Penerimaan Cukai Meningkat, Peredaran Rokok Ilegal Tetap Marak
Realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) menunjukkan peningkatan karena ada kenaikan rata-rata tarif CHT hingga 12,5 persen tahun ini. Namun, praktik penjualan rokok ilegal masih marak di pasaran.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi penerimaan cukai hasil tembakau hingga Agustus 2021 melonjak hingga hampir 18 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal itu ditopang peningkatan produksi serta kenaikan tarif. Sayangnya, kenaikan itu masih dibayangi meningkatnya peredaran rokok ilegal sehingga penerimaan negara tidak optimal.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat, hingga Agustus 2021 penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp 111,1 triliun atau tumbuh 17,8 persen dibandingkan realisasi penerimaan CHT pada Agustus 2020 yang mencapai Rp 94,4 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, selain kenaikan tarif CHT 2021 rata-rata 12,5 persen, pertumbuhan penerimaan CHT disebabkan oleh kenaikan produksi sebesar 6,2 persen dari 196,3 miliar batang pada Agustus 2020 menjadi 208,6 miliar batang pada Agustus 2021.
Kinerja penerimaan CHT tumbuh didorong peningkatan produksi dan kebijakan penyesuaian tarif.
”Kinerja penerimaan CHT tumbuh didorong peningkatan produksi dan kebijakan penyesuaian tarif. Produksi mulai naik, terutama bila kita lihat di bulan Mei 2021,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/9/2021).
Sementara itu, pemberantasan rokok ilegal masih menjadi jenis penindakan barang ilegal paling banyak. Per akhir Agustus 2021, penindakan rokok ilegal mencapai 45 persen dari total 16.988 penindakan oleh pemerintah. Porsi ini jauh lebih besar dari penindakan lain seperti minuman keras (6 persen), kendaraan air (6 persen) produk tekstil (2 persen), obat (1,5 persen), dan kendaraan darat (1,4 persen).
Dari total seluruh penindakan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat, perkiraan kebocoran penerimaan negara dalam bentuk barang hasil penindakan (BHP) produk-produk ilegal tersebut mencapai Rp 13,48 triliun.
”Kinerja penindakan memiliki tren meningkat dari tahun ke tahun. Pengawasan dan penindakan ini dilakukan untuk menjaga, tidak hanya penerimaan negara, tetapi juga masyarakat dan industri dari persaingan usaha yang tidak sehat,” ujar Sri Mulyani.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi mengatakan, kenaikan cukai hasil tembakau menciptakan ruang bagi peredaran rokok ilegal. Menurut dia, keberadaan produk hasil tembakau yang tidak melunasi cukai sulit dikontrol terutama pada ritel level ultramikro.
”Hal ini dipengaruhi produksi dan penyesuaian tarif. Makin tinggi cukainya makin tingginya insentif rokok ilegal,” kata Anang.
Anang menambahkan, sektor koperasi dan UMKM akan terdampak jika cukai dan harga rokok naik. Pasalnya, distribusi rokok di Indonesia mayoritas dilakukan melalui jaringan ritel dan UMKM tradisional.
Saat ini, kata Anang, ritel koperasi dan UMKM Indonesia yang tengah berjuang sekuat tenaga akibat penurunan omzet rata-rata 50 persen hingga 60 persen selama pandemi Covid-19 justru akan kembali terpukul oleh cukai rokok. Pasalnya, rokok adalah produk yang berkontribusi besar kepada pendapatan koperasi, UMKM, serta pedagang eceran.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno memprediksi, jika kenaikan cukai rokok pada tahun 2022 telah direalisasikan, hal itu diyakini dapat menyebabkan penyebaran rokok ilegal semakin menjadi-jadi.
Dengan kenaikan rata-rata CHT dua digit tiap tahun, harga rokok ikut melonjak. Kondisi ini yang menurut Soeseno akan membuka ruang untuk peredaran rokok-rokok serta produk hasil tembakau lain yang tidak melunasi tarif cukai.
”Bila konsumsi rokok oleh masyarakat tidak berhasil ditekan alias tetap masif, akan banyak permintaan rokok ilegal dari masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang harganya sudah tentu murah,” ujarnya.
Kondisi ini patut disayangkan mengingat tujuan pemerintah dalam meningkatkan tarif cukai hasil tembakau adalah menekan prevalensi merokok masyarakat sekaligus meningkatkan penerimaan negara. ”Nanti cukainya enggak dapet, tetapi prevalensi rokok enggak turun. Akhirnya tidak ada tujuan yang tercapai,” kata Soeseno.