Imbas Krisis Evergrande terhadap Ekonomi Indonesia Diperkirakan Minim
Tekanan yang membelit konglomerasi Evergrande tidak akan menciptakan krisis yang berdampak secara global bila otoritas ekonomi China menjalankan kebijakan untuk menahan dampak sistemik dari potensi kolapsnya perusahaan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas ekonomi China dinilai memiliki perangkat memadai untuk mengatasi permasalahan potensi gagal bayar utang yang menimpa raksasa properti asal China, Evergrande. Maka itu, dampaknya terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan akan minim.
Kepala Ekonom Bank Dunia Kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo percaya Pemerintah China punya kebijakan yang memadai untuk mencegah krisis tersebut menjadi sistemik.
”China adalah negara besar. Banyak perusahaan besar di sana yang pasti punya permasalahan bisnis. Perlu diingat bahwa negara ini punya likuiditas yang mumpuni untuk menangani krisis agar tidak merembet ke banyak sektor lain,” ujarnya secara virtual, Selasa (28/9/2021) waktu Jakarta.
China adalah negara besar. Banyak perusahaan besar di sana yang pasti punya permasalahan bisnis. Perlu diingat bahwa negara ini punya likuiditas yang mumpuni untuk menangani krisis agar tidak merembet ke banyak sektor lain.
Diberitakan sebelumnya, krisis likuiditas Evergrande yang berpotensi mengakibatkan gagal bayar utang senilai 305 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 4.355 triliun dikhawatirkan berdampak pada terganggunya kinerja ekspor para negara mitra dagang China, termasuk Indonesia.
Regulator China pun sudah memperingatkan grup konglomerasi Evergrande bahwa kewajiban utang yang jumlahnya lebih besar dari cadangan devisa Indonesia per Agustus 2021 (144,8 miliar dollar AS) tersebut dapat memicu risiko yang lebih luas atas sistem keuangan di China jika tidak tertangani dengan baik.
Mattoo menilai, tekanan yang membelit konglomerasi Evergrande tidak akan menyeret China hingga terjatuh. Otoritas ekonomi China menunjukkan kesiapan untuk menahan dampak dari potensi kolaps Evergrande lewat kemampuan bank sentral untuk memompa likuiditas jangka pendek yang cukup ke pasar.
”Kami mengikuti perkembangan di China dan percaya bahwa negara ini punya alat dan ruang kebijakan untuk mencegah ini berubah menjadi krisis sistemik yang berdampak pada negara-negara mitra dagang China,” ujar Mattoo.
Sebagai informasi, Pemerintah China selama ini tidak segan-segan mengambil alih perusahaan dari sektor swasta jika diperlukan. Hal itu pernah dilakukan atas Baoshang Bank Co pada tahun 2019 dan HNA Group Co setahun setelahnya. Restrukturisasi melalui putusan pengadilan juga menjadi lebih umum dalam beberapa tahun terakhir dengan lebih dari 700 kasus diselesaikan pada 2020.
Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat mengatakan, potensi gagal bayar Evergrande hanya akan berdampak minim terhadap ekonomi Indonesia dan tidak akan sistemik seperti krisis 2008.
”Sejauh ini regulator dan pelaku pasar nasional masih optimistis menyikapi isu gagal bayar Evergrande. Jika pun memang terjadi gagal bayar, dampaknya pun diperkirakan tidak akan separah krisis yang disebabkan kredit macet fasilitas kredit perumahan AS di tahun 2008,” ujarnya.
Ia mengatakan, terdapat dua poin penting yang membedakan kedua kondisi tersebut. Pertama, permasalahan gagal bayar Evergrande ini telah diketahui dan dapat diperkirakan sejak lama oleh pasar. Adapun kedua, Pemerintah China melalui beberapa kesempatan dikabarkan akan turun tangan dalam melakukan restrukturisasi utang Evergrande dan likuidasi sejumlah aset potensial.
Hal lain yang membuat isu gagal bayar Evergrande ini ditanggapi optimis adalah Evergrande melalui keterbukaan informasi ke otoritas bursa China menyatakan akan tetap membayar bunga salah satu obligasi berdenominasi yuan yang jatuh tempo pada 23 September 2021 sebesar 232 juta yuan.
Di sisi lain, Evergrande masih memiliki cadangan lahan dan properti (land and property inventory) yang nilainya cukup untuk membayar utang jatuh tempo. Hal ini berbeda dengan kejadian 2008 lalu saat perusahaan yang berpotensi gagal bayar hanya memiliki paper assets berupa derivatif.
”Dalam jangka pendek, kami masih optimistis potensi gagal bayar Evergrande ini hanya akan berdampak minim terhadap perekonomian Indonesia dan tidak akan menjadi sistemik seperti krisis 2008,” ujarnya.
Dari sisi pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menyampaikan bahwa kasus gagal bayar Evergrande perlu diwaspadai karena dapat berdampak terhadap perekonomian global. Besarnya skala bisnis Evergrande di China jelas punya potensi terhadap perekonomian negara itu dan pada ekonomi global.
Pemerintah terus memantau perkembangan ekonomi China dan AS, yang berpotensi memiliki dampak spill over ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Dampak dari ekonomi China perlu diwaspadai karena berpengaruh banyak terhadap kinerja ekspor Indonesia.
”Situasi ekonomi China harus kita pelajari dan waspadai. Karena, bagaimanapun ekspor, terutama komoditas, sangat dipengaruhi pemulihan ekonomi global, terutama yang ditopang oleh pemulihan ekonomi China, Eropa dan AS,” ujarnya.