Bebas Emisi Karbon Lahirkan Normal Baru Perdagangan dan Industri
Era bebas emisi karbon sudah di depan mata. Penerapan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim itu akan melahirkan era normal baru perdagangan, industri, dan pembangkit listrik. RI perlu menyiapkannya sejak sekarang.
Kebijakan zero emission atau bebas emisi karbon melahirkan normal baru perdagangan dan industri global. Demi menjaga dunia dari ancaman dan dampak perubahan iklim, sektor perdagangan, industri, dan pembangkit listrik mau tidak mau harus berbenah.
Produk-produk komoditas ekspor unggulan Indonesia yang mengandung karbon atau proses pengolahannya menghasilkan karbon akan mendapatkan hambatan dari sejumlah negara yang sebentar lagi akan menerapkan kebijakan bebas emisi karbon. Produk-produk tersebut, antara lain, minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, batubara, tekstil, aluminium, besi baja, elektronik, pupuk, dan semen.
Saat ini, Indonesia tengah memetik keuntungan dari siklus super (supercycle) komoditas lantaran harga sejumlah komoditas, seperti batubara dan CPO, melesat tinggi. Di sisi lain, ekspor besi baja juga turut menopang kinerja ekspor Indonesia dan membuat Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 16 bulan berturut-turut di tengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Agustus 2021 mencapai 134,132 miliar dollar AS atau tumbuh 37,03 persen secara tahunan. Lemak dan minyak hewan/nabati, termasuk CPO; bahan bakar mineral (batubara); dan besi baja; tumbuh cukup signifikan. Kontribusi terbesar berasal dari lemak dan minyak hewan/nabati (15,39 persen), bahan bakar mineral (13,41 persen), dan besi baja (9,04 persen).
Setelah siklus super itu berakhir, pada September 2022, neraca perdagangan Indonesia diperkirakan akan kembali lagi seperti sebelumnya. Impor akan melonjak, harga komoditas akan mencapai titik keseimbangannya lagi dan neraca perdagangan bisa kembali defisit.
Baca juga: Berkah ”Supercycle” dan Investasi
Pemerintah optimistis lantaran berbagai buah investasi di sektor industri akan tetap menopang keseimbangan neraca perdagangan Indonesia. Namun, komoditas-komoditas ekspor hasil dari buah investasi itu bakal terimbas penerapan kebijakan bebas emisi karbon yang digulirkan oleh sejumlah negara mitra.
China, misalnya, telah berkomitmen mengurangi investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara. China juga secara bertahap akan mengganti PLTU dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan. China menargetkan bebas emisi karbon pada 2060.
Adapun Uni Eropa akan mengadopsi proposal Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan pajak bea masuk karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023. Pada tahap awal, CBAM akan diterapkan untuk sejumlah produk, seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik. CBAM ini akan sepenuhnya diterapkan pada 2026 dengan memperluas produk-produk yang mengandung karbon.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan, Sabtu (25/9/2021), mengatakan, prospek perdagangan batubara Indonesia untuk jangka pendek masih tetap ada. Namun untuk jangka panjang, kemungkinan besar volumenya akan berkurang seiring dengan upaya pengurangan emisi karbon yang digulirkan sejumlah negara guna mengatasi perubahan iklim.
”Indonesia sudah mempersiapkan transisi dan transformasinya ke energi baru terbarukan (EBT) nonbatubara. Di sisi lain, Indonesia juga sudah menyiapkan produk-produk atau sektor ekspor untuk menyubstitusi batubara, seperti besi baja, aluminium, elektronik, dan otomotif,” katanya.
Prospek perdagangan batubara Indonesia untuk jangka pendek masih tetap ada. Namun untuk jangka panjang, kemungkinan besar volumenya akan berkurang seiring dengan upaya pengurangan emisi karbon yang digulirkan sejumlah negara.
