Ilmuwan Charles Darwin dan Herbet Spencer pernah mengemukakan sebuah ungkapan dan teori yang sangat populer, yaitu survival of the fittest yang terjemahannya kurang lebih ’yang bertahan hidup adalah mereka yang paling bisa beradaptasi’.
Ungkapan itu kini menjadi fenomena nyata di industri layanan jasa keuangan digital. Satu per satu perusahaan teknologi finansial (tekfin) pinjaman antarpihak (peer to peer lending/P2P lending) mulai berguguran dan menyisakan mereka yang bisa beradaptasi.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah perusahaan tekfin P2P lending per 20 Desember 2019 mencapai 164 entitas. Setahun kemudian jumlahnya menyusut menjadi 149 entitas. Data terbaru per 8 September 2021, jumlah perusahaan tekfin P2P lending kembali menurun menjadi 107 entitas.
Padahal, skala bisnis industri ini terus membesar. Hingga April 2021, total akumulasi penyaluran pinjaman tekfin pinjaman antarpihak mencapai Rp 194,1 triliun dengan jumlah peminjam 60 juta akun. Jumlah ini melonjak nyaris dua kali lipat dibandingkan April 2020 yang sebesar Rp 106,06 triliun dengan jumlah peminjam hanya 24,7 juta akun.
Baca juga: Pandemi dan ”Pinjol” Ilegal
Ke depan, industri ini masih akan terus berkembang. Kebutuhan masyarakat baik nasabah perseorangan maupun UMKM akan kucuran dana sangat besar. Apalagi, perusahaan tekfin pinjaman antarpihak ini menyasar masyarakat yang tidak memenuhi syarat penyaluran kredit oleh bank (non-bankable), yang jumlahnya sangat banyak.
Persaingan yang ketat membuat banyak perusahaan tekfin pinjaman antarpihak akhirnya gulung tikar. Bisnis yang seret akibat minimnya jumlah nasabah membuat mereka perlahan kesulitan modal sehingga harus menghentikan operasionalnya.
Ekosistem bisnis digital punya jargon ”Winner takes all”. Tidak seperti bisnis luring konvensional, bisnis digital tidak mengenal loyalitas di antara konsumennya. Mereka bisa cepat pindah dari satu layanan digital ke layanan digital lainnya apabila tidak memuaskan dan tidak memenuhi ekspektasinya.
Dengan menguasai gawai di genggaman, nasabah bisa langsung pindah ke layanan digital lainnya. Kemudahan digital yang memungkinkan untuk mengakses jasa layanan tanpa perlu bertatap muka membuat rasa keterikatan emosi menjadi dangkal sehingga nasabah bisa cepat berganti ke layanan yang lain. Maka, perusahaan tekfin P2P lending yang bertahan inilah yang paling bisa memberikan layanan yang bisa memuaskan dan memenuhi ekspektasi nasabah.
Salah satu kunci keberhasilan para tekfin P2P lending ini adalah membuat aplikasi yang memberikan kemudahan nasabah dalam mengoperasikannya. Industri ini masih baru sehingga masih banyak nasabah yang baru mulai coba-coba atau mempelajari cara kerja tekfin P2P lending.
Tampilan aplikasi atau interface yang mudah dipahami dan dioperasikan (user friendly), runut, dan logis membuat nasabah merasa nyaman dan percaya. Untuk membuat itu perlu investasi untuk merekrut desainer user interface (UI) dan user expericence (UX) yang andal.
Selain memiliki sistem yang mudah digunakan, aplikasi juga harus ditopang sistem teknologi informasi yang bisa diandalkan.
Tak kalah penting adalah transparansi dari perusahaan tekfin P2P lending. Transparansi ini artinya memberikan informasi yang jelas dan gamblang kepada nasabah tentang siapa manajemen di balik perusahaan itu, seperti apa kinerja perusahaan, serta mekanisme cara kerja perusahaan.
Untuk nasabah pemberi pinjaman, perusahaan perlu memberi informasi tentang debitor yang akan diberikan pinjaman. Ini penting agar nasabah merasa tenang dan yakin uangnya telah disalurkan ke pihak yang tepat sehingga bisa memberikan imbal hasil seperti yang dijanjikan.
Sementara untuk nasabah penerima pinjaman, perusahaan perlu memberi informasi jelas tentang besaran bunga yang diberikan, tanggal jatuh tempo pelunasan, dan nilai yang harus dibayarkan. Ini agar nasabah bisa mempersiapkan diri untuk berhitung dan menyiapkan strategi pelunasannya.
Bank digital
Maraknya layanan jasa keuangan digital juga terjadi pada industri perbankan. Belakangan muncul satu per satu perbankan yang mengklaim sebagai bank digital. Persaingan dalam menjaring nasabah pun diprediksi bakal ketat.
Seperti halnya tekfin, jumlah bank digital ke depan diperkirakan tak akan sebanyak sekarang. Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja beberapa waktu lalu meramalkan, pada akhirnya nanti jumlah bank digital yang akan bertahan di Indonesia hanya akan ada tiga bank.
Pernyataan ini berkaca di negara-negara lainnya yang hanya memiliki sedikit bank digital yang bertahan dan meraih keuntungan. Menurut Jahja, keberhasilan dan panjang umurnya suatu bank digital atau layanan jasa keuangan digital itu bergantung pada performa yang dibangun untuk jangka waktu yang panjang.
Sekali lagi, yang akan bertahan adalah mereka yang bisa paling bisa beradaptasi dengan perubahan zaman.