Perlu keseimbangan dalam pengembangan energi terbarukan dengan energi fosil. Energi terbarukan harus didorong kendati belum bisa diandalkan sepenuhnya.
Oleh
Mediana & Aris Prasetyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis energi di sejumlah negara akibat lonjakan harga minyak dan gas membuat beberapa negara kembali berpaling ke batubara sebagai sumber energi primer. Sumber energi terbarukan yang diharapkan menjadi penyangga utama kebutuhan energi belum sepenuhnya siap. Situasi ini sekaligus menjadi pengingat agar Indonesia tidak mengabaikan optimalisasi sumber daya minyak dan gas bumi di dalam negeri.
Pada Kamis (7/10/2021) sore, harga minyak mentah jenis Brent berada di level 80,15 dollar AS per barel berdasarkan data dari laman Bloomberg. Sementara harga gas alam berkisar 5,5 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Adapun harga batubara di pasar internasional sudah melewati angka 200 dollar AS per ton.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga minyak dan gas (migas) ini tidak menguntungkan bagi negara-negara yang bergantung pada impor terhadap dua komoditas energi tersebut. Indonesia, yang sejak 2004 tercatat sebagai negara pengimpor bersih (net importer) minyak, hanya mampu memenuhi separuh dari konsumsi minyak nasional. Impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia per hari sekitar 700.000 barel.
”Kenaikan harga migas dunia bakal berdampak pada besaran anggaran subsidi energi di Indonesia. Beruntung, subsidi BBM bersifat tetap (Rp 500 per liter untuk jenis solar). Sementara yang fluktuatif adalah subsidi elpiji 3 kilogram,” ujar Komaidi, saat dihubungi, Kamis.
Kenaikan harga minyak dan gas (migas) ini tidak menguntungkan bagi negara-negara yang bergantung pada impor terhadap dua komoditas energi tersebut. Indonesia, yang sejak 2004 tercatat sebagai negara pengimpor bersih (net importer) minyak, hanya mampu memenuhi separuh dari konsumsi minyak nasional.
Untuk meminimalkan dampak kenaikan harga migas dunia, lanjut Komaidi, Pemerintah Indonesia tidak boleh mengabaikan pengembangan sumber daya migas di dalam negeri. Ia setuju dengan upaya pemerintah dalam mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan. Namun, sumber energi fosil, seperti migas dan batubara, pada kenyataannya masih sangat dibutuhkan.
”Antisipasinya adalah Indonesia harus meningkatkan produksi minyak di dalam negeri. Apalagi, ada target produksi 1 juta barel minyak per hari pada 2030. Pencarian sumber cadangan minyak yang baru harus terus digalakkan,” ucap Komaidi.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi minyak nasional per 5 Oktober 2021 sebanyak 630.381 barel per hari atau masih di bawah target yang sebesar 705.000 barel per hari. Adapun produksi gas bumi 6.057 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau melampaui target yang sebanyak 5.638 MMSCFD.
Sementara itu, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal, untuk meningkatkan produksi minyak di dalam negeri dibutuhkan partisipasi dari semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang ia maksud adalah pelaku industri hulu migas (investor, operator, vendor, dan penyedia jasa penunjang) serta pemerintah selaku pembuat kebijakan. Semua pihak harus bisa berbagi risiko, investasi, teknologi, dan pengetahuan.
”Sebagai contoh adalah penerapan metode pengurasan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR) untuk lapangan minyak berusia tua (puluhan tahun). Ini adalah salah satu cara meningkatkan produksi. Semua pemangku kepentingan harus bisa berbagi risiko dan biaya implementasi EOR,” tutur Moshe.
Komoditas batubara masih menjadi sumber energi primer yang paling diandalkan di tengah tekanan isu lingkungan.
Terkait krisis energi yang menyebabkan permintaan batubara meroket, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, situasi tersebut menunjukkan komoditas batubara masih menjadi sumber energi primer yang paling diandalkan di tengah tekanan isu lingkungan. Ia menggambarkan, batubara masih memiliki prospek bagus 1-2 dekade mendatang.
Sementara itu, menurut Komaidi, pengembangan energi terbarukan tetap harus dilanjutkan. Namun, bukan berarti energi fosil lantas diabaikan. Sebab, di tengah situasi krisis energi seperti yang terjadi di sejumlah negara sekarang ini, mereka akan memilih jenis energi yang paling murah dan mudah didapat.
”Harus ada keseimbangan antara pengembangan energi terbarukan dan fosil. Apalagi, fakta menyatakan bahwa 85 persen bauran energi nasional masih bergantung pada fosil. Namun, energi terbarukan memang tetap perlu didorong juga,” kata Komaidi.
Tingginya permintaan batubara global mendorong kenaikan harga batubara acuan Indonesia. Pada Oktober ini, Kementerian ESDM mengumumkan harga acuan sebesar 161,63 dollar AS per ton. Pada September lalu, harga batubara acuan ditetapkan 150,03 dollar AS per ton. Praktis terjadi kenaikan lebih dari 100 persen sejak Januari tahun ini di mana harga batubara ditetapkan sebesar 75,84 dollar AS per ton.
Data Kementerian ESDM menunjukkan, sampai April 2021, bauran energi pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi batubara dan migas, yakni 85,82 persen. Sisanya, 14,18 persen dari sumber energi terbarukan (hidro, bayu, surya, dan panas bumi). Dominasi energi fosil masih berlanjut pada 2025, dengan peran energi terbarukan ditetapkan sedikitnya 23 persen dan menjadi 31 persen pada 2050.