Bantuan Iuran bagi Pekerja Tak Mampu Diharapkan Segera Berlaku
Pemerintah diharapkan merealisasikan bantuan iuran bagi pekerja informal atau peserta bukan penerima upah dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Skema serupa baru berlaku pada program Jaminan Kesehatan Nasional.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah masyarakat yang bekerja di sektor informal terus meningkat selama pandemi Covid-19. Pemerintah diharapkan segera merealisasikan rencana penerapan skema bantuan iuran bagi pekerja informal atau peserta, bukan penerima upah dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Selama pandemi Covid-19, jumlah pekerja informal terus bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pekerja informal meningkat dari 77,68 juta orang pada Agustus 2020 menjadi 78,14 juta orang pada Februari 2021.
Pekerja formal yang kehilangan pekerjaannya ”banting setir” mencari nafkah di sektor informal. Pekerja yang berkecimpung di sektor informal termasuk kelompok masyarakat yang paling keras terdampak Covid-19.
Analisis mahadata Bank Mandiri menunjukkan, pada Oktober 2020, pendapatan masyarakat yang bergantung pada sektor informal turun 30 persen dibandingkan dengan kondisi per Januari 2020. Sementara itu, pada periode yang sama, pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor formal dan wirausaha hanya menurun tipis.
Sejauh ini, skema penerima bantuan iuran (PBI) baru berlaku untuk peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam skema BPJS Kesehatan, tetapi belum berlaku untuk peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek).
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, Minggu (19/9/2021), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebenarnya sudah sejak lama menyusun desain sistem perlindungan sosial, termasuk di dalamnya skema PBI bagi program jamsostek.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pun sudah mengatur bahwa pemerintah harus secara bertahap mendaftarkan masyarakat penerima bantuan iuran sebagai peserta BPJS, tidak hanya untuk jaminan kesehatan, tetapi juga jaminan ketenagakerjaan.
Akan tetapi, realisasinya menghadapi sejumlah kendala, seperti masalah pendataan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan PBI oleh Kementerian Sosial. ”Sebelum Covid-19, pemerintah berjanji PBI jamsostek akan dijalankan bertahap mulai Januari 2021. Namun, ternyata Kementerian Sosial tidak siap dengan pendataannya,” kata Timboel saat dihubungi.
Ia berharap proses pendataan dan pembenahan regulasi terkait dengan PBI jamsostek bisa rampung pada awal tahun 2022 seiring dengan mulai berlakunya program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja formal yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut dia, manfaat jamsostek untuk pekerja informal juga harus dioptimalkan sebagaimana untuk pekerja formal.
Pada tahap awal, pemerintah dapat mengacu pada data PBI untuk JKN yang sudah tersedia, kemudian menyisirnya kembali untuk data PBI jamsostek, khususnya untuk mengikuti program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm).
”Sebenarnya ada data PBI di JKN, seharusnnya itu diproses dan disaring kembali untuk menjadi basis data PBI JKK dan JKm. Untuk tahap awal tidak perlu sekaligus, bisa bertahap dulu,” ujarnya.
Menurut Timboel, kendala terbesar untuk menerapkan skema PBI di jamsostek adalah pendataan, bukan anggaran. Asumsinya, jika ada 5 juta orang yang ditetapkan sebagai peserta PBI, pemerintah perlu menyiapkan anggaran setidaknya Rp 1 triliun per tahun.
Jumlah itu didapat dari mengalikan 5 juta orang penerima dengan tarif iuran Rp 16.800 per bulan selama 12 bulan. ”Bahkan, kalaupun 27 juta orang di DTKS saat ini mau didaftarkan ke jamsostek semua, anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 5 triliun per tahun. Ini menunjukkan, problem terbesar bukan anggaran karena tidak terlalu memakan biaya,” katanya.
Mendorong kepesertaan informal
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mendorong agar pemerintah daerah lebih aktif memperluas kepesertaan BP Jamsostek dari sektor informal. Per 31 Desember 2020, jumlah peserta bukan penerima upah (BPU) atau pekerja informal di BP Jamsostek adalah 2,49 juta orang. Kepesertaan BP Jamsostek masih didominasi oleh pekerja formal.
”Sementara pekerja formal ataupun informal dua-duanya sama-sama memiliki risiko kerja, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 ini membuat siapa pun seharusnya merasa perlu mendapat jaminan sosial,” kata Ida.
Menurut dia, dengan membayar iuran program Rp 16.800 per bulan, pekerja akan mendapat perlindungan JKK yang manfaatnya pengobatan tanpa batas biaya, serta JKm yang manfaatnya akan diterima ahli waris jika peserta meninggal dunia dalam bentuk santunan uang tunai.
”Kalau ada yang meninggal, pendidikan anaknya akan ditanggung sampai perguruan tinggi. Yang ditanggungjuga tidak hanya satu anak, tetapi dua anak. Itu salah satu cara untuk melahirkan generasi baru yang masa depannya sudah kita pikirkan dari sekarang,” ujarnya.