Tingginya ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dinilai menjadi salah satu penyebab masih seretnya penyaluran kredit perbankan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Kode pembayaran digital yang dipakai sebagian peserta pameran produk UMKM di Mal Paragon, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (29/4/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dinilai menjadi salah satu penyebab masih seretnya penyaluran kredit perbankan. Padahal penyaluran kredit diperlukan sebagai stimulus pemulihan ekonomi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit bank per akhir Agustus 2021 tumbuh hanya 1,16 persen secara tahunan. Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) perbankan dalam kondisi berlebih dan sangat siap disalurkan sebagai kredit. Per akhir Agustus 2021, DPK perbankan tumbuh 8,81 persen secara tahunan.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menjelaskan, kondisi ini menunjukkan penawaran perbankan akan kredit dalam kondisi sangat siap. Namun, di sisi lain permintaan akan kredit belum bertumbuh secepat penawarannya.
”Ketersediaan dana perbankan untuk disalurkan sebagai kredit sangat melimpah. Namun, saat ini kondisi penawaran tidak seimbang dengan permintaannya,” ujarnya, Minggu (3/11/2021).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Teller Bank Syariah Indonesia melayani nasabah di Kantor Cabang Hasanudin, Blok M, Jakarta, Senin (1/2/2021).
Ia menjelaskan, salah satu penyebab masih seretnya penyaluran kredit adalah ketidakpastian yang masih senantiasa membayangi kegiatan ekonomi. Setelah pada awal tahun jumlah kasus Covid-19 mulai terkendali, pada pertengahan tahun hadirnya varian baru virus korona membuat jumlah kasus melonjak sehingga membuat pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan sosial.
Ketidakpastian ini membuat dunia usaha pun memilih menunggu dan melihat situasi ketimbang berekspansi menambah permodalan dengan mengambil kredit perbankan. Tak hanya dunia usaha, nasabah perseorangan pun ikut menahan diri untuk mengambil kredit sebab meminjam di perbankan tentu memerlukan perhitungan yang tepat agar kelak bisa melunasinya.
”Ketidakpastian ini yang membuat penyaluran kredit perbankan ini masih seret,” ujar Riefky.
Ia pun mengapresiasi langkah Bank Indonesia (BI) yang menetapkan rezim tingkat suku bunga acuan yang rendah, yakni 3,5 persen sejak Februari 2021. BI juga berulang kali mengimbau perbankan agar bersikap transparan dalam menyampaikan besar suku bunga dasar kredit (SBDK). Hasilnya SBDK pun terus turun menjadi 8,81 persen pada Juli 2021.
Meski demikian, hal itu tidak serta-merta bisa langsung meningkatkan penyaluran kredit sebab sektor finansial akan mengikuti pertumbuhan sektor riil. ”Apabila sektor riil sudah kembali menggeliat, permintaan akan kredit juga akan kembali bertumbuh,” ujar Riefky.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, salah satu penyebab masih rendahnya permintaan kredit dari dunia usaha dikarenakan masih belum pulihnya daya beli masyarakat. Dunia usaha pun mengurungkan berekspansi mengambil kredit perbankan dan lebih memilih melihat kondisi ke depan.
Ia mengatakan, lagi-lagi upaya pengendalian kasus Covid-19 menjadi kunci untuk pemulihan ekonomi.
Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, indikator-indikator sektor riil terpantau mulai menunjukkan indikasi perbaikan seiring melandainya kasus baru Covid-19 dan menurunnya positivity rate di tengah akselerasi program vaksinasi dan penegakan protokol kesehatan.
Sementara itu, sektor eksternal masih melanjutkan kinerja yang solid pada Agustus 2021 sehingga mendorong perbaikan keseimbangan eksternal dan peningkatan cadangan devisa.