Baca juga : Kebijakan ”Zero Emission” Bakal Berimbas ke Sejumlah Komoditas Ekspor
Kendati begitu, lanjut Kasan, pemerintah menyadari sejumlah produk tersebut juga akan menghadapi tantangan dengan penerapan pajak karbon di sektor komoditas. Pajak karbon komoditas ini akan menghambat ekspor sejumlah produk unggulan Indonesia.
Pemerintah sudah memikirkan solusinya, seperti penggunaan sumber EBT yang bebas karbon dalam proses produksinya. ”Namun, jika sumber EBT di Indonesia belum siap digulirkan untuk menopang industri berbasis ekspor, pengenaan pajak karbon juga akan menyebabkan kenaikan harga produk-produk itu,” katanya.
Baca juga : RI Tak Akan Biarkan Negara Lain Paksakan Pajak Karbon Komoditas
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT mencapai 1.478 megawatt dengan rata-rata pertumbuhan 4 persen per tahun. Sepanjang semester I-2021, kapasitas EBT bertambah 217 megawatt.
Tambahan kapasitas itu berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Malea sebesar 90 megawatt, pembangkit listrik tenaga minihidro sembilan unit berkapasitas 56 megawatt, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sebesar 13 megawatt. Selain itu, ada juga pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sorik Marapi Unit II berkapasitas 45 megawatt dan pembangkit listrik tenaga bioenergi sebesar 12,5 megawatt.
”Tambahan kapasitas tersebut langsung tersambung dengan sistem jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero),” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana melalui keterangan pers pada 20 Agustus 2021.
Nasib batubara dan PLTU
Sementara itu, Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, proses penerapan kebijakan bebas emisi karbon dan kebijakan-kebijakan lain dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim memang masih lama. Namun, Indonesia harus bersiap sejak sekarang untuk mengantisipasinya lantaran akan berimbas ke sejumlah komoditas ekspor unggulan Indonesia.
”Khusus batubara, prospeknya masih akan bagus ke depan dari sisi harga. Pada tahun ini, rata-rata harga batubara di pasar bursa ICE Newcastle (Australia) mencapai 112,7 dollar AS per ton, dan pada 2022, rata-rata harganya diperkirakan turun menjadi 77,3 dollar AS per ton,” ujarnya.
Menurut Dendi, tantangan perdagangan batubara di luar negeri dan dalam negeri akan semakin berat. Saat sejumlah negara menerapkan kebijakan emisi karbon dengan mengganti pembangkit listriknya dengan sumber EBT, volume ekspor batubara Indonesia diperkirakan akan turun.
Tantangan di sektor itu juga akan semakin kompleks saat PLN benar-benar merealisasikan rencananya menghentikan operasi sejumlah PLTU berbahan bakar batubara dalam rangka menerapkan kebijakan bebas emsisi karbon. Pada 2030, PLN berencana menghentikan operasi PLTU berbahan bakar batubara sebesar 1 gigawatt dan pada 2040 sebesar 10 gigawatt.
”Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan dengan matang transisi energi ini agar imbasnya ke ekspor, industri, dan pembangkit listrik bisa lebih tereduksi,” katanya.
Lembaga Third Generation Environmentalism (E3G) menunjukkan, 76 persen rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di dunia dinyatakan batal setelah Perjanjian Paris 2015 digulirkan. Secara global, kapasitas proyek PLTU batubara yang dibatalkan mencapai 1.175 gigawatt.
Hingga Juli 2021, terdapat enam negara, yakni China, India, Vietnam, Indonesia, Turki, dan Bangladesh, yang masih berencana membangun pembangunan PLTU batubara. Rencana pembangunan itu masuk dalam tahap prakonstruksi sebesar 82 persen dari PLTU batubara dunia yang tersisa. Selain itu, lebih dari 40 gigawatt proyek PLTU batubara di 20 negara dapat dibatalkan China yang sudah menegaskan kembali komitmennya menuju bebas emisi karbon pada 2060.
Baca juga:
Manager Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo, Rabu, mengatakan, banyak institusi finansial/keuangan yang mulai menarik diri dari pembiayaan proyek batubara, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Selama kurun waktu 2016-2017, sebanyak 94 persen pendanaan PLTU di Asia Selatan dan ASEAN berasal dari China, Jepang, dan Korea Selatan.
Sebelum China, perusahaan di negara Korea Selatan dan Jepang yang aktif membiayai proyek batubara di negara lain, termasuk Indonesia, sudah lebih dahulu menyatakan akan menghentikan pendanaan proyek batubara di luar negeri. Dengan pernyataan China baru-baru ini mendorong pembangunan PLTU di negara ASEAN akan bisa batal.
Hal itu bisa berdampak langsung ke industri batubara Indonesia yang hampir 80 persen produksinya diekspor. Produksi harus dikendalikan. Jika tidak, pasar batubara tidak seimbang dan harga batubara bisa tertekan. Dampak akhirnya bisa ke daerah penghasil batubara, pekerja batubara, dan perusahaan batubara di Indonesia.
”Indonesia harus bersiap transisi keluar dari industri batubara. Sebab, proyek-proyek batubara yang disebut oleh pemerintah, seperti hilirisasi batubara oleh perusahaan PKP2B (perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara) juga akan terancam tidak dapat pendanaan,” katanya.
Menurut Deon, diversifikasi ekonomi jadi penting agar ketika industri batubara terus menurun, bisa digantikan dengan sektor ekonomi lain dengan tetap meminimalkan dampak negatif ke pendapatan daerah penghasil batubara, pekerja, dan masyarakat yang bergantung penghidupan pada industri batubara.
Pemerintah Indonesia juga sudah menyatakan tidak akan memberikan izin PLTU baru dibangun. Jika masih ada PLTU yang masih mencari pendanaan proyeknya, situasi sekarang menutup pintu kemungkinan PLTU tersebut mencapai financial close (pemenuhan pembiayaan).
Jika masih ada PLTU yang mencari pendanaan proyeknya, situasi sekarang menutup pintu kemungkinan PLTU tersebut mencapai financial close (pemenuhan pembiayaan).
Baca juga : Tentang Peta Jalan Batubara
Upaya menurunkan emisi gas rumah kaca juga mendorong jumlah PLTU dipensiunkan secara global lebih cepat, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu menyusun peta jalan untuk memensiunkan PLTU batubara.
”Ada banyak strategi yang bisa dipertimbangkan, di antaranya mengalihkan pendanaan dan investasi ke energi terbarukan, melakukan peralihan tujuan (repurposing) dan memodifikasi (retrofitting) PLTU,” katanya.
Setiap negara harus bersiap menuju normal baru era bebas emisi karbon.
Indonesia juga tengah menyiapkan industri pengolahan batubara menjadi dimetil eter (DME) atau metanol. DME yang merupakan produk dari gasifikasi batubara berfungsi sebagai pengganti elpiji. Ada dua perusahaan yang akan terjun di bisnis hilirisasi batubara tersebut, yaitu PT Bukit Asam Tbk dan Grup Bakrie.
PT Bukit Asam Tbk menargetkan proyek dapat dimulai pada 2025 dengan target produksi 1,4 juta ton DME per tahun. Proyek ini akan digarap bareng PT Pertamina (Persero) dan Air Products, perusahaan Amerika Serikat selaku pemilik teknologi gasifikasi.
Sementara Grup Bakrie akan menggarap hilirisasi batubara itu melalui PT Bakrie Capital Indonesia (BCI) dan PT Itacha Resources. Dengan menggandeng Air Products, Grup Bakrie berencana memproduksi metanol sebanyak 2 juta ton mulai 2024. Volume batubara yang dibutuhkan 6 juta ton per tahun.
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) menyatakan, banyak negara tengah berlomba menuju bebas emisi karbon di berbagai sektor ekonomi dan kehidupan. Berbagai pembenahan dan reformasi yang menghabiskan dana cukup besar akan dilakukan sesuai dengan amanat Perjanjian Paris 2015. Oleh karena itu, setiap negara harus bersiap menuju normal baru era bebas emisi karbon. (REUTERS)