Pengembangan kendaraan listrik dari hulu ke hilir di Indonesia mesti matang dan terintegrasi. Tak cukup infrastruktur dan manufaktur, insentif perpajakan dan akses informasi publik tentang kendaraan listrik juga penting.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sopir bajaj antre mengisi bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) PGN Monas, Jakarta, Jumat (30/11/2018). Walaupun bajaj BBG juga memiliki tangki untuk bahan bakar minyak, tetapi para pengemudi bajaj lebih memilih mengisi BBG, karena ramah lingkungan dan harganya yang lebih murah.
Babak baru sektor transportasi di Indonesia ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan pabrik baterai untuk mobil listrik di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, oleh Presiden Joko Widodo, Rabu (15/9/2021). Direncanakan, mulai 2022, Indonesia sudah bisa memproduksi mobil listrik. Proyek senilai Rp 15,6 triliun ini menggandeng investor Korea Selatan, yakni LG Energy Solution dan Hyundai Motor Group.
Apakah proyek mobil listrik kali ini benar- benar akan terwujud dan nyata? Apakah kita akan menyaksikan dalam beberapa tahun mendatang mobil listrik mendominasi jalanan di Indonesia? Apakah tak lama lagi asap buang lenyap dari jalanan dan langit perkotaan tetap biru cerah kendati kendaraan menyemut akibat macet?
Mobil listrik, tepatnya kendaraan listrik, adalah bagian dari program jangka panjang pemerintah dalam hal pengurangan emisi karbon dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM). Seperti yang sudah diketahui, konsumsi BBM di Indonesia separuhnya bergantung pada impor. Dari 1,4 juta sampai 1,5 juta barel per hari BBM yang dikonsumsi Indonesia, kemampuan produksi dalam negeri hanya mampu memasok sekitar 700.000 barel per hari.
Pada 2030, pemerintah menargetkan sebanyak 15 juta kendaraan listrik, yang terdiri dari 2 juta unit roda empat dan 13 juta unit roda dua, beroperasi di Indonesia. Target tersebut dapat menghemat impor BBM setara 77.000 barel per hari. Penghematan impor tersebut juga dapat menghemat devisa senilai 1,8 miliar dollar AS dan menurunkan emisi gas karbon sebanyak 11,1 juta ton (Kompas, 18/12/2020).
Dari 1,4 juta sampai 1,5 juta barel per hari BBM yang dikonsumsi Indonesia, kemampuan produksi dalam negeri hanya mampu memasok sekitar 700.000 barel per hari.
Agar program kendaraan listrik ini benar- benar terealisasi, pemerintah sebaiknya belajar pada pengembangan kendaraan berbahan bakar gas (BBG). Sampai sekarang, nasib pengembangan kendaraan berbahan bakar gas tak jelas, berikut peta jalan pembangunan infrastruktur pendukungnya, seperti alat pengonversi BBM ke gas dan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG).
Mengacu dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional, seharusnya terbangun 231 SPBG di Indonesia sampai 2019. Namun, realisasi sampai 2017 baru sebanyak 46 SPBG. Pemerintah juga tak lagi memprioritaskan pembangunan SPBG lantaran, salah satunya, keterbatasan anggaran (Kompas, 14/1/2019).
Bukan berarti program kendaraan berbahan bakar gas terhenti. Pada 20 Agustus 2021, pemerintah masih meresmikan pembangunan SPBG di Semarang, Jawa Tengah. Lewat PT Perusahaan Gas Negara Tbk, SPBG berkapasitas 1 juta standar kaki kubik per hari tersebut akan melayani bus angkutan umum Trans- Semarang yang berbahan bakar gas. Adapun gas untuk kendaraan pribadi masih jauh panggang dari api.
Ekosistem
Agar proyek pengembangan kendaraan listrik tumbuh baik, pemerintah sebaiknya benar-benar menyiapkan rencana yang terintegrasi dan melalui kajian yang matang. Selain industri di hulu, sektor hilir program kendaraan listrik harus disiapkan dengan baik. Salah satunya lewat penyediaan infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Kemudahan pengisian daya listrik menjadi salah satu faktor penarik minat konsumen untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak ke tenaga listrik.
Pajak kendaraan berbahan bakar minyak dikenai tinggi, sedangkan kendaraan listrik dibebaskan dari pajak. Model seperti ini bisa ditiru pemerintah kita.
Bus Listrik Transjakarta X Higer Berpelanggan memasuki terminal Blok M, Jakarta, Jumat (17/9/2021). Selama tiga bulan ke depan, PT Transportasi Jakarta mengajak masyarakat untuk menjajal Bus Listrik Transjakarta X Higer Berpelanggan dengan rute Blok M – Balai Kota DKI Jakarta (EV1). Masyarakat bisa mencoba Bus Listrik Transjakarta X Higer Berpelanggan tanpa dikenakan biaya atau gratis. Untuk sekali jalan, Bus Listrik Transjakarta X Higer Berpelanggan hanya boleh diisi oleh 25 orang pelanggan.
Selain itu, kebijakan pemerintah pusat juga bisa mempercepat terciptanya ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri. Norwegia, misalnya, menargetkan pada 2025 seluruh penjualan mobil baru harus terdiri atas mobil nir emisi, yaitu mobil listrik atau mobil berbahan bakar hidrogen. Pajak kendaraan berbahan bakar minyak dikenai tinggi, sedangkan kendaraan listrik dibebaskan dari pajak. Model seperti ini bisa ditiru pemerintah kita.
Aspek lain yang wajib dilakukan adalah sosialisasi masif dari pemerintah mengenai manfaat pemakaian kendaraan listrik. Publik harus diberi akses seluas-luasnya untuk belajar dan tahu tentang kendaraan listrik.
Apabila industri manufaktur kendaraan listrik di dalam negeri telah berjalan, ketersediaan infrastruktur semacam SPKLU memadai, dan insentif perpajakan diberikan kepada pengguna kendaraan listrik, jutaan kendaraan listrik beredar di jalanan Indonesia bukan lagi impian. Langit biru di atas kendaraan yang menyemut bukan sekadar angan-angan.