Pertimbangkan Keekonomian untuk Kembangkan Stasiun Pengisian dan Penukaran Baterai
Skema usaha dan perizinan beserta insentif yang ditawarkan pemerintah untuk infrastruktur pengisian kendaraan listrik perlu memperhitungkan keekonomian dan pengembalian investasi yang menarik bagi investor.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menetapkan sejumlah skema usaha dan perizinan pengembangan stasiun pengisian dan penukaran baterai kendaraan listrik umum. Namun, selain insentif dan kemudahan, pengembangan infrastruktur itu dinilai perlu mempertimbangkan aspek keekonomian agar target tercapai.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatur skema bisnis dan perizinan badan usaha stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU). Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana, saat membuka webinar sosialisasi peraturan di Jakarta, Selasa (21/9/2021), menyebutkan, skema bisnis dan perizinan berusaha badan usaha SPKLU terdiri dari penyedia (provider), pengecer (retailer), dan kerja sama. Sementara badan usaha SPBKLU hanya diwajibkan punya nomor identitas SPBKLU
Skema provider berarti badan usaha menyediakan tenaga listrik sendiri, kemudian menjualnya kepada konsumen. Skema ini memerlukan penetapan wilayah usaha, izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) terintegrasi, dan nomor identitas SPKLU.
Sementara skema retailer berarti badan usaha membeli tenaga listrik dari PT PLN (Persero) atau pemegang wilayah usaha lain, kemudian menjual atas nama badan usaha sendiri. Skema ini memerlukan penetapan wilayah usaha, IUPTL penjualan, dan nomor identitas SPKLU.
Adapun skema kerja sama berarti badan usaha sebagai mitra PT PLN (Persero) atau pemegang wilayah usaha lainnya hanya diwajibkan memiliki nomor identitas SPKLU. Untuk perizinan lainnya cukup dengan perizinan milik PT PLN (Persero) atau pemegang wilayah usaha lainnya.
Dalam rangka mempercepat pembangunan infrastruktur SPKLU, pemerintah memberikan insentif, seperti insentif tarif curah listrik Rp 714 per kWh untuk badan usaha SPKLU, keringanan biaya penyambungan dan atau jaminan langganan tenaga listrik, serta pembebasan rekening minimum selama dua tahun pertama untuk badan usaha SPKLU yang bekerja sama dengan PT PLN (Persero).
Lebih jauh, Rida menambahkan, perizinan berusaha juga disederhanakan lagi. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor ESDM, misalnya, penetapan wilayah usaha untuk SPKLU dapat digantikan dengan dokumen bukti kepemilikan lahan SPKLU atau perjanjian kerja sama dengan pemilik lahan SPKLU. Sebelumnya, penetapan wilayah usaha untuk SPKLU harus mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah.
Lalu, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, termasuk badan usaha SPKLU, wajib lapor. Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Ketenagalistrikan, kewajiban pelaporan itu dengan menyediakan sistem informasi yang terintegrasi dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan.
Pemerintah Indonesia dalam Grand Strategi Energi Nasional menargetkan pembangunan 572 unit SPKLU tahun 2021. Jumlahnya mesti bertambah menjadi 31.859 unit SPKLU pada 2030. Target SPKLU ini ditujukan untuk dapat mengakomodasi potensi KBLBB roda empat yang diperkirakan 2,2 juta unit pada 2030.
”Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020, pemerintah memberikan penugasan kepada PLN untuk menyediakan sampai 24.720 unit stasiun pengisian mobil listrik untuk 10 tahun ke depan. Ini dengan asumsi KBLBB (kendaraan bermotor listrik berbasis baterai) sebanyak 254.000 unit,” kata Rida.
Saat ini, Kementerian ESDM sedang menyiapkan sistem informasi terintegrasi untuk SPKLU dan SPBKLU sehingga dapat memudahkan badan usaha akses informasi dan perizinan. Sistem ini juga diharapkan dapat memudahkan pengawasan dari kementerian/lembaga terkait.
Executive Vice President Marketing and Products Development PT PLN (Persero) Hikmat Drajat, saat hadir bersamaan, menyebutkan, realisasi pembangunan SPKLU PLN hingga Juli 2021 mencapai 46 unit di 33 lokasi. SPKLU yang telah mendapatkan nomor identitas baru mencapai 8 unit. Selain itu, 67 SPKLU sedang dalam proses pengadaan dengan target implementasi pada Desember 2021.
Hikmat Drajat menambahkan, PT PLN (Persero) menggagas tiga model bisnis kerja sama SPKLU berbasis ekonomi berbagi kepada badan usaha yang berminat. ”Kami menyadari bahwa konsumen yang memiliki kendaraan listrik lebih suka isi ulang daya di rumah masing-masing. Maka, kami tawarkan insentif diskon tarif 30 persen pada pukul 22.00-05.00 kepada pemilik kendaraan listrik dengan home charging yang terkoneksi dengan sistem PLN,” katanya.
Peneliti spesialis teknologi energi dan kendaraan listrik dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Idoan Marciano, saat dihubungi pada Rabu (22/9/2021), di Jakarta, berpendapat, insentif tarif curah listrik yang diberikan kepada badan usaha SPKLU yang bekerja sama dengan PT PLN (Persero) menjadi instrumen atraktif. Insentif ini memang perlu diberikan kepada swasta agar penjualan tarif isi ulang daya listrik kepada konsumen lebih murah.
Hanya saja, dia berharap agar tidak ada tambahan beban biaya lain-lain, seperti pajak, yang berpotensi membuat konsumen tidak tertarik lagi. ”Jadi, badan usaha yang mau kerja sama SPKLU dengan PLN harus diberikan tarif curah dan tarif penjualannya kemudian kepada konsumen harus dibuat sefleksibel mungkin,” katanya.
Menurut Idoan, dalam SPKLU ataupun SPBKLU, hal terpenting adalah pemerintah punya perencanaan dan perhitungan finansial. Tujuannya, agar tidak menimbulkan kesenjangan beban investasi SPKLU atau SPBKLU saat akan diekspansikan lebih luas ke daerah-daerah.
Pemerintah Indonesia bisa belajar dari negara lain yang sudah lebih dulu mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Misalnya, ada pemerintah suatu negara yang memberikan insentif berupa diskon harga isi ulang di SPKLU sehingga pengembalian investasi ke badan usaha yang bangun SPKLU lebih menarik.
”Realisasi SPKLU memang butuh swasta sebab tidak mungkin mengandalkan PLN mengerjakan sendiri. Tidak akan efektif. Kapabilitas PLN juga terbatas,” ucap Idoan.
Peneliti Center for Policy and Public Management pada Institut Teknologi Bandung, Agung Wicaksono, saat dihubungi terpisah, mengatakan, kebutuhan SPKLU dan targetnya sangat ambisius, yakni sekitar 30.000 unit SPKLU pada akhir 2030, bahkan 90.000 unit SPKLU untuk public charger level 2 pada akhir 2035.
Artinya, target tersebut harus direalisasikan, antara lain di kompleks perkantoran, pusat perbelanjaan, dan pul angkutan umum. Sementara untuk SPKLU level 3 atau fast charging 30-60 menit untuk menunjang perjalanan ke luar kota perlu 6.000 unit pada akhir 2035.
”Jadi, pemerintah harus radikal saat buat kebijakan pengembangan SPKLU. Misalnya, badan usaha/investor SPKLU tidak perlu IUPTL (izin usaha penyediaan tenaga listrik), melainkan cukup dengan penerbitan IUJPTL (izin usaha jasa penunjang tenaga listrik),” ujar Agung.
Kemudian, menurut dia, pemerintah perlu memperbolehkan open tariff policy atau tarif listrik terbuka. Tujuannya, agar investasi SPKLU bisa mencapai keekonomian minimum. SPKLU level 2 dan level 3, misalnya, perlu dibedakan tarifnya.