Pariwisata Dibuka, Hotel Berbintang Lebih Diminati
Okupansi hotel diprediksi membaik setelah pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Namun, hotel perlu mempersiapkan diri dengan standar kebutuhan konsumen di masa pandemi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM diyakini akan mendorong okupansi hotel. Kinerja hotel diprediksi terus membaik hingga akhir tahun 2021. Hotel berbintang dengan penyesuaian tarif dinilai akan lebih diminati dibandingkan hotel bujet.
Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto mengemukakan, tingkat rata-rata okupansi hotel di Jakarta, yang pada Mei-Juni 2021 membaik dan mendekati kondisi sebelum masa pandemi tahun 2020, kembali anjlok pada Juli-Agustus 2021 akibat peningkatan kasus Covid-19 dan pemberlakuan PPKM darurat.
Akan tetapi, memasuki masa pelonggaran PPKM pada September 2021, tingkat okupansi hotel berangsur meningkat. Apabila situasi terus membaik, pada akhir tahun 2021 diperkirakan terjadi perbaikan performa yang ditandai dengan peningkatan keterisian hotel.
Selama triwulan III (Juli-September) 2021, terdapat dua hotel yang mulai beroperasi di Jakarta. Beberapa hotel bintang 4 dan bintang 5 di Jakarta juga menjadi hotel rujukan untuk masa karantina bagi warga negara Indonesia dan warga negara asing yang masuk ke Indonesia. Relaksasi PPKM juga membantu hotel-hotel yang menerapkan kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan (CHSE) meningkatkan keterisian, selain memberikan kepastian bagi pengunjung hotel.
”Relaksasi ini akan membantu tingkat hunian di hotel di Jakarta kembali ke level yang diharapkan walau belum bisa pulih,” kata Ferry, dalam paparan media briefing properti Q3-2021, Rabu (6/10/2021).
Director of Hospitality Services Colliers Indonesia Satria Wei mengemukakan, hotel berbintang di kawasan resor pariwisata saat ini memiliki kesempatan mendapatkan tamu lebih mudah seiring penyesuaian tarif hotel. Sebagian pelaku bisnis perhotelan kini fokus meningkatkan keterisian hotel sehingga penetapan tarif yang sangat tinggi sudah tidak terjadi.
”Dari sisi harga, kita yang dulu tidak berpikir menginap di hotel mewah, sekarang bisa tinggal di hotel mewah. Penyesuaian tarif ini akan bertahan cukup lama. Ini menyebabkan hotel bintang akan menikmati okupansi yang lebih tinggi dibandingkan hotel bujet,” katanya.
Sementara itu, hotel bujet menghadapi tantangan untuk menghadirkan konsep yang bisa mengakomodasi kebutuhan konsumen untuk merasakan pengalaman lebih serta standar CHSE di masa normal baru. Meskipun demikian, di kawasan bisnis seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang, kebutuhan hotel bujet masih menjadi pilihan karena harga yang terjangkau.
”Di kawasan properti resor, hotel bujet akan mulai ditinggalkan, kecuali memiliki konsep yang bisa mengakomodasi kebutuhan experience, health, and safety yang dibutuhkan konsumen di masa normal baru,” kata Satria.
Satria menambahkan, pelaku hotel perlu bersiap menghadapi revenge tourism ketika semua pintu dibuka dan tidak ada halangan orang untuk bepergian. Ketika PPKM dilonggarkan pemerintah, tingkat kunjungan wisata meningkat signifikan. Di Bali, tingkat okupansi sudah mulai di atas 20 persen. Tren positif terjadi hampir di semua wilayah.
Meski demikian, rencana pemerintah membuka pintu bagi wisatawan asing di Bali mulai 14 Oktober 2021 dinilai belum akan otomatis mendorong tingkat kunjungan wisatawan mancanegara. Hal ini disebabkan setiap negara yang menjadi target wisatawan memiliki kebijakan tersendiri terkait kunjungan luar negeri.