Perusahaan masih perlu banyak melakukan perubahan. Masalah-masalah yang tersembunyi perlu diangkat dan dicarikan jalan keluar, salah satunya terkait isu rasisme.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Dolce & Gabbana berusaha keras untuk memperbaiki citra jenama ini di China. Sebuah iklan yang berbau rasisme pada tahun 2018 ternyata masih mengecewakan masyarakat China hingga sekarang. Seorang model yang mengenakan produk mereka ikut dikecam publik. Perusahaan mode itu terus berjuang. Pada sebuah peragaan busana beberapa waktu lalu di Venice, mereka kembali ingin meminta maaf kepada publik.
Isu rasisme kini mudah sekali muncul di banyak perusahaan global. Bias karena suku, ras, dan agama kian menjadi isu sensitif di perusahaan. Semula masalah ini dianggap enteng dan cenderung didiamkan. Kini perusahaan mulai menangani masalah ini. Gerakan Black Lives Matter makin mendorong sejumlah perusahaan melakukan perubahan. Di dunia televisi, kita bisa melihat para penyiar kini memiliki beragam latar belakang.
Kita kemudian ingin mencari lebih dalam akar dari bias itu di dalam perusahaan. Masalah ini bukanlah masalah yang tiba-tiba muncul begitu saja. Berbicara masalah ini, seorang psikolog sosial bernama Robert Livingston di dalam sebuah artikel di Harvard Business Review berusaha mencari akar penyebab rasisme di perusahaan atau di organisasi.
Menurut dia, rasisme dapat memiliki banyak sumber psikologis seperti bias kognitif, karakteristik pribadi, pandangan dunia ideologis, ketidakamanan psikologis, ancaman yang dirasakan, atau kebutuhan akan kekuatan dan peningkatan ego.
Meski demikian, dia menambahkan, kebanyakan rasisme adalah hasil dari faktor struktural, yaitu hukum yang mapan, praktik kelembagaan, dan norma budaya. Banyak dari penyebab ini tidak melibatkan niat jahat. Namun, para manajer sering kali salah melihat diskriminasi di tempat kerja sebagai karakter setiap pekerja daripada keberadaan faktor struktural yang lebih luas. Akibatnya, mereka cenderung lebih mudah untuk menyalahkan individu ketika masalah muncul daripada persoalan struktural.
Para manajer sering kali salah melihat diskriminasi di tempat kerja sebagai karakter setiap pekerja daripada keberadaan faktor struktural yang lebih luas. Akibatnya, mereka cenderung lebih mudah untuk menyalahkan individu ketika masalah muncul daripada persoalan struktural.
Livingston kemudian menulis buku dengan judul The Conversation: How Talking Honestly About Racism Can Transform Individuals and Organizations yang tahun ini menjadi nomine Business Book of The Year 2021. Buku ini mencoba memberi peta jalan yang berorientasi solusi bagi siapa saja yang ingin mencabut bias yang mengakar di tempat kerja.
Ia tidak memberi cara yang rumit untuk memulai mencabut bias itu. Ia menjadikan pekerjaan dan hidupnya untuk menunjukkan kepada orang-orang bagaimana mengubah percakapan sulit tentang ras menjadi contoh produktif dan membuat perubahan nyata.
Didasarkan pada data ekstensif dan memadukan psikologi, sosiologi, manajemen, dan ekonomi perilaku, kerangka kerja Livingston mengungkapkan bahwa rasisme dapat dikalahkan dengan informasi, insentif, strategi, dan implementasi yang tepat.
Lebih lanjut ia menganjurkan agar perusahaan dan karyawannya mencari cara untuk menumbuhkan empati dan solidaritas yang lebih besar sehingga mereka maju bersama menuju kesetaraan. Langkah ini adalah langkah penting untuk mengubah tempat kerja agar makin inklusif. Komposisi kepemimpinan perusahaan atau identifikasi kandidat yang cocok dengan organisasi akan makin mempertimbangkan keberagaman.
Pelajaran dari kasus rasisme di perusahaan dan upaya yang disarankan oleh Livingston adalah bahwa perusahaan masih perlu banyak melakukan perubahan. Masalah-masalah yang tersembunyi perlu diangkat dan dicarikan jalan keluar. Banyak duri yang sudah tertanam lama di perusahaan, tetapi tidak segera dicabut.
Perusahaan masih perlu banyak melakukan perubahan. Masalah-masalah yang tersembunyi perlu diangkat dan dicarikan jalan keluar. Banyak duri yang sudah tertanam lama di perusahaan, tetapi tidak segera dicabut.
Keuntungan dari perusahaan yang membuat perubahan karena masalah-masalah yang tersembunyi adalah mereka bisa membuat perubahan yang lebih besar lagi. Visi dan misi perusahaan akan makin jernih dan bisa dirasakan oleh setiap karyawan.
Lebih dari itu, apa yang dilakukan korporasi bisa menjadi contoh bagi organisasi yang lebih besar seperti komunitas, pemerintah, dan juga bangsa dalam memperbaiki masalah yang ada. Perusahaan sangat mungkin menjadi agen perubahan atau menjadi contoh bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan besar. Perpecahan politik karena beda pilihan di negeri ini misalnya, sebenarnya tidak perlu menunggu langkah dari pemerintah.
Perubahan bisa dilakukan dengan cara mengubah percakapan sensitif menjadi percakapan yang jujur.
Korporasi bisa memulai dari internal mereka. Mereka tentu lebih nyaman karena berada di tempat yang lebih dekat. Seperti yang disarankan oleh Livingston, perubahan bisa dilakukan dengan cara mengubah percakapan sensitif menjadi percakapan yang jujur. Buku Livingston memperlihatkan masalah sensitif dan mungkin tabu bisa diselesaikan.
Kondisi di Indonesia sangat mungkin menyebabkan sedikit pemimpin yang mau mengambil langkah ini. Mereka takut terperosok ke masalah yang berada di luar urusan mereka. Mereka juga mungkin tidak perlu ambil pusing dengan urusan itu karena yang penting laporan keuangan mereka baik-baik saja, membayar pajak, dan taat hukum. Melaksanakan tugas dengan baik mungkin sudah dianggap cukup sebagai pemimpin perusahaan. Apakah demikian?
Livingston berpesan, pemimpin perusahaan mungkin tidak dapat mengubah dunia, tetapi mereka pasti dapat mengubah dunia mereka. Mereka berada di sebuah organisasi relatif kecil dan entitas otonom yang memberi pemimpin tingkat kendali yang tinggi atas norma budaya dan aturan prosedural. Ini menjadikan mereka bisa mengubah perusahaan menjadi tempat ideal untuk mengembangkan kebijakan dan praktik yang mempromosikan kesetaraan ras, agama, dan pilihan politik.