Penurunan indeks harga atau deflasi pada September 2021 dinilai mengindikasikan masih lemahnya permintaan dan daya beli masyarakat. Pelonggaran kegiatan masyarakat belum berdampak signifikan pada konsumsi bulan lalu.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat penurunan indeks harga konsumen atau deflasi sebesar 0,04 persen pada September 2021 dibandingkan bulan sebelumnya. Deflasi dan tingkat inflasi umum tahunan pada September 2021 yang masih stagnan dinilai menunjukkan belum pulihnya daya beli masyarakat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada penurunan harga pada beberapa indeks kelompok pengeluaran, yakni kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang turun 0,47 persen, serta kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,01 persen. Deflasi bulanan kali ini merupakan yang kedua tahun ini setelah pada Juni yang mengalami deflasi 0,16 persen.
”Berdasarkan hasil pemantauan BPS di 90 kota pada bulan September 2021, terjadi deflasi 0,04 persen atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,57 pada Agustus 2021 menjadi 106,53 pada September 2021,” ujar Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers virtual, Jumat (1/10/2021).
Pencatatan tingkat inflasi didasarkan pada data yang diambil BPS di 90 kota di seluruh Indonesia. Dari hasil survei tersebut, 56 kota mencatat deflasi, sementara 34 kota lainnya mengalami inflasi.
Ia menjelaskan, pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, deflasi dipicu oleh turunnya harga telur ayam ras, cabai rawit, dan bawang merah. Telur ayam memberikan andil deflasi hingga 0,07 persen, cabai rawit 0,03 persen, dan bawang merah 0,03 persen.
Sementara apabila dilihat dari tahun kalender, yakni sepanjang Januari-September, tingkat inflasi sebesar 0,8 persen. Adapun tingkat inflasi umum secara tahunan (September 2021 terhadap September 2020) sebesar 1,6 persen.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky menjelaskan, deflasi pada September mengindikasikan daya beli masyarakat belum pulih. Hal ini menyebabkan pelaku usaha tidak mengerek harga jual barangnya karena tingkat konsumsi dan daya beli masyarakat yang belum membaik. ”Daya beli masyarakat kita masih jauh dari normal. Permintaan konsumsi dari masyarakat belum pulih,” ujar Riefky.
Meski secara bulanan terjadi deflasi, jika dilihat secara tahunan, tingkat inflasi pada September yang mencapai 1,6 persen sebetulnya adalah yang tertinggi sejak Mei yang tercatat 1,68 persen. Namun, stagnannya tingkat inflasi itu kembali menegaskan bahwa daya beli masyarakat belum kembali pulih seperti sebelum pandemi. Tingkat inflasi saat ini masih di bawah target perkiraan Bank Indonesia dengan kisaran 2-4 persen secara tahunan.
Senada dengan Riefky, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, sejumlah data itu mengindikasikan daya beli masyarakat belum pulih. Salah satu pemicu tidak langsungnya adalah lonjakan kasus Covid-19 yang membuat pemerintah melakukan pengetatan kegiatan masyarakat.
”Meski September sudah berangsur ada pelonggaran aktivitas masyarakat, daya beli masyarakat belum serta-merta ikut kembali membaik.,” ujar Josua.
Meski demikian, dia optimistis triwulan keempat tahun ini ada perbaikan ekonomi. Ini didasarkan indeks pengadaan manajer persediaan (purchasing managers index/PMI) Indonesia pada September berada pada level 52,2. Apabila indeks ini di atas level 50, menunjukkan zona ekspansif. Namun, jika di bawah level 50, menunjukkan pelambatan.
Selain itu, pada kuartal keempat secara historis belanja pemerintah akan dipercepat. Hal ini sedikit banyak akan membantu mendongkrak konsumsi masyarakat. ”Kami memprediksikan sampai akhir tahun tingkat inflasi akan berkisar 1,5-1,8 persen,” ujar Josua.
Pada saat yang sama, BPS juga merilis data nilai tukar petani (NTP) nasional yang pada September berada pada level 105,68 atau naik 0,96 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
”Kenaikan NTP dikarenakan indeks harga yang diterima petani (It) naik 0,91 persen, sedangkan indeks harga yang dibayar petani (Ib) turun 0,05 persen. Komoditas jagung, beras, dan ketela rambat jadi kontributor kenaikan NTP,” ujar Margo.
Secara nasional, NTP Januari-September 2021 sebesar 103,71 dengan nilai It sebesar 111,73 dan Ib sebesar 107,73.
NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) produk pertanian dengan barang dan jasa, baik yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
Secara terpisah, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri berharap segenap aspek pemerintahan pusat dan daerah menjaga momentum pertumbuhan NTP melalui dukungan terhadap para petani yang sedang berproduksi. Sebab, menurut dia, hanya dengan cara itu sektor pertanian tetap tumbuh dan tangguh.
”Sektor pertanian sangat berkaitan dengan kesejahteraan dan angka kemiskinan. Tentu kami mengajak semua komponen bangsa menjaga harga dan momentum baik ini agar tetap berlanjut dan berdampak besar pada kesejahteraan petani,” ujar Kuntoro.