Realisasi penerimaan pajak per Agustus 2021 tercatat Rp 721,3 triliun atau tumbuh 9,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, kinerja perpajakan belum optimal di tengah perekonomian yang belum pulih.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Sesuai dugaan banyak pihak, kinerja perpajakan tahun ini belum akan optimal seiring pengetatan kegiatan masyarakat di tengah lonjakan kasus Covid-19, setidaknya pada setengah tahun pertama. Pelonggaran atau relaksasi pajak pun turut membuat penerimaan pajak menjadi tidak optimal.
Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak sejak awal Januari hingga akhir Agustus 2021 mencapai Rp 741,3 triliun. Capaian itu masih di bawah realisasi penerimaan pajak pada periode yang sama tahun 2019, ketika belum terjadi pandemi Covid-19, yang mencapai Rp 920,15 triliun.
Namun, realisasi penerimaan pajak Januari-Agustus 2021 tumbuh 9,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020 yang tercatat Rp 676,9 triliun. Realisasi itu juga mencapai 60,3 persen dari target APBN 2021 yang ditetapkan Rp 1.229,6 triliun.
Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono, relaksasi pajak yang bertujuan menggerakkan kembali perekonomian nasional akan berpengaruh pada kinerja perpajakan. Namun, ia optimistis realisasi penerimaan pajak sampai akhir Desember 2021 akan memenuhi target pemerintah.
Dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 yang disampaikan pada pekan kedua Agustus 2021 disebutkan, penerimaan pajak 2021 diproyeksikan mencapai Rp 1.142,5 triliun atau 92,9 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp 1.229,6 triliun.
”Sehingga jika dikatakan realisasi di sekitar 90 persen dari target itu sudah sangat bagus karena relaksasi pajak dan penerapan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) masih berlaku. Memang harus terus berupaya ekstra,” kata Prianto saat dihubungi, Jumat (24/9/2021).
Ekonomi nasional, lanjut Prianto, saat ini belum sepenuhnya normal sebagaimana tahun 2019. Hal itu tecermin dalam pertumbuhan realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) yang turun dari 20,4 persen pada Juli 2021 menjadi 13,2 persen pada Agustus 2021.
Capaian itu sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) ketika tingkat inflasi pada Agustus 2021 hanya 0,03 persen secara bulanan. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan tingkat inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 0,08 persen.
Angka inflasi dan realisasi PPN DN yang turun dinilai mengindikasikan daya beli masyarakat belum bangkit. Namun, pemerintah menilai penurunan realisasi PPN DN disebabkan oleh PPKM darurat yang berlanjut.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, penerimaan pajak pada tahun lalu memang ”tenggelam” sejalan dengan pergerakan roda ekonomi yang tersendat. Sementara tahun ini, upaya mengoptimalkan pemungutan pajak tertahan oleh pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Pada 2019, tarif pajak korporasi mencapai 25 persen. Namun, tahun lalu dan tahun ini, pemerintah merelaksasi tarif PPh Badan turun menjadi 22 persen, lalu akan turun lagi menjadi 20 persen pada tahun 2022.
”Kita kehilangan 3 persen dari PPh Badan, jadi tidak apple to apple membandingkan kinerja penerimaan 2021 dengan 2019,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA edisi September 2021, Kamis (23/9/2021).
Pada tahun 2022, penerimaan sektor pajak diproyeksi tetap belum normal mengingat ada penurunan PPh Badan menjadi 20 persen. ”Kalau ekonomi lebih kuat, kita akan mendapat penerimaan pajak lebih besar, tetapi kebetulan PPh Badan akan kembali turun sebesar 20 persen. Ini yang menyebabkan kenapa penerimaan pajak tidak kuat,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menambahkan, pandemi Covid-19 memang berdampak besar pada penerimaan pajak nasional sejak tahun lalu. Oleh karena itu, otoritas pajak akan melakukan berbagai upaya untuk mendulang pungutan di tengah keterbatasan geliat bisnis.
Upaya itu, antara lain, ditempuh dengan meningkatkan pengawasan dan kepatuhan wajib pajak, terutama korporasi yang tetap mampu bertahan kendati dihantam Covid-19, seperti sektor pertambangan dan perkebunan.
”Kami juga melakukan pengujian kepatuhan material dan memperluas basis pajak. Setelah Covid-19 mereda, kami bisa melakukan penetrasi ke wilayah untuk melihat potensi ekonomi,” katanya.