Garam lokal Bali tidak dapat diserap pasar ritel modern dan swalayan karena terganjal syarat SNI. Garam lokal yang dihasilkan melalui proses tradisional dikenal bermutu, bercita rasa gurih, tidak pahit, dan bermineral.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
BULELENG, KOMPAS — Meski sudah dikenal bermutu, memiliki rasa gurih, dan diakui mengandung mineral yang cukup, garam Bali tidak dapat diserap dan dipasarkan di pasar ritel modern dan swalayan. Garam yang diproduksi petani garam dengan cara tradisional belum memiliki label Standar Nasional Indonesia atau SNI.
Kendala persyaratan edar untuk garam lokal Bali diakui Gubernur Bali Wayan Koster menghambat pendistribusian dan pemasaran produk lokal di pasar ritel modern ataupun dipasarkan ke daerah lain. Di sisi lain, Koster menyebutkan, pasar di Bali juga dibanjiri produk garam impor yang banyak dijual di toko modern, swalayan, hingga pasar rakyat.
”Produk garam tradisional lokal Bali merupakan produk berbasis ekosistem alam Bali dan pengetahuan warisan leluhur sebagai budaya kreatif krama (warga) pesisir Bali yang wajib dilindungi, dilestarikan, dan diberdayakan serta dimanfaatkan,” kata Koster di Buleleng, Selasa (28/9/2021), serangkaian dengan acara pencanangan pemberlakuan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali.
Diikuti secara dalam jaringan (daring), acara pencanangan pemberlakuan SE Gubernur Bali tentang pemanfaatan produk garam tradisional lokal Bali yang dipusatkan di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, juga dihadiri sejumlah pejabat, baik dari Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Buleleng, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM) di Denpasar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara, serta PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali.
Kalau mengikuti anjuran pemerintah agar kandungan yodium ditambah, kami keberatan.
Garam lokal Bali, yang dikenal sebagai garam palung, mengandung sejumlah mineral, antara lain yodium, magnesium, kalsium, dan potasium. Adapun kadar yodium secara alami pada garam lokal yang diproduksi petani di Bali diakui di bawah standar kandungan yodium pada garam konsumsi.
Namun, di sisi lain, garam lokal Bali juga diakui memiliki cita rasa gurih, kering, dan tidak terlalu pahit. Produsen garam piramid, yang juga mewakili kelompok usaha garam Tejakula, Made Widnyana, mengungkapkan, cita rasa garam Bali berkarakter sesuai wilayah produksinya. Adapun proses pembuatan garam secara tradisional dengan memakai palungan, yaitu batang kelapa atau palem, mengurangi rasa pahit saat proses pengkristalan garam.
Kandungan garam
Widnyana menambahkan, garam Tejakula pernah diuji di BPOM dan hasil ujinya mengindikasikan garam Tejakula lebih tinggi kadar kalsiumnya dibandingkan garam himalaya. Akan tetapi, kadar yodium pada garam lokal produksi Tejakula mencapai 20 parts per million (ppm) atau lebih rendah dibandingkan garam dapur beryodium yang dijual di pasar yang berkisar mulai 30 ppm.
”Kalau mengikuti anjuran pemerintah agar kandungan yodium ditambah, kami keberatan. Penambahan yodium menghilangkan karakteristik garam tradisional yang sudah dikenal konsumen,” kata Widnyana dalam acara itu.
Pembuatan garam lokal beryodium diproduksi di Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung. Akan tetapi, pemasaran garam lokal beryodium itu juga terkendala, salah satunya, karena garam lokal beryodium belum mendapatkan label SNI.
Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali I Nengah Suanda mengatakan, garam lokal Bali, atau lebih dikenal sebagai sea salt Bali, dikenal konsumen di luar negeri selain memiliki pembeli dari kalangan hotel dan restoran di Jakarta dan Bali serta masyarakat setempat.
Akan tetapi, menurut Suanda, garam lokal Bali tidak dapat diserap pasar ritel modern atau swalayan seperti halnya garam konsumsi beryodium. Hal itu karena garam lokal belum berlabel SNI akibat kadar yodium pada garam lokal di bawah standar yang ditetapkan pemerintah, yakni sekitar 40 ppm.
”Garam Indikasi Geografis Amed sudah mendapat rekomendasi dari BPOM, tetapi belum bisa memperoleh nomor merek dagang karena nomor merek dagang diwajibkan berlabel SNI,” kata Suanda, yang dihubungi Kompas, Selasa.
Dengan dicanangkannya pemberlakuan SE Gubernur Bali Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali, menurut Koster, pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan terkait pemberdayaan dan penguatan potensi ekonomi lokal.
Untuk itu, BPOM dan pengusaha ritel diharapkan berpihak dan berkomitmen memberdayakan sumber daya lokal dan memanfaatkan produk lokal, termasuk garam Bali, sebagai pengembangan perekonomian Bali. Komitmen itu bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan krama (masyarakat) Bali.
Koster menyatakan, penggunaan garam lokal Bali juga berdampak pada upaya pelindungan lahan di Bali. Memanfaatkan garam lokal akan menjaga produktivitas sentra garam tradisional sehingga akan melindungi keberadaan lahan produksi garam dari ancaman penggusuran ataupun alih fungsi lahan.