran membaik, proyek-proyek yang telah direncanakan akan mulai dibangun dan diharapkan bisa selesai tahun 2025.
Ruang kosong
Ferry menambahkan, meski terjadi tren penurunan pasokan gedung perkantoran, pasar sewa ruang perkantoran di Jakarta diprediksi masih tertekan. Sejak tahun 2020, tingkat keterisian gedung perkantoran terus melandai. Okupansi gedung sewa perkantoran di CBD Jakarta pada triwulan III-2021 masih 78,7 persen atau turun 0,5 persen dibandingkan triwulan sebelumnya, sedangkan di luar CBD Jakarta 77,8 persen atau turun 0,6 persen (q-to-q).
”Masih banyak ruang (kantor) kosong tersedia karena tingkat keterisian di bawah 80 persen. Ini juga memengaruhi harga sewa,” kata Ferry.
Masih banyak ruang (kantor) kosong tersedia karena tingkat keterisian di bawah 80 persen. Ini juga memengaruhi harga sewa.[caption id="attachment_11702219" align="alignnone" width="720"] Gedung perkantoran dan apartemen di kawasan Karet, Jakarta, Sabtu (11/4/2020).[/caption]
Saat ini, tarif sewa perkantoran yang ditawarkan di CBD Jakarta tercatat Rp 248.042 per meter persegi, sedangkan di luar CBD tercatat Rp 188.321 per meter persegi. Namun, nilai transaksi sewa tersebut masih dapat turun dengan adanya negosiasi dengan pemilik gedung. Untuk pasar perkantoran strata, harga jual diprediksi mengalami stagnasi sampai akhir 2021.
Ferry menilai, tantangan terbesar saat ini adalah mencari penyewa besar ruang perkantoran, karena ekspansi bisnis ikut tertahan. Penyewa ruang perkantoran saat ini memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemilik gedung. Penyewa yang berasal dari perusahaan ternama dan mampu mengangkat okupansi gedung dapat diberikan diskon tarif besar oleh pemilik gedung. Pascapandemi, beberapa pertimbangan calon penyewa ruang kantor saat ini adalah budget perusahaan, serta aksesibilitas kantor yang disewa. Gedung perkantoran yang terhubung dengan pusat transportasi, seperti moda raya transportasi (MRT) dan kereta ringan cepat (LRT), akan menjadi nilai tambah bagi penyewa. Selain itu, standar penerapan protokol kesehatan gedung yang menjamin keamanan dan kesehatan untuk berkantor.
Sebelumnya, Knight Frank Asia Pacific melakukan survei terhadap 400 lembaga bisnis internasional terkait preferensi, ekspektasi, dan prediksi investasi untuk tiga tahun ke depan. Hampir separuh responden menyatakan bahwa pola bekerja dari rumah atau model hibrida akan berlanjut dan tempat kerja menjadi lebih fleksibel sebagai alternatif sistem kerja.
Publikasi Knight Frank Asia Pasifik ”Repurposing on The Radar” pada akhir Agustus 2021 juga menyebutkan terjadinya konversi penggunaan lahan (repurposing) atas lahan perkantoran dan ritel yang beralih menjadi fungsi residensial dan logistik. Kedua fungsi itu dinilai memiliki nilai yang lebih menguntungkan saat ini.
Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia, Syarifah Syaukat, mengemukakan, masa pandemi menumbuhkan kesadaran dari pemangku kepentingan terkait faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Gedung bersertifikasi hijau kian menjadi pilihan utama dan memiliki tingkat transaksi hingga 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan gedung konvensional sehingga gedung non-ESG dinilai perlu mempertimbangkan penataan ulang penggunaan lahan, termasuk mengadopsi konsep pembangunan multifungsi (mixed use).