Covid-19 menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik saat krisis. Reformasi fiskal dan komitmen penguatan SDM menjadi keniscayaan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera.
Oleh
Agnes Theodora dan Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
Sepanjang sejarah peradaban, krisis kerap menjadi momentum reformasi. Pandemi Covid-19 sebagai salah satu krisis terdalam abad ini menegaskan tentang pentingnya reformasi fiskal, tata ulang prioritas, dan prinsip negara kesejahteraan (welfare state) sesuai cita-cita awal berdirinya bangsa.
Pada periode 1997-1998, pemerintah merespons krisis moneter melalui beragam reformasi untuk mengejar perbaikan ekonomi. Dari reformasi sistem perbankan, sistem moneter negara, hingga reformasi jaring pengaman sosial. Pada 2008-2009, ketika krisis ekonomi global terjadi, Indonesia kembali melakukan reformasi yang melahirkan Otoritas Jasa Keuangan.
Pada masa pandemi Covid-19, fiskal memainkan peran krusial dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Hampir semua negara mengubah kebijakan fiskalnya menjadi lebih progresif. Berbeda dengan krisis 1997-1998 ketika stimulus dikucurkan untuk menyelamatkan sektor perbankan, kali ini stimulus digelontorkan terutama untuk perlindungan sosial dan kesehatan.
Laporan World Economic Outlook Update oleh Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, hingga Juli 2021, pemerintah dunia telah menghabiskan dana stimulus sebesar 16,5 triliun dollar AS untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan terhadap dunia usaha. Jumlah itu berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan saat krisis finansial 2008-2009. Majalah The Economist edisi 4 Maret 2021 memaknai hal ini sebagai momentum yang akan mereformasi politik fiskal serta konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Pemerintah Indonesia juga mengekspansi kebijakan fiskal hingga memungkinkan defisit melewati 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kajian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menunjukkan, program perlindungan sosial pada 2020 mampu menahan lonjakan kemiskinan, pengangguran serta menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Tingkat pengangguran terbuka dapat ditahan pada level 7,07 persen meski tetap meningkat dibandingkan dengan kondisi pada 2019. Ini berimplikasi pada meningkatnya porsi angkatan kerja di sektor informal.
Pada 2022, RAPBN didesain tetap fleksibel agar antisipatif, responsif, dan adaptif terhadap Covid-19. Ini sejalan dengan desain pada 2020 dan 2021 di mana postur APBN berubah seiring dinamika yang terjadi. Hingga September ini, misalnya, APBN 2021 telah mengalami refocusing hingga empat kali.
Fokus belanja negara pada 2022 juga tetap mengarah pada program prioritas seperti kesehatan, perlindungan sosial, pendidikan, infrastruktur, teknologi informasi dan komunikasi. Tak ketinggalan, investasi pada sumber daya manusia/SDM dan infrastruktur fisik.
Ruang terbatas
Kebijakan fiskal ekspansif merupakan modal penting dalam pengelolaan ekonomi dalam tekanan krisis. Namun, ruang gerak pemerintah tentu terbatas.
Laporan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KM-PPKF, 2021) Kementerian Keuangan Indonesia menunjukkan, semua indikator utang mengalami kenaikan pada periode 2015-2020 dibandingkan periode 2010-2015.
Dalam periode tersebut, rata-rata rasio utang terhadap PDB meningkat dari 24,54 persen menjadi 30,76 persen; rata-rata rasio bunga utang terhadap penerimaan pemerintah (interest payment ratio) meningkat dari 8,5 persen menjadi 13,58 persen; dan rata-rata debt service ratio/DSR (rasio bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan pemerintah) meningkat dari 21,54 persen ke 36,74 persen.
Kenaikan ini menunjukkan penurunan penerimaan pajak di satu sisi dan akselerasi belanja di sisi lain. Pemerintah pun melakukan konsolidasi fiskal agar target defisit 3 persen terhadap PDB pada 2023 tidak terlampaui. Dalam RAPBN 2022, target defisit mulai diturunkan menjadi 4,85 persen dari PDB.
Disiplin fiskal ketat ini perlu dipertimbangkan saksama karena bisa mengarah pada pemangkasan belanja yang terlalu dini, khususnya di bidang kesehatan dan perlindungan sosial. Konsolidasi fiskal dapat dilakukan ketika sektor swasta mulai bergerak dan laju investasi bisa menopang konsumsi rumah tangga. Namun, sebelum itu terjadi, pemangkasan belanja justru dapat memukul mundur pertumbuhan ekonomi.
Menetapkan prioritas
Bagaimana ekspansi fiskal bisa dilakukan tanpa mengganggu keberlanjutan stabilitas makro? Hal ini menuntut reformasi fiskal dilakukan melalui penguatan kualitas belanja, optimalisasi pendapatan, serta inovasi pembiayaan.
Di tengah keterbatasan sumber daya, perlu ada prioritas. Realokasi belanja yang tajam menyangkut SDM jelas lebih mendesak daripada proyek-proyek fisik seperti pemindahan ibukota negara, pembangunan kereta cepat, serta anggaran alutsista yang bombastis.
Prioritas pembiayaan lebih baik difokuskan pada sektor kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, penguatan SDM dan sektor dengan efek pengganda untuk ekonomi. Desain kebijakannya pun perlu lebih progresif.
Terkait reformasi perlindungan sosial misalnya, besaran bantuan tunai tak cukup di kisaran Rp 300.000, tetapi perlu ditingkatkan menjadi Rp 1 juta- Rp 1,5 juta. Nilai itu dipandang cukup untuk menopang kebutuhan hidup, tanpa membuat masyarakat terlena dan berhenti bekerja.
Cakupan penerima bantuan sosial juga perlu diperluas hingga menjangkau kelompok masyarakat rentan. Dengan asumsi 40 juta rumah tangga atau 60 persen dari total penduduk Indonesia perlu disantuni, dibutuhkan alokasi Rp 40 triliun (1 persen dari PDB) per bulan.
Reformasi sistem perlindungan sosial tak hanya dari segi fiskal, melainkan juga struktural. Ada problem karut-marut pendataan dan kompleksitas birokrasi yang perlu dibenahi agar penyaluran bantuan sosial jatuh ke tangan yang tepat, secara cepat.
Reformasi sistem perlindungan sosial tak hanya dari segi fiskal, melainkan juga struktural. Ada problem karut-marut pendataan dan kompleksitas birokrasi yang perlu dibenahi agar penyaluran bantuan sosial jatuh ke tangan yang tepat, secara cepat.
Pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk membereskan peta jalan desain perlindungan sosial. Apakah perlindungan sosial hanya sebatas respons program ketika krisis, atau akan diperkuat menjadi sistem berkelanjutan untuk mengantisipasi guncangan lain di masa depan?
Pandemi menunjukkan, negara-negara yang telah memiliki sistem perlindungan sosial kuat tak perlu mengalokasikan terlalu banyak dana darurat di saat krisis. Kontraksi ekonomi pun tidak terlalu dalam , karena konsumsi rumah tangga relatif terjaga.
Target belanja prioritas lain adalah penguatan kualitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan. Peningkatan kualitas SDM akan turut menentukan kualitas pemulihan ekonomi. Seiring dengan itu, pembangunan infrastruktur dan akses digital yang merata juga diperlukan.
Ruang fiskal juga perlu diperlebar dengan meningkatkan pendapatan dari sisi penerimaan pajak. Jika penerimaan pajak naik, rasio bunga utang terhadap pendapatan pemerintah akan menurun.
Salah satu ikhtiar Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan adalah memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke kantor pajak madya. Langkah itu diharapkan bisa “meratakan” beban pajak agar tidak hanya ditanggung perusahaan besar, tetapi juga perusahaan menengah.
Cara lain yang masih digodok pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah mengurangi pengecualian dalam pajak, salah satunya dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini akan memperluas basis pajak.
Covid-19 menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik di kala krisis. Menghadapi ketidakpastian, krisis iklim global, dan disrupsi digital, reformasi fiskal dengan komitmen pada penguatan SDM menjadi keniscayaan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera.