MK ”Tolak” Dana Pensiun Dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan
MK mendukung prinsip gotong royong mencapai kesejahteraan masyarakat, seperti yang diterapkan pada BPJS Ketenagakerjaan. Namun MK menilai tidak tepat jika gotong royong itu membagi tabungan yang dipersiapkan PNS.
Oleh
SUSANA RITA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyatakan, untuk memenuhi prinsip kegotongroyongan dalam pengelolaan sistem jaminan sosial nasional, pemerintah dan DPR tidak perlu menyatukan semua persero penyelenggara jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan ke dalam satu badan. Prinsip kegotongroyongan dapat tetap terpenuhi baik meskipun persero pengelola jaminan sosial, seperti PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero), tetap eksis dan melaksanakan fungsinya.
MK menilai, pengalihan PT Taspen dan PT Asabri ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan telah menimbulkan ketidakpastian sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Ketidakpastian itu muncul akibat tidak konsistennya pilihan desain kelembagaan yang diambil dan juga ketidakpastian nasib peserta yang ada di dalamnya.
Dalam putusan yang dibacakan Kamis (30/9/2021), MK menyatakan, ketentuan norma Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat menurut hukum. Pasal tersebut mengatur pengalihan program pada PT Taspen dan PT Asabri dan program pembayaran pensiun ke BPJS ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
MK menyatakan, ketentuan norma Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat menurut hukum.
MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh 18 pensiunan PNS dan PNS aktif terkait PT Taspen dan empat purnawirawan TNI yang mendalilkan adanya kerugian konstitusional akibat pengalihan kepesertaan program pensiun tersebut. Putusan dibacakan dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dalam permohonannya, ke-18 pensiunan PNS dan PNS aktif tersebut menguraikan kerugian konstitusional akibat pemberlakuan kedua ketentuan tersebut. Salah satu pemohon, misalnya, Mohammad Saleh, yang merupakan pensiunan PNS, menjadi peserta Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun yang diselenggarakan oleh PT Taspen (Persero). Selama ini, Mohammad Soleh dkk telah menikmati pelayanan prima dan keuntungan yang diberikan oleh PT Taspen dalam bentuk proses penyelesaian pembayaran klaim yang selesai paling lambat satu jam dan layanan klaim otomatis untuk menerima pensiun melalui transfer bank tanpa harus datang ke kantor PT Taspen (Persero).
Namun, setelah PT Taspen (Persero) dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan, hak keuangan para pensiunan tersebut berkurang. Saleh yang telah membayar iuran kepada PT Taspen (Persero) setidak-tidaknya 30 tahun sampai akhirnya pensiun pada 2016, misalnya, mendapatkan manfaat pensiun PNS senilai Rp 4,027 juta per bulan. Namun, jika Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun PT Taspen (Persero) dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan, maka penerimaan manfaat pensiun PNS Saleh menjadi berkurang karena hanya akan menerima Rp 1,445 juta. Atau mengalami penurunan manfaat senilai Rp 2,581 juta.
Kerugian serupa juga dialami oleh 17 pemohon lainnya. Penerimaan manfaat dari program atau kepesertaan program di PT Taspen menjadi berkurang jika dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
Ahli yang diajukan dalam persidangan, Wawan Hafid Syaifuddin, sempat membuat perbandingan kerugian/potensi kerugian konstitusional yang akan dialami peserta program PT Taspen. Misalnya, dalam program dana pensiun, apabila pengelolanya BPJS Ketenagakerjaan (berdasarkan PP No 45/2015), setelah melalui perhitungan tertentu, peserta akan memeroleh manfaat minimal Rp 300.000 dan maksimal Rp 3,6 juta. Sementara jika dikelola PT Taspen, peserta akan menerima manfaat pensiun 2,5 persen masa kerja dikali penghasilan terakhir, dengan nilai minimum 40 persen penghasilan terakhir dan maksimum 75 persen penghasilan terakhir.
Jika dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, peserta tidak akan menerima tunjangan. Namun, jika dikelola PT Taspen (Persero) mengacu pada UU No 11/1969 maka peserta tetap akan menerima tunjangan istri (10 persen dari pensiun pokok), tunjangan anak 2 persen (pensiun pokok) dan tunjangan beras.
Dalam pertimbangannya, MK mengungkap tentang penerapan prinsip gotong royong dengan mengalihkan program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun ASN yang selama ini diselenggarakan oleh PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan. Dana tersebut selanjutnya dikelola BPJS Ketenagakerjaan dengan prinsip kegotongroyongan.
Program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun PNS merupakan akumulasi dari iuran ASN selama masa kerjanya (senilai 8 persen dari penghasilan bulanan) ditambah dengan iuran pemerintah, untuk kemudian dinikmati pada masa pensiun. Oleh karena itu, tidak adil jika pensiunan PNS yang selalu mengiur tiap bulan dengan harapan dapat menikmati tabungan yang sudah dikumpulkan pada masa tuanya itu nantinya harus berbagi kepada orang lain atas nama kegotongroyongan.
”Meskipun Mahkamah sangat mendukung prinsip kegotongroyongan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, dalam konteks program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun, tidak tepat bilamana prinsip kegotongroyongan yang dilakukan dengan cara membagi tabungan yang telah dipersiapkan PNS untuk masa tuanya,” kata hakim konstitusi Saldi Isra.
Tidak adil jika pensiunan PNS yang selalu mengiur tiap bulan dengan harapan dapat menikmati tabungan yang sudah dikumpulkan pada masa tuanya itu nantinya harus berbagi kepada orang lain atas nama kegotongroyongan.
Terkait penggabungan semua persero penyelenggara jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan sebagai upaya memenuhi prinsip kegotongroyongan, MK menilai desain kelembagaan tidak selalu berkaitan dengan prinsip tersebut. Prinsip kegotongroyongan dapat saja tidak terlaksana meski desain kelembagaannya adalah kelembagaan tunggal. Begitu pula sebaliknya, prinsip tersebut juga sangat mungkin dipenuhi jika pilihannya adalah kelembagaan majemuk. Pelaksanaan prinsip kegotongroyongan sangat bergantung pada desain sistem jaminan sosial nasional.
”Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengatur badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial terkoneksi secara baik sehingga prinsip gotong royong tetap bisa dilaksanakan. Misalnya, undang-undang dapat mengatur bagi badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial yang dalam pengelolaan aset memiliki keuntungan, dapat saja diwajibkan untuk menyumbang sejumlah tertentu kepada badan pelaksana lainnya. Atau, oleh karena pengelolaan badan yang melaksanakan jaminan sosial berada di bawah BUMN, deviden yang diserahkan pada negara setiap tahunnya dapat diserahkan kepada badan pengelola jaminan sosial lainnya,” ujar Saldi.
Oleh karena itu, pembentuk undang-undang sesungguhnya tidak harus menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan ditransformasi menjadi satu badan untuk dapat memenuhi prinsip kegotongroyongan.
”Oleh karena itu, desain transformasi badan penyelenggara jaminan sosial ke dalam BPJS Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian baik karena tidak konsistennya pilihan desain kelembagaan yang diambil ataupun karena tidak adanya kepastian terkait nasib peserta yang ada di dalamnya, khususnya skema yang seharusnya mencerminkan adanya jaminan dan potensi terkuranginya nilai manfaat bagi para pesertanya,” kata Saldi.