UMKM Butuh Pendampingan dan Permodalan untuk Bangkit
Kebijakan PPKM yang terus berlanjut tak mudah dipahami oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Pendapatan yang terus tergerus membuat pelaku UMKM membutuhkan solusi efektif pemerintah. Tidak sekadar digitalisasi.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat yang terus berlanjut tak mudah dipahami oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Solusi yang dilaksanakan pemerintah, seperti bantuan presiden untuk usaha mikro dan kini gencar menggiring ke arah digitalisasi pemasaran, tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan UMKM.
Kegagalan memahami PPKM yang bertujuan menekan penyebaran Covid-19 di Indonesia itu mengemuka dalam pertemuan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dan sejumlah asosiasi UMKM yang digelar di Kementerian Koperasi dan UKM di Jakarta, Rabu (22/9/2021). Pertemuan secara hybrid itu merupakan tindak lanjut pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan UMKM yang digelar di Istana Presiden pada 15 September lalu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Elektronik Komputer dan Teknologi Informasi (APEKTI) Bustanil Wijaya mengeluhkan banyaknya usaha elektronik yang tutup di kawasan Mangga Dua, Jakarta. Sebagian besar anggota yang beralih jualan secara daring mengalami kesulitan karena barang yang ada di gudang pertokoan tidak bisa diambil.
”Sudah tidak diberikan akses masuk toko, pengelola tetap mengenakan biaya sewa dan perawatan secara penuh kepada para anggota kami. Ke depan, kami sangat mendukung kebijakan penanganan Covid-19. Namun, kami juga minta diberikan jalan untuk bisa tetap berdagang secara online,” kata Bustanil.
Bustanil juga menyebutkan perlunya bantuan permodalan karena selama PPKM, permodalan anggotanya tergerus biaya operasional, termasuk gaji karyawan. Selain itu, APEKTI mengharapkan fasilitas pemerintah berupa insentif pajak, perizinan, dan pengembangan usaha. Diharapkan bisa masuk ke e-katalog pemerintah. Bukan sekadar Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP) yang sudah dilakukan sebagian besar anggota APEKTI.
Puji Hartoyo, Ketua Paguyuban Pedagang Warteg dan Kaki Lima se-Jakarta dan sekitarnya (Pandawakarta), mengatakan, pedagang warteg membutuhkan akses pinjaman atau kredit. Sebab, sebagian besar tidak bankable dan akseptabilitas untuk kredit rendah.
”Ini terkait dengan sulitnya penyediaan agunan. Mereka yang sudah punya kredit terkendala juga dengan BI checking. Dalam situasi saat ini, kendala yang dihadapi adalah cicilan bulanan sehingga kami membutuhkan relaksasi kredit,” ujar Puji.
Selain itu, digitalisasi UMKM tidak semudah yang dibayangkan. Pendidikan rendah dan tidak memahami teknologi membuat mereka perlu pendampingan. Untuk itu, Kemenkop dan UKM dinilai perlu memiliki tim untuk mendampingi proses migrasi dari penjualan secara konvensional (offline) menuju penjualan online.
Alfian, Ketua Ikatan Warung Padang Indonesia (Iwapin), mengatakan, pandemi Covid-19 telah berdampak serius bagi usaha warung Padang di Indonesia. Untuk itu, pedagang membutuhkan bantuan lunak yang benar-benar tanpa agunan. Sebab, salah satu anggotanya yang mengajukan pinjamanan KUR ternyata masih dimintai agunan.
Pedagang warung Padang kini juga menghadapi persoalan pembelian bahan baku daging sapi yang murah. Untuk itu, mereka meminta bantuan Kemenkop dan UKM untuk memfasilitasi pedagang dengan tempat penjualan daging ataupun minyak goreng yang murah dan sangat dibutuhkan sebagai bahan baku utama.
”Harga daging sapi saat ini mencapai Rp 130.000 per kilogram. Begitu pula dengan harga minyak goreng yang mencapai Rp 33.000 per 2 liter. Sementara penjualan kami menurun karena waktu berjualan terbatas akibat PPKM,” kata Alfian.
Kepala Humas Remojong Brebes Samsul Khaeri mengatakan, pada masa pandemi, pengusaha perlu melakukan efisiensi, kreatif, pelayanan higienis, dan online. Secara terbuka, pelaku usaha di Brebes telah mengembangkan aplikasi R-Mall sebagai wadah bagi perdagangan UMKM di Brebes. Namun, aplikasi ini membutuhkan dukungan dari pemerintah.
”Salah satu yang menjadi kendala adalah packaging atau pengemasan produk UMKM sehingga butuh pelatihan,” ujar Samsul.
Semakin cepat
Menkop dan UKM Teten Masduki mengatakan, seluruh dunia sedang berusaha untuk mengatasi penyebaran Covid-19. Semakin cepat mengatasi Covid-19 dengan vaksinasi, pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat.
”Di pemerintah, (pilihannya) kalau kita mau melonggarkan masyarakat (tanpa PPKM), prosesnya akan panjang waktunya. Ini lebih sulit karena ketersediaan APBN terbatas. Enggak mungkin pemerintah terus melakukan bantuan langsung tunai atau subsidi. Solusinya, dalam waktu pendek, kita ’sakit’ dan pemerintah masih mempunyai anggaran, tetapi kita bisa lebih cepat menyelesaikan penyebaran Covid-19 ini,” ujar Teten.
Karena itulah, kata Teten, PPKM diterapkan. Ini dilakukan karena tidak semua masyarakat bisa diajak displin pada protokol kesehatan. Bahkan, ada tokoh-tokoh yang menganggap Covid-19 tidak ada. Sementara beberapa bulan lalu rumah sakit penuh dan angka kematian meningkat. Kondisi ini membuat investor enggan datang ke Indonesia.
Menurut Teten, ekonomi Indonesia digerakkan oleh konsumsi masyarakat. Sebelum pandemi, kontribusinya mencapai 53 persen, sedangkan investasi sekitar 30 persen dan belanja pemerintah hanya 9-10 persen.
Sementara 70 persen konsumsi itu didominasi kelas menengah ke atas. Saat pandemi, mereka tidak merasa aman keluar rumah sehingga mengurangi kegiatan jalan-jalan, belanja, dan investasi. Belum lagi, wisatawan tidak mau masuk ke negara yang penyebaran Covid-19-nya tinggi.
”PPKM adalah satu kebijakan yang pahit, tetapi ’pil pahit’ ini harus kita minum. Pemerintah sedang memikirkan kembali sejauh mana dampaknya. Tetapi, kalau PPKM tidak diterapkan, negara tidak akan sanggup bertahan dalam lima tahun. Utang akan berat. Sektor pajak pun tidak ada yang masuk. Tolong dipahami, kebijakan ini berat, tetapi memang harus kita lakukan,” kata Teten.