Perusahaan Kehilangan 5 Persen dari Pendapatan Setiap Tahun akibat Suap dan Gratifikasi
Riset dari Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) mengestimasikan, setiap organisasi berpotensi merugi akibat ”fraud” sebesar 5 persen dari total pendapatannya setiap tahun.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyuapan dan gratifikasi berpotensi merugikan setiap organisasi sebesar 5 persen dari total pendapatan setiap tahun. Potensi ini bisa terjadi di berbagai sektor ekonomi, termasuk industri jasa keuangan. Penyuapan dan gratifikasi harus dicegah karena dapat merongrong kredibilitas industri jasa keuangan.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Pencegahan Penyuapan di Industri Jasa Keuangan” yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Selasa (21/9/2021). Hadir memberikan kata sambutan Ketua Dewan Audit yang juga anggota Dewan Komisioner OJK, Ahmad Hidayat. Adapun materi disampaikan oleh Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan serta Deputi Komisioner Audit Internal, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Kualitas OJK Hidayat Prabowo.
Mengutip hasil riset dari Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), seperti yang disampaikan Ahmad, setiap organisasi berpotensi merugi akibat fraud sebesar 5 persen dari total pendapatan setiap tahun. Selain itu, dia juga menuturkan bahwa pada 2018, PBB memperkirakan biaya korupsi global mencapai 3,6 triliun dolar AS. Dari biaya tersebut, suap yang dibayarkan mencapai lebih dari 1 triliun dollar AS.
”Adanya praktik fraud akan menyebabkan ekonomi tidak efisien dengan cost of doing business yang meningkat serta menimbulkan kerugian pada negara, termasuk organisasi yang tidak menjalankan fraud,” ucap Ahmad.
Setiap organisasi berpotensi merugi akibat fraud sebesar 5 persen dari total pendapatan setiap tahun.
Menurut Ahmad, penyuapan dan gratifikasi bisa terjadi di berbagai sektor ekonomi, termasuk industri jasa keuangan yang menjadi wilayah pengawasan OJK. Maka dari itu, OJK sudah mengeluarkan kebijakan dan pembangunan sistem untuk mengurangi potensi suap dan gratifikasi di sektor industri jasa keuangan.
Untuk industri perbankan, misalnya, telah terbit Peraturan OJK (POJK) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Penerapan Strategi Anti-fraud bagi Bank Umum. Untuk pelaku industri pasar modal, ada POJK Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi serta Surat Edaran (SE) OJK Nomor 32 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka.
Adapun di sektor jasa keuangan nonbank yang terdiri dari asuransi, perusahaan pembiayaan, pegadaian, dana pensiun, juga sudah terbit berbagai kebijakan pencegahan suap dan gratifikasi. Aturan itu antara lain SE OJK Nomor 46 tahun 2017 tentang Pengendalian Fraud, Penerapan Strategi Anti Fraud, dan Laporan Strategi Anti Fraud bagi Perusahaan Asuransi/Reasuransi, serta POJK Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Pembiayaan.
Kredibilitas perusahaan
Penyuapan dan gratifikasi bisa menurunkan kinerja perusahaan industri jasa keuangan. Sebab, pengambilan keputusan menjadi lebih dominan menguntungkan pihak tertentu saja, yakni pemberi suap. Dalam skala lebih luas, kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan tersebut akan menurun.
“Yang dirugikan akhirnya masyarakat secara luas karena tak lagi memercayai industri jasa keuangan. Mereka akhirnya dirugikan karena tak lagi mendapatkan akses layanan jasa keuangan yang memadai sesuai harapan mereka,” kata Ahmad.
OJK sudah mengeluarkan kebijakan dan pembangunan sistem untuk mengurangi potensi suap dan gratifikasi di sektor industri jasa keuangan.
Sementara itu, Pahala mencontohkan penyuapan dan gratifikasi terkait penyelenggara negara dengan lembaga jasa keuangan. Ada kepala daerah yang menaruh anggaran daerahnya di sebuah bank BUMN atau BPD, lantas kepala daerah itu memperoleh kickback atau komisi dari bank tersebut sebagai bentuk terima kasih karena sudah menaruh uang di perusahaannya. “Itu gratifikasi namanya,” katanya.
KPK sendiri sudah berkoordinasi membangun sistem pencegahan suap dan gratifikasi dengan otoritas industri jasa keuangan sejak 2005, yakni dengan Bank Indonesia (BI). Koordinasi dan penguatan sistem pencegahan suap dan gratifikasi antara KPK dan OJK terus ditingkatkan. Yang terbaru adalah KPK merilis SE KPK Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi Terkait Industri Jasa Keuangan.
Dalam SE tersebut, KPK mengingatkan lembaga jasa keuangan dilarang memberikan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya, baik secara langsung atau disamarkan dalam bentuk fee marketing, collection fee, refund, atau penamaan lainnya.
Lembaga jasa keuangan sebagai entitas korporasi wajib melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana korupsi.
”Penguatan sistem pencegahan suap dan gratifikasi ini semata karena KPK pun ingin membantu industri jasa keuangan agar tetap kredibel dan dipercaya masyarakat,” ujar Pahala.