Menurut pemerintah, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah sekaligus menutup celah praktik-praktik erosi perpajakan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi undang-undang dinilai menjadi langkah penting dalam rangkaian proses perbaikan sistem perpajakan nasional. Perbaikan ini diyakini akan berdampak terhadap peningkatan rasio pajak secara berkelanjutan.
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang (UU) pada Kamis (7/10/2021) pagi.
UU ini terdiri dari 9 bab dan 19 pasal dengan lima substansi pokok yakni mengenai Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan PPh Badan, peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ketentuan umum dan tata cara perpajakan, program pengungkapan sukarela, serta penerapan pajak karbon.
Dalam konferensi pers virtual yang dilakukan malam harinya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sederet perubahan dalam undang-undang tersebut bertujuan membuat sistem pajak menjadi lebih adil dan efektif sehingga berdampak pada peningkatan rasio pajak.
Sederet perubahan dalam undang-undang tersebut bertujuan membuat sistem pajak menjadi lebih adil dan efektif sehingga berdampak pada peningkatan rasio pajak.
“Reformasi pajak bertujuan untuk meningkatkan rasio pajak dan kepatuhan pajak agar menjadi lebih baik. Urgensi dari reformasi perpajakan di Indonesia adalah bagaimana tetap menjaga basis pajak domestik agar tetap kuat dan merata,” kata Sri Mulyani.
Dengan terjaganya basis pajak domestik, lanjutnya, penerimaan tidak terganggu pada sektor-sektor tertentu sehingga kinerja penerimaan negara dapat terjaga. Di sisi lain, potensi basis pajak di Tanah Air terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan konsumsi masyarakat dan pendapatan per kapita negara yang semakin tinggi.
Sri Mulyani menegaskan bahwa sistem perpajakan yang baik adalah sistem yang bisa menciptakan netralitas sehingga tidak menimbulkan distorsi. Selain itu, Sri Mulyani memandang sistem perpajakan harus efisien di mana biaya untuk mencapai kepatuhan para wajib pajak bisa ditekan seminimal mungkin.
"Sistem perpajakan juga harus menciptakan stabilitas di mana penerimaan pajak memadai. Sistem perpajakan juga harus memberikan kepastian, kesederhanaan, di mana administrasi perpajakan tidak boleh rumit,” kata dia.
Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto menegaskan bahwa pemerintah dan parlemen berpihak kepada masyarakat. Salah satu wujud dari keberpihakan tersebut tercermin dari pembatalan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula akan dikenakan untuk sejumlah objek pajak mulai dari bahan pokok hingga jasa pendidikan.
“Perubahan-perubahan ini ditekankan untuk meningkatkan keadilan. Namun di sisi lain, penerimaan negara tetap perlu didukung sehingga akan tetap ada penyesuaian tarif PPN secara bertahap sampai dengan tahun 2025,” kata Dito.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan RUU HPP merupakan bagian dari rangkaian reformasi perpajakan yang menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Di samping itu, lanjut Neilmaldrin, RUU HPP bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, menutup celah praktik-praktik erosi perpajakan, instrumen untuk mewujudkan keadilan, serta memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, serta memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.
Perluasan basis
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky berharap pemerintah bisa mengimplementasikan dengan optimal upaya perluasan basis pajak sesuai dengan aturan perpajakan yang termaktub dalam UU HPP.
Salah satu peraturan yang menurut dia penting adalah pengenaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 35 persen kepada masyarakat berpendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun.
“Tarif baru ini berpotensi mendongkrak penerimaan negara secara signifikan. Ada kelompok masyarakat yang cenderung menempatkan uangnya di luar negeri dan konsumsinya lebih sedikit dari pendapatan. Kelompok ini yang harus pemerintah kejar,” kata Riefky.
Dengan demikian, pajak dari golongan tersebut nantinya akan memperbaiki postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta memperlebar ruang fiskal. Pengenaan tarif PPh sebesar 35 persen kepada masyarakat berpendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun menjadikan lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh Orang pribadi (OP) bertambah menjadi lima.
Riefky mengapresiasi langkah pemerintah yang berani menambah lapisan PKP tersebut mengingat selama ini masyarakat yang memiliki pendapatan Rp 500 juta per tahun dengan Rp 20 miliar per tahun dikenakan tarif pajak yang sama, yakni 30 persen.
“Sebelumnya ini cenderung bias, sehingga pemerintah memang perlu melangkah lebih maju untuk aspek pemerataan dan keadilan. Ini sudah diterapkan di banyak negara,” ujarnya.