Surplus Neraca Perdagangan Bangkitkan Optimisme Pemerintah
Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sepanjang 16 bulan berturut-turut. Namun, Indonesia perlu secara bertahap mengurangi ketergantungan ekspor pada komoditas yang fluktuatif.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surplus neraca perdagangan yang ditopang oleh permintaan komoditas global membangkitkan optimisme pemerintah terhadap potensi pemulihan ekonomi dunia dan nasional. Namun, ketergantungan ekspor pada harga komoditas tetap perlu diwaspadai karena bisa jadi bumerang bagi lompatan ekonomi domestik.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan, neraca perdagangan pada Agustus 2021 yang tercatat surplus 4,74 miliar dollar AS (Rp 67,47 triliun) akan turut menggerakkan perekonomian nasional.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus itu lebih tinggi dari bulan Juli 2021 yang tercatat 2,59 miliar dollar AS. Surplus neraca perdagangan pada bulan Agustus 2021 merupakan surplus ke-16 kalinya sejak Mei 2020.
Kenaikan ekspor menunjukkan sinyal pemulihan permintaan komoditas global. Melalui program PEN dan kebijakan pendukung kinerja ekspor, dunia usaha nasional diharapkan mampu memanfaatkan potensi pemulihan ekonomi dunia.
Total ekspor Agustus 2021 tercatat 21,42 miliar dollar AS, naik 20,95 persen dari Juli 2021 dan 64,1 persen dari Agustus 2020. Secara kumulatif, sejak Januari hingga Agustus 2021, total ekspor mencapai 142,01 milliar dollar AS dengan didominasi komoditas CPO dan bahan bakar mineral.
Menurut Febrio, kenaikan ekspor menunjukkan sinyal pemulihan permintaan komoditas global. Melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dan kebijakan pendukung kinerja ekspor, lanjutnya, dunia usaha nasional diharapkan mampu memanfaatkan potensi pemulihan ekonomi dunia.
”Tidak hanya sektor pengolahan yang didorong komoditas CPO dan batubara, seluruh ekspor sektoral menunjukkan kinerja yang baik, termasuk pertanian yang didorong oleh komoditas kopi, buah-buahan, dan hasil hutan bukan kayu,” ujarnya, Jumat (17/9/2021).
Pemerintah mengambil berbagai kebijakan mendukung kemudahan ekspor. Hal itu, antara lain, ditunjukkan melalui perbaikan efisiensi dan daya saing ekonomi, peningkatan nilai tambah produk ekspor komoditas, serta penguatan industri nasional dengan mendorong pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan teknologi.
”Selain itu, kerja sama internasional akan dimanfaatkan untuk mendukung perdagangan internasional, baik barang maupun jasa,” kata Febrio.
Terkait pembiayaan, pemerintah akan melanjutkan dukungan pembiayaan ekspor dengan skema khusus, seperti penugasan khusus ekspor melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia berupa kredit modal kerja dan pinjaman operasional usaha bagi industri kecil menengah berorientasi ekspor.
Sementara itu, dari sisi impor, total impor Indonesia pada Agustus 2021 mencapai 16,68 miliar dollar AS atau tumbuh 10,35 persen dari Juli 2021 dan 55,26 persen dari Agustus 2020. ”Peningkatan impor secara keseluruhan menunjukkan bertumbuhnya aktivitas ekonomi domestik seiring perkembangan positif penanganan Covid-19,” ujar Febrio.
Berbeda dengan Febrio, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor komoditas akan menjadi bumerang bagi fundamental ekonomi nasional.
Selain itu, jika Indonesia terus bergantung untuk mengekspor komoditas bahan mentah dan olahan primer, kemajuan perekonomian bisa terhambat. ”Harga komoditas relatif fluktuatif dan sulit diperkirakan. Ketika harga komoditas menurun, kinerja ekspor akan terpukul,” kata Bhima.
Ia menyebut, porsi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun, bahkan sempat di bawah 20 persen dari PDB. Kondisi ini, lanjut Bhima, bisa jadi penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya untuk terlepas dari jebakan pendapatan kelas menengah.
Sebelumnya, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, kegiatan industri di hilir yang mulai hidup perlu diiringi dengan penguatan di sektor hulu dan antara (intermediate).
”Di satu sisi, ini hal baik karena permintaan mulai tumbuh, konsumsi masyarakat bergerak, dan mendorong aktivitas industri. Tetapi, di sisi lain, ini menunjukkan masalah klasik kita yang masih belum teratasi, yaitu memperkuat struktur industri dan mengoptimalkan pasokan rantai nilai produk dari dalam negeri,” katanya.
Melihat kenaikan mobilitas dan konsumsi masyarakat serta melandainya kasus Covid-19, ia menilai, aktivitas industri ke depan akan lebih dinamis. Industri bahan baku perlu segera diperkuat untuk mengantisipasi adanya lonjakan permintaan bahan baku lagi di bulan-bulan mendatang.
”Tidak tertutup kemungkinan, ke depan ini akan ada peningkatan kebutuhan bahan baku industri lagi. Industri di hulu dan perantara harus disiapkan dari sekarang agar bisa mengisi kebutuhan di hilir,” ujarnya.