WTO: Tahun Ini, Perdagangan Global Bisa Tumbuh 10,8 Persen
Pertumbuhan perdagangan dan ekonomi global masih dibayang-bayangi ketidaksetaraan akses vaksinasi. Tidak meratanya distribusi vaksin memunculkan dua jalur pemulihan, yaitu jalur pemulihan cepat dan lambat.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO memperkirakan perdagangan barang dunia bisa tumbuh 10,8 persen pada tahun ini. Namun, divergensi pertumbuhan perdagangan itu tidak akan merata antarnegara dan kawasan ekonomi lantaran masih ada disparitas vaksinasi.
Dalam laporan terbarunya yang dirilis pada 4 Oktober 2021 waktu setempat, WTO merevisi pertumbuhan volume perdagangan global yang dirilis Maret 2021. Tahun ini, volume perdagangan global yang semula diperkirakan tumbuh 8 persen bisa tumbuh 10,8 persen. Kemudian pada 2022, pertumbuhannya diproyeksikan akan kembali melambat menjadi 4,7 persen.
Tingkat pertumbuhan volume perdagangan pada tahun ini memang cukup tinggi. Hal itu merupakan cerminan dari kemerosotan volume perdagangan tahun lalu akibat imbas pandemi Covid-19. Pulihnya perekonomian sejumlah negara yang ditopang oleh vaksinasi menjadi faktor penentu semakin menggeliatnya perdagangan global.
Pertumbuhan volume perdagangan itu akan turut menopang pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi global pada 2021 dan 2022 diperkirakan tumbuh masing-maisng 5,3 persen dan 4,1 persen. Sebelumnya, WTO memperkirakan ekonomi global pada 2021 tumbuh 5,1 persen dan 2022 sebesar 3,9 persen.
Di balik tren peningkatan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi yang tengah menguat itu, terdapat perbedaan pertumbuhan yang signifikan antarnegara. Di sisi lain, pandemi Covid-19, terhambatnya rantai pasok sejumlah komoditas, kelangkaan kontainer di sejumlah negara, dan lonjakan biaya pengapalan masih mewarnai perdagangan global.
Di balik tren peningkatan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi yang tengah menguat itu, terdapat perbedaan pertumbuhan yang signifikan antarnegara.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, perdagangan menjadi alat penting memerangi pandemi, karena dapat menopang pemulihan ekonomi global. Namun, akses yang tidak adil terhadap vaksin memperburuk divergensi ekonomi di seluruh wilayah.
”Semakin lama ketidaksetaraan vaksin dibiarkan, semakin besar kemungkinan varian Covid-19 yang lebih berbahaya akan muncul. Hal ini bisa menghambat kemajuan kesehatan dan ekonomi yang telah bergulir hingga saat ini,” ujar Okonjo-Iweala dalam siaran pers.
Semakin lama ketidaksetaraan vaksin dibiarkan, semakin besar kemungkinan varian Covid-19 yang lebih berbahaya akan muncul. Hal ini bisa menghambat kemajuan kesehatan dan ekonomi yang telah bergulir hingga saat ini.
Oleh karena itu, Okonjo-Iweala mengajak negara-negara anggota WTO agar memiliki komitmen kuat untuk mengatasi pandemi Covid-19 bersama-sama. Komitmen bersama ini penting lantaran akan memberikan landasan bagi percepatan produksi vaksin dan distribusi yang adi. Kebijakan vaksin ini juga merupakan kebijakan ekonomi dan perdagangan.
Dua jalur pemulihan
Dalam laporannya tersebut, WTO juga menyebutkan, skenario pertumbuhan perdagangan global itu bergantung pada sejumlah asumsi, terutama percepatan produksi dan diseminasi vaksin Covid-19. WTO mengapresiasi upaya berbagai pemangku kepentingan global yang telah memproduksi dan mendistribusikan 6 miliar dosis vaksin Covid-19 di seluruh dunia.
Di sisi lain, WTO menilai upaya tersebut belum cukup lantaran masih ada perbedaan akses vaksinasi yang tajam antarnegara. Hingga kini, hanya 2,2 persen orang di negara berpenghasilan rendah yang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid-19.
WTO menyebutkan, tidak meratanya distribusi vaksin ini memunculkan dua jalur pemulihan ekonomi, yaitu jalur pemulihat cepat dan lambat. Jalur pemulihan cepat dialami oleh negara-negara maju dan sebagian negara berkembang yang mampu memproduksi dan mengakses vaksin dalam jumlah besar.
Adapun pemulihan jalur lambat dialami negara-negara yang memiliki ruang fiskal yang sempit sehingga menyebabkan akses terhadap vaksin menjadi terbatas. Perbedaan ini menciptakan ruang bagi kemunculan dan penyebaran bentuk virus baru sehingga berpotensi memperketat kembali pergerakan aktivitas ekonomi.
Tidak meratanya distribusi vaksin ini memunculkan dua jalur pemulihan ekonomi, yaitu jalur pemulihat cepat dan lambat.
Manufaktur China melambat
Dalam laporan mingguannya, Moody’s Analytics menyebutkan, kinerja industri manufaktur China kembali melambat pada September 2021. Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur China turun dari 50,1 pada Agustus 2021 menjadi 49,6 pada September 2021. PMI Manufaktur yang berada di bawah angka ambang batas 50 ini menunjukkan ekonomi sebuah negara berada dalam zona kontraksi.
Hal ini terjadi karena Pemerintah China tengah menutup aktivitas ekonomi sejumlah wilayah untuk mengendalikan virus korona baru varian Delta. Selain itu, China juga tengah menghadapi ketidakpastian suplai sumber energi seiring dengan komitmen negara tersebut mengurangi emisi karbon secara bertahap.
Sejumlah provinsi di China telah mengimplementasikan kebijakan itu dengan mengurangi suplai energi yang bersumber dari bahan bakar fosil dan mengurangi tingkat rasio kelistrikan. Kenaikan harga komoditas global, terutama batubara dan bahan-bahan baku mentah, juga merimbas pada peningkatan biaya produksi industri manufaktur.
Selama musim dingin nanti, permintaan energi di sektor perumahan akan melonjak. Hal ini bisa berimbas pada pembatasan penggunaan listrik di sektor industri sehingga berpotensi mengganggu produksi domestik China.
”China saat ini tengah menghadapi ketidakpastian permintaan lantaran ada hambatan suplai. Kondisi ini bisa menimbulkan riak bagi perdagangan dan harga komoditas global,” kata Shahana Mukherjee, ekonom Moody’s Analytics melalui keterangan pers.