Kolaborasi Diperlukan untuk Melepas Ketergantungan Impor
Perubahan ekonomi global mendorong pentingnya kolaborasi antara pengusaha besar dan pelaku usaha kecil menengah. Lepaskan ketergantungan impor, seperti produk kesehatan dan alat pertanian, dan bangun kemandirian.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan ekonomi global mendorong pentingnya kolaborasi antara pengusaha besar dan pelaku usaha kecil menengah. Kolaborasi sejumlah pihak sangat diperlukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor, seperti produk kesehatan, alat pertanian, permesinan, dan perkapalan.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam kunjungan kerja ke Material Center milik Koperasi Tegal Manufaktur Indonesia (TMI) di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (25/9/2021), mengapresiasi pencapaian Koperasi TMI yang mampu masuk ke rantai pasok industri otomotif nasional sebagai mitra pengadaan kebutuhan Astra Motor dan Toyota. Selain itu, koperasi ini juga mampu memproduksi alat-alat kesehatan dan pertanian, permesinan, hingga perkapalan.
”Jadi, kita jangan lagi mengimpor alat-alat kesehatan dan pertanian. Saya akan berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian terkait hal itu,” kata Teten.
Teten meyakini, segala kebutuhan industri nasional, bahkan global, sudah bisa dipasok dari koperasi dan UKM logam asal Kabupaten Tegal. Sekarang ini, UKM sudah terlihat banyak melakukan transformasi, dari keripik ke elektrik. Lebih dari itu, koperasi dan UKM logam di Tegal juga sudah bisa menjadi sentra pembuat komponen bagi aneka industri di Indonesia.
Menurut Teten, UMKM yang sudah masuk rantai pasok industri tentu akan meningkatkan kinerja dari sisi skala usaha dan daya saing produk. Ekosistem untuk rantai pasok sudah dibangun sehingga untuk meningkatkan kapasitas produksi dan masuk skala ekonomi, mereka harus melakukan integrasi.
UKM logam sudah bergabung dalam wadah koperasi. Ini sudah sesuai dengan visi dan program yang dikembangkan Kementerian Koperasi dan UKM. Dengan berkoperasi, koperasi ini sendirilah yang akan berhadapan dengan calon pembeli, offtaker, BUMN, dan sebagainya. Karena itu, kelembagaan koperasi semacam ini tinggal diperkuat lagi.
”Koperasi harus kuat modalnya karena menjadi pembeli pertama dari produk yang dihasilkan anggota,” ujar Teten.
Bupati Tegal Umi Azizah menyatakan, koperasi dan UKM logam dari Kabupaten Tegal sangat siap memasok dan memenuhi kebutuhan industri nasional, termasuk BUMN. ”Kita akan terus kembangkan Kabupaten Tegal menjadi Jepang-nya Indonesia,” ujar Umi.
Sementara itu, Ketua Koperasi TMI Muhammad Jahidin menjelaskan, sejak masuk rantai pasok dari industri otomotif Astra Motor dan Toyota, omzet koperasi mengalami peningkatan signifikan, dari Rp 170 juta pada tahun 2020 kini mulai meningkat menjadi Rp 360 juta.
”Koperasi TMI ini dibentuk pada Agustus 2018 atas inisiatif dan kesepakatan komunitas UKM manufaktur. Saat ini, kami memiliki anggota sebanyak 22 UKM berbadan hukum PT,” ujar Jahidin.
Adapun Koperasi TMI memiliki empat unit usaha, yakni jasa logistik, pembuatan dan repair dyes, penjualan material, dan berbagai produk konsumsi. Selain menjadi pemasok kebutuhan industri otomotif, mereka juga mampu memproduksi alat kesehatan dan pertanian berbahan baku logam.
Pembinaan di Banyumas
Semua itu tak lepas dari peran Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA) selaku pembina dan pendamping UKM ini. Tak hanya Tegal, pembinaan juga dilakukan di Banyumas, Jawa Tengah. Sewaktu kunjungan kerja di Banyumas, Menteri Koperasi dan UKM pun mengajak YDBA untuk mengembangkan dan membangun UMKM di semua sektor usaha. Tujuannya adalah mengadaptasikan teknologi dan memasukkan UKM sebagai bagian dari rantai pasok industri.
”Saya mengapresiasi langkah YDBA dalam melakukan pendampingan, pelatihan, hingga pengembangan usaha bengkel-bengkel kendaraan roda empat di Banyumas,” kata Teten saat meninjau Bengkel Toseng binaan YDBA milik Sutanto di sela-sela acara kick off Pelatihan Teknik Electrical Wiring Diagram (EWD) di Patikraja, Banyumas, Minggu (26/9/2021).
Teten melihat Astra berbagi ilmu teknik dan manajemen bengkel mobil sehingga bengkel milik rakyat bisa memiliki kemampuan tak kalah dengan bengkel-bengkel modern. Membangun dan mengembangkan UKM memang harus by design. YDBA tampaknya terus menyiapkan UKM untuk naik kelas dan bisa masuk ke rantai pasok industri.
Teten mendorong UKM perbengkelan yang tergabung dalam Himpunan Bengkel Binaan YDBA (HBBA) Banyumas segera membentuk koperasi. Mereka harus segera dikoperasikan dan bisa melakukan konsolidasi pengadaan suku cadang agar tidak kalah dengan bengkel-bengkel modern.
Menurut Teten, apabila bengkel-bengkel kecil bergabung dalam satu wadah koperasi, mereka akan menjadi kekuatan ekonomi yang besar. Kementerian Koperasi dan UKM akan memperkuat kelembagaan koperasi itu.
Selain itu, pelaku UKM juga harus sudah memiliki standar usaha, produk, hingga layanan konsumen. Mereka harus siap dengan konsep bisnis modern dan sistem digital. Pola pikir ini yang harus berubah.
Ketua Pengurus YDBA Sigit P Kumala mengatakan, 17 UMKM pandai besi dan 25 bengkel roda empat se-Karesidenan Banyumas telah memperoleh pelatihan manajemen dan pemasaran dari YDBA. Mereka mendapatkan pelatihan mentalitas dasar, manajemen 5R (ringkas, rapi, resik, rawat, rajin), dan program pendampingan.
”Kami berharap pelatihan mentalitas dasar dan manajemen 5R serta pendampingan penerapan 5R dapat membuat mereka mandiri dan naik kelas,” ujar Sigit.
Untuk mendukung program pembinaan tersebut, YDBA juga turut meresmikan Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) sebagai cabang YDBA di Banyumas. LPB ini merupakan LPB aktif ke-14 yang didirikan YDBA. Sebelumnya, YDBA telah mendirikan 13 LPB di Mataram, Waru (Sidoarjo), Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Tegal, Tarikolot, Citeureup (Bogor), Sangatta, Bontang, Paser, Tapin, dan Tabalong.
Menurut Sigit, industri pandai besi dan bengkel kendaraan roda empat di Banyumas merupakan industri yang memiliki potensi besar. Hal tersebut didukung adanya komitmen dan konsistensi UKM dalam mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan YDBA.
”Komitmen dan konsistensi menjadi modal awal YDBA dalam melakukan pembinaan secara konsisten untuk menjadikan UKM tersebut mandiri dan naik kelas,” ujar Sigit.
Dalam kesempatan itu, Sutanto, pemilik Bengkel Toseng, mengakui, sejak menjadi binaan YDBA, banyak perubahan besar dalam unit usaha bengkelnya. Bahkan, saat ini bengkelnya beromzet Rp 30 juta dengan aset senilai Rp 150 juta.
Hanya saja, lanjut Sutanto, kelompoknya belum mendirikan koperasi sebagai wadah badan hukum usaha dari anggota HBBA Banyumas. Namun, embrio ke arah koperasi sudah lama dijalankan. ”Kami akan berkoperasi agar bisa lebih berkembang. Memang belum ada koperasi, tetapi asas koperasi sudah kami terapkan di sini,” ujarnya.
Pisau dan golok
Selain usaha bengkel, UKM binaan YDBA yang lain adalah para pandai besi yang tergabung dalam Kelompok Perajin Pande Besi Gayeng Ruyeng di Desa Pasir Wetan, Karanglewas, Banyumas. Mereka memproduksi berbagai alat pertanian, pisau, dan golok.
Menkop dan UKM sempat menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara YDBA dan Indonesian Chef Association (ICA). Nantinya, para pandai besi binaan YDBA ini akan menyediakan segala kebutuhan para koki, seperti pisau dapur, yang selama ini diimpor.
Fajar Tri Anggoro, pemilik Pande Besi Putra Cendana, mengatakan, sejak mendapat pelatihan dan pendampingan dari YDBA, kinerja usahanya terus meningkat. Dengan tingkat produktivitas sebanyak 60 buah per hari, pemasaran produk pisau dan golok sudah menembus Majenang, Kudus, dan Cilacap. Tentu, produknya dipasarkan juga ke pasar-pasar di Banyumas. Omzetnya kini mencapai Rp 40 juta per bulan.
Menkop dan UKM berharap pemasaran produk hasil pandai besi asal Banyumas tersebut semakin diperluas dengan menggandeng pihak lain. ”Bisa bekerja sama dengan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia atau Hippindo dalam memasarkan produk pisaunya di pusat-pusat perbelanjaan modern,” kata Teten.