Kehadiran negara sangat diperlukan untuk memupus kemiskinan ekstrem. Mampukah pemerintah Jokowi menyelesaikan kemiskinan ekstrem yang ditargetkan pada tahun 2024 ini? Banyak strategi disusun, tinggal eksekusinya saja.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Warga Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (7/9/2020), membangun drainase sebagai bagian program padat karya tunai desa (PKTD). Pembangunan dengan memanfaatkan dana desa tersebut diharapkan dapat mengungkit pertumbuhan ekonomi di desa selama masa pandemi ini.
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran negara sangat diperlukan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem yang diminta Presiden Joko Widodo untuk dipercepat pada tahun 2024. Padahal, sesuai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), menghilang kemiskinan ekstrem di Indonesia selambat-lambatnya baru dapat dilakukan hingga tahun 2030.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar dalam konferensi pers ”Memupus Kemiskinan Ekstrem dari Desa” secara virtual di Jakarta, Rabu (6/10/2021), mengatakan, untuk memupus kemiskinan ekstrem, hendaknya tidak sekadar menyamaratakan warga miskin ekstrem dan fokus pada pemberdayaan.
Jika dikategorikan, pertama-tama, ada warga miskin ekstrem di perdesaan yang memiliki hampir seluruh kompleksitas multidimensi kemiskinan. Ciri-cirinya antara lain mereka termasuk lanjut usia, tinggal sendirian, tidak bekerja, difabel, memiliki penyakit kronis atau menahun, rumah tidak layak huni, serta tidak memiliki fasilitas air bersih dan sanitasi yang memadai.
”Untuk kategori pertama, jangan bicara pemberdayaan. Negara wajib hadir sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat (1). Jelas sekali, ini perintah konstitusi untuk menangani secara serius. Enggak usah bicara pemberdayaan karena tidak mungkin lagi diberdayakan. Tinggal bagaimana mereka bisa hidup sehat, kebutuhan makanan sehari-hari tercukupi, dan kebahagiaan yang bisa dirasakan,” kata Halim.
Kategori kedua, lanjutnya, warga miskin ekstrem yang masih dimungkinkan dalam mengaktualisasi diri untuk bertahan hidup. Untuk kategori ini, usianya masih tergolong produktif, tidak memiliki penyakit menahun, dan bukan pula golongan difabel. Mereka masih mempunyai kemampuan untuk diberdayakan.
Kementerian Desa PDTT mendesain penanganan warga miskin ekstrem ke dalam tiga fase dengan beberapa tahapan.
Kementerian Desa PDTT mendesain penanganan warga miskin ekstrem ke dalam tiga fase dengan beberapa tahapan. Fase pertama berupa pemetaan awal, peta warga miskin ekstrem per kabupaten, dan penyusunan anggaran serta penentuan penanggungjawabnya.
Fase berikutnya adalah konsolidasi data dan lapangan. Tidak perlu berdebat tentang data Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, ataupun Kementerian Sosial. Yang terpenting, kata Halim, semua pihak berkonsolidasi terhadap sumber data primer yang berasal dari sukarelawan atau kelompok kerja desa. Konsolidasi ini ditindaklanjuti dengan rencana aksi.
Kemudian, fase ketiga berupa implementasi dengan melibatkan desa sebagai lokasi kegiatan, pemerintah daerah, kementerian/lembaga, dan mitra pembangunan. Yang tidak kalah penting, dalam implementasi dilakukan monitoring keberlanjutan. ”Jangan sampai ada warga miskin ekstrem yang belum tertangani,” ujarnya.
Pengukuran
Halim menjelaskan, ukuran nol penanganan warga miskin ekstrem yang diharapkan pemerintah merujuk pada pengukuran global Bank Dunia. Artinya, penghasilannya berada di bawah parity purchasing power (PPP) sebesar 1,99 dollar AS per kapita per hari. Dari komponen-kompen pengukurannya, warga miskin ekstrem itu memiliki penghasilan sekitar Rp 12.000 per kapita per hari. Nilai ini setara dengan penghasilan di bawah 80 persen garis kemiskinan perdesaan di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
Halim menambahkan, jika dihitung penanganan menggunakan level desa berbasis data mikro, akan ada beberapa fase. Fase pertama, tahun 2021 hingga pertengahan 2022, setidaknya harus bisa menyelesaikan kemiskinan ekstrem di 35 kabupaten/kota di NTT, Papua, Papua Barat, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Jumlah desa di provinsi itu mencapai 8.264 desa.
Dari komponen-kompen pengukurannya, warga miskin ekstrem itu memiliki penghasilan sekitar Rp 12.000 per kapita per hari. Nilai ini setara dengan penghasilan di bawah 80 persen garis kemiskinan perdesaan di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
Tangkapan wajah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar dalam telekonferensi pers, Rabu (8/7/2020). Abdul Halim memaparkan rencana pemerintah merevitalisasi badan usaha milik desa yang mati suri terdampak pandemi Covid-19.
Fase kedua, tahun 2022, penyelesaiannya diarahkan kepada warga miskin ekstrem di 138 kabupaten/kota atau 29.632 desa. Kemudian, tahun 2023, penyelesaian akan dilakukan di 261 kabupaten/kota atau setara 37.523 desa.
”Harapannya, tahun 2024 tinggal menyelesaikan residu-residu yang belum tertangani dengan bagus. Ini bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan pekerjaan mustahil target menuntaskan kemiskinan ekstrem sampai pada posisi nol persen,” ucap Halim.
Sekretaris Jenderal Forum Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Indonesia Rudy Suryanto mengatakan, masalah utama memupus warga miskin ekstrem terletak pada eksekusi di lapangan. Tanpa ada strategi (peta jalan), kepemimpinan yang kuat di tingkat lokal, dan dukungan sumber daya yang memadai, program-program yang dijalankan tidak akan memberikan hasil optimal.
”Sampai saat ini, total dana desa yang dialokasikan ke BUMDes masih di bawah 10 persen. Prioritas pembangunan tanpa diikuti prioritas dalam anggaran hanya akan menjadi rencana di atas kertas. Apabila mau serius meningkatkan peran BUMDes untuk menurunkan angka kemiskinan, perlu kebijakan alokasi dana BUMDes minimal 10 persen dari dana desa,” ujar Rudy.
Selain itu, dibutuhkan sertifikasi direktur BUMDes untuk memastikan kompetensi pengelolanya dan pendampingan khusus BUMDes dari unsur pentahelix (akademisi, bisnis, komunitas, fasilitator, dan media). Juga, dibutuhkan integrasi rantai pasok yang melibatkan Kementerian BUMN dan industri swasta nasional serta transformasi digital di BUMDes.
Rudy menuturkan, BUMDes juga perlu merevitalisasi model bisnis dengan fokus menyelesaikan masalah lokal. Artinya, mencari cara untuk mengubah masalah menjadi peluang usaha dengan pendekatan bisnis berbasis sosial. Hal ini akan meningkatkan kualitas hidup di desa dan menurunkan biaya hidup layak sehingga warga di desa cukup untuk menabung dan berinvestasi demi mengubah nasib.
Sangat disayangkan, kata Rudy, saat ini masih banyak dana desa yang digunakan untuk mengerjakan proyek-proyek infrastruktur desa. Akibatnya, masalah fundamental di desa belum terselesaikan